August 8, 2024

I Dewa Gede Palguna: Tak Boleh Ada Pengadilan Yang Mengoreksi Putusan MK

Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), I Dewa Gede Palguna menjadi saksi ahli penggugat pada sidang perkara yang diajukan oleh Evi Novida Ginting di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Palguna membenarkan tindakan yang diambil oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dalam kasus calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Barat daerah pemilihan (dapil) VI. KPU RI, dalam perkara ini khususnya Evi, hanya menindaklanjuti Putusan MK mengenai hasil pemilihan umum yang digugat oleh Hendri Makaluasc pada Pemilihan Legislatif 2019.

Simak selengkapnya keterangan Palguna pada sidang mendengarkan keterangan saksi ahli penggugat dan tergugat (7/7) dalam bentuk wawancara.

Jika PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) yang diputuskan keliru, apakah putusan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) boleh mengisi kekeliruan itu?

Peryantaan itu mengadung persoalan. Anda mengatakan jika terdapat kekosongan, berarti sudah ada penilaian terhadap putusan MK, padahal putusan MK pertama dan terkahir, dan final. Artinya, tidak ada pengadilan banding, apalagi kasasi terhadap putusan MK. Dengan demikian, tidak ada lembaga lain yang bisa bertindak seolah-seolah sebagai pengadilan banding terhadap putusan MK. Bahkan, juga tidak bisa dilakukan oleh MK untuk perkara yang sama, kecuali di lain hari MK mengubah pendiriannya. Itu pun biasanya dalam sengketa pengujian norma undang-undang, tidak dalam kasus seperti perkara hasil pemilu.

Kebaikan apa yang didapat dengan mematuhi putusan putusan PHPU MK?

Satu, segala sengketa berakhir dengan putusan MK. Berarti, akan memberikan kepastian hukum dalam sistem ketatanegaraan kita. Dalam pengisian jabatan publik seperti ini, apalagi yang keanggotanya dipilih, sangat rentan jika dibiarkan terlalu lama kosong.

Kami tidak mengatakan putusan MK itu sempurna, tapi putusan MK seharusnya mengakhiri segala persoalan tentang sengketa PHPU, sebagaimana dimaksud di UUD 1945. Robert Jackson, hakim terkenal di Amerika Serikat mengatakan, kami final bukan karena kami tidak dapat dipersalahkan, tapi kami tidak dapat dipersalahkan karena konstitusi memberikan sifat final kepada kami.

Menurut Ahli, terhadap Putusan PHPU MK No.154/2019, khusus DPRD Kalimantan Barat 6, apakah KPU sudah tepat melaksanakannya?

KPU sudah tepat melaksanakan karena KPU dalam pengamatan saya, sudah melaksanakan persis seperti yang tertuang dalam amar putusan MK.

Kenapa dalam Putusan PHPU itu, MK hanya menetapkan perolehan suara yang benar dari Hendri Makaluasc, namun amar putusan MK tidak membatalkan Keputusan KPU tentang hasil perolehan suara Pemilihan Anggota DPRD Kalimantan Barat dapil 6?

Sifat dari perkara atau permohonan PHPU sifatnya inter partes. Ada terminologi pemohon dan termohon. Dalam sifat itu, berlaku prinsip sebagaimana lazimnya dalam hukum perdata, yaitu hakim tidak boleh mengabulkan sesuatu yang tidak diminta oleh penggugat atau pemohon. Yang diminta pemohon adalah menetapkan perolehan suara Hendri Makaluasc itu, tidak ada permintaan untuk mengurangi perolehan suara Cok Hendri Ramapon. Oleh karena itu, itulah yang diamarkan di Putusan MK. Jadi, kenapa tidak membatalkan karena tidak ada permohonan itu.

Kalau misalnya pun ada, jika ternyata itu tidak signifikan mempengaruhi perolehan suara, atau mengubah orang jadi terpilih, tidak ada kebutuhan untuk membatalkan keputusan KPU.

Suara adalah hak konstitusi individu. Ketika ada perubahan, artinya bukankah itu harusnya diselaraskan? Bagaimana pendapat ahli?

Misal KPU melaksanakan putusan MK dengan membuat tindakan yang melebihi dari amar putusan MK, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana jika ada pihak lain yang mengadukan KPU karena KPU melampauu kewenangannya? Jadi, sama saja akibatnya. Oleh karena itu, kalau saya menjadi anggota KPU, saya akan melakukan yang sama,  strict pada apa yang diputuskan MK. Soal logis atau tidak, putusan itu keliru atau tidak, itu MK yang tanggungjawab.

KPU tidak boleh menilai putusan MK. Kalua iya, dia juga terancam untuk diadukan karena melakukan sesuatu di luar kewenangannya.

Ada pertentangan antara norma di Putusan MK No.154/2019 dengan Putusan Bawaslu No.183/2019 dan Putusan DKPP No.317/2019 tanggal 18 Maret 2020. Bila KPU melaksanakan Putusan MK dalam perkara ini, KPU berpotensi dikenakan sanksi. Bagaimana pendapat Ahli?

Kalau ada ketentuan yang lebih tinggi, misal dalam satu hal ada dua atau lebih ketentuan, maka ketentuan yang lebih tinggi itulah yang berlaku. Antara Putusan MK, Putusan Bawaslu, dan Putusan DKPP, maka jelas Putusan MK lah yang memiliki kedudukan lebih tinggi sebagai lex superior.

Dalam konstruksi hukum, jadi pertanyaan buat saya, bagaimana pihak yang punya itikad baik untuk menaati putusan MK sebagaimana perintah Pasal 24c ayat (1) UUD 1945, dikatakan melakukan pelanggaran etik? Buat saya itu problem besar. Dan itu sesuatu yang konstruksinya tidak saya pahami. Harusnya tidak terjadi.

Setelah Putusan MK, keluar putusan perkara administrasi yang dikeluarkan oleh Bawaslu. Apakah ketika sudah masuk tahap perseisihan hasil, dari sisi norma hukum pemilu maupun dr sisi asas elektoral justice system yang berlaku, sudah tidak ada boleh lagi ada peradilan proses?

Kalau kita berpegang pada hukum positif yang berlaku saat ini, seluruh persoalan administrasi harus sudah selesai sebelum masuk ke MK. Oleh karena itu, segala putusan baik yang menyangkut tindak pidananya atau sengketa administrasi, itu dapat dijadikan bukti jika ada kaitannya atau konteksnya dengan PHPU yang dibawa ke MK. Jadi, dia harus sudah selesai sebelumnya. Jadi, kalau ada putusan setelah putusan MK, itu potensial mengintervensi sifat final dan mengikat putusan MK.

Menyikap hal itu, harus bagaimana?

Kekeliruan yang dilakukan penggugat dalam sidang PHPU di MK, tidak boleh menyebabkan pihak lain dirugikan. Jadi, kalau kekeliruan semacam itu terjadi, itu peringatan bagi pemohon atau penggugat, dia harus cermat di lain hari jika mengajukan permohonan agar tidak merugikan diri sendiri atau pihak lain. Jadi, seseorang karena keteledoran sendiri, lalu merugikan pihak lain, itu tidak boleh terjadi.

Sifat Putusan DKPP adalah final dan mengikat. Bagaimana menyikapi adanya dua putusan yang final dan mengikay?

Ya, ada satu lembaga yang sifat final dan mengikat putusannya disebutkan di undang-undang, ada satu lagi yang disebutkan di konstitusi. Maka, yang berlaku adalah ketentuan yang ada di konstiusi. Ketentuan putusan MK di konstitusi harus diutamakan daripada ketentuan yang ada di undang-undang.

Apakah putusan DKPP yang final dan mengikat dapat diuji kembali di pengadilan?

Pertanyaannya begini, apakah putusan DKPP itu putusan pejabat tata usaha Negara? Tidak. Karena DKPP itu dikonstruksikan sebagai pengadilan etik. Oleh karena itu, maka sifatnya diberikan final dan mengikat. Tapi dia kan membutuhkan tindakan pejabat tata usaha negara. Ada keputusan presiden. Jadi, nanti yang mempertimbangkan adalah yang mulia di persidangan TUN ini. Yang diuji di sini adalah keputusan presiden, bukan putusan DKPP.