August 8, 2024

Praktik Politik Uang Subur di Masa Pandemi

Praktik politik uang mendominasi bentuk tindak pidana pemilu saat pemilihan kepala daerah 2020. Kondisi ini dipicu oleh keadaan ekonomi masyarakat yang terganggu akibat pandemi Covid-19. Penindakan kepada penerima pun sulit dilakukan karena sulit menemukan unsur kesengajaannya.

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Divisi Penindakan, Ratna Dewi Pettalolo, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (15/12/2020) mengatakan, ada 136 tindak pidana pemilu yang ditangani oleh sentra penegakan hukum terpadu (Gakkumdu) selama pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020. Tindak pidana pemilu tertinggi adalah politik uang (104 kasus) disusul netralitas aparatur sipil negara (21 kasus) dan kampanye di luar jadwal (11 kasus).

Dugaan pelanggaran politik uang antara lain terjadi di Provinsi Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah. Kabupaten/kota terbanyak dalam kasus politik uang terjadi di Lampung Tengah dengan jumlah 32 kasus.

Ada 136 tindak pidana pemilu yang ditangani oleh sentra penegakan hukum terpadu (Gakkumdu) selama pemilihan kepala daerah 2020

Beberapa kasus politik uang tersebut sudah diputus oleh pengadilan, antara lain di Kota Tarakan (Kalimantan Utara), Kabupaten Berau (Kalimantan Timur), Kota Palu (Sulawesi Tengah), Kabupaten Cianjur (Jawa Barat) dan Kota Tangerang Selatan (Banten) yang diputus hukuman penjara 36 bulan dan denda Rp 200 juta. Sedangkan, kasus di Kabupaten Pelalawan (Riau) divonis 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun dan denda Rp 200 juta.

Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran Bawaslu Jateng Sri Wahyu Ananingsih mengatakan, pihaknya menemukan dan mendapatkan laporan sebanyak 26 kasus terkait dugaan politik uang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 14 kasus dari Kabupaten Purbalingga, lima kasus dari Kota Magelang, empat kasus dari Kabupaten Pemalang, dan masing-masing satu kasus dari Kabupaten Purworejo, Kendal, serta Pekalongan.

”Kasus-kasus pelanggaran itu dilakukan saat masa tenang hingga hari pemungutan suara, yakni 6-9 Desember. Sebagian besar kasus tersebut sedang dalam proses klarifikasi oleh Bawaslu dengan pendampingan polisi dan jaksa,” katanya.

Setelah klarifikasi dilakukan, kasus tersebut akan dibahas dengan kepolisian dan kejaksaan. Dari rapat tersebut akan dikaji, apakah pasal-pasal yang disangkakan terbukti. Jika terbukti, kasus akan diselidiki lebih lanjut oleh kepolisian.

Ketua Bawaslu Pemalang Hery Setyawan mengatakan, pihaknya telah memeriksa 10 orang yang diduga mengetahui informasi terkait kasus-kasus tersebut. Berdasarkan pemeriksaan sementara, jumlah uang yang diberikan ke masyarakat bervariasi, mulai dari Rp 40.000 hingga Rp 50.000 per orang. Pemberian uang ke masyarakat agar dipilih ini dilakukan oleh tim sukses dari dua pasangan calon (paslon) yang berkompetisi.

Di Kabupaten Pekalongan, ada dua kasus politik uang yang saat ini sedang diproses Bawaslu setempat. Dua kasus itu terjadi di Kecamatan Bojong dan Kesesi. Di Kesesi, kasus politik uang menyeret anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

”Dari hasil penelusuran, sebetulnya ada tindak pidana politik uang yang diduga dilakukan oleh anggota KPPS. Tapi, kami agak kesulitan karena kami hanya mendapatkan foto amplopnya, bukan fisik amplopnya,” kata anggota Bawaslu Kabupaten Pekalongan ‎Divisi Penindakan, Mokhamad Bahrizal.

Dampak pandemi

Menurut Dewi, praktik politik uang mendominasi bentuk tindak pidana pemilu saat pilkada 2020 karena penyelenggaraannya dilaksanakan pada masa pandemi. Kondisi ekonomi masyarakat kini sedang tidak baik karena pendapatan yang berkurang.

Praktik politik uang mendominasi bentuk tindak pidana pemilu saat pilkada 2020 karena penyelenggaraannya dilaksanakan pada masa pandemi.

Di sisi lain, aturan kampanye membatasi pertemuan antara pemilih dengan kandidat. Kampanye tatap muka dan pertemuan terbatas maksimal diikuti oleh 50 peserta sehingga interaksi langsung antara pemilih dan kandidat terbatas.

”Komunikasi antara pemilih dan kandidat menjadi berkurang sehingga mereka (kandidat dan tim pemenangan) memilih cara instan untuk mempengaruhi pemilih,” ujar Dewi.

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pemberi dan penerima dapat dijatuhi sanksi pidana. Namun, lanjut Dewi, pemidanaan kepada penerima masih sulit dilakukan. Penyidik kesulitan menemukan unsur kesengajaan sehingga sering dikesampingkan.

”Jadi, hanya yang utama (pemberi) yang diproses,” katanya.

Dalam pemantauan JPPR di 59 daerah yang menggelar Pilkada 2020, dugaan politik uang yang terjadi di tengah masyarakat tergolong cukup masif

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby pun berpandangan, ketika pemerintah, penyelenggara pemilu, dan DPR bersepakat menggelar pilkada pada 9 Desember 2020, salah satu tantangan terbesar adalah politik uang. Sebab, kondisi ekonomi masyarakat sedang tertekan akibat pandemi Covid-19.

Dalam pemantauan JPPR di 59 daerah yang menggelar Pilkada 2020, dugaan politik uang yang terjadi di tengah masyarakat tergolong cukup masif. Selama masa tenang sampai hari pemungutan suara, JPPR menemukan 101 dugaan politik uang.

Modusnya variatif, misalnya, uang langsung diberikan kepada masyarakat. Selain itu, ada pula kupon bergambar paslon yang bisa ditukarkan ke warung untuk belanja. Modus lama juga masih terjadi, seperti sebelum pemilihan, masyarakat diberikan uang Rp 50 ribu, lalu sisanya dilunasi setelah pencoblosan.

Alwan menduga, politik uang itu juga dipengaruhi keengganan pemilih datang ke tempat pemungutan suara (TPS) sehingga mesin politik kandidat tertentu bergerilya. Mereka mengiming-ngiming sejumlah uang dan mengarahkan pemilih untuk mencoblos calon tertentu.

”Itu problem klasik dan terus ada. Modusnya pun berubah-ubah. Ini sengaja dipelihara oleh pasangan calon dan elite partai untuk mendulang suara. Sebab, itu satu-satunya cara yang paling murah, tanpa merawat basis, tanpa merawat konstituen, kita kasih uang, selesai. Di sisi lain, masyarakat masih tangan di bawah,” ujar Alwan.

Karena itu, menurut Alwan, persoalan politik uang ini harus dibenahi dari hulu hingga hilir. Dari hulu, misalnya, proses pendidikan pemilih harus berkelanjutan. Pemilih harus disadarkan bahwa politik uang dapat merugikan daerahnya. Calon pemimpin yang terpilih pun akan jauh dari nilai integritas.

Selanjutnya, kata Alwan, regulasi juga harus terus diperkuat sehingga tidak membuka celah bagi tim kampanye atau paslon untuk melakukan politik uang.

Demoralisasi

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso menyampaikan, sebenarnya penegakan hukum sudah dijalankan. Namun, ia menyayangkan, itu masih sangat kecil dibandingkan dengan maraknya politik uang yang terjadi.

”Padahal, praktik ini meruntuhkan nilai-nilai moralitas. Artinya, boleh menang dengan menghalalkan segala cara. Jadi, ini demoralisasi,” kata Topo.

Persoalan yang paling penting dalam penindakan politik uang adalah menemukan ujung mata rantainya. Yang paling diuntungkan dari politik uang adalah paslon

Sebenarnya, menurut Topo, persoalan yang paling penting dalam penindakan politik uang adalah menemukan ujung mata rantainya. Yang paling diuntungkan dari politik uang adalah paslon. Sayangnya, selama ini jarang sekali kandidat terjerat pidana politik uang.

”Paling pelaku lapangannya, sementara si penggeraknya atau orang yang punya uang atau yang punya kepentingan amat sangat jarang kena. Jadi, akhirnya orang-orang ya tetap menggunakan itu dengan cara berantai, paling yang kena di ujung aja. Itu pun hanya sedikit saja dari banyak kasus,” kata Topo.

Ia juga melihat, terkadang dalam penegakan hukum, Sentra Gakkumndu tidak pernah menggunakan ketentuan-ketentuan yang bisa dipakai dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam menjerat pelaku politik uang.

”Tetapi, baik dalam pemilu atau dalam pilkada, sangat jarang dipakai oleh Bawaslu atau penegak hukum. Mungkin karena Bawaslu tak memahami unsur pidana. Tetapi, kan, ada jaksa dan polisi ikut Sentra Gakkumdu. Jaksa harusnya bisa mengarahkan unsur pidana apa yang bisa digunakan,” ujarnya.

Topo juga menilai, politik uang sulit dikenakan kepada penerima karena biasanya yang menerima masif. Misalnya, satu RT atau satu desa. Menurutnya, ini persoalan dilematis bagi Bawaslu.

Terakhir, Topo mengkritik UU Pemilu atau UU Pilkada yang memberi jangka waktu yang amat singkat, baik di tingkat Bawaslu, penyidikan, pemeriksaan di pengadilan. Dengan waktu yang singkat itu, alhasil, banyak perkara dihentikan ketika saksi tak bisa ditemukan atau bahkan orang yang dilaporkan pergi.

”Itu tak masuk akal. Perkara pidana seharusnya mencari kebenaran materiil tetapi jangka waktu penyelidikannya sangat singkat, penyidikan sangat singkat, pemeriksaan pengadilan 7 hari, banding tujuh hari. Padahal, yang mau dicari kebenaran materiil,” tutur Topo. (IQBAL BASYARI, NIKOLAUS HARBOWO, DAN KRISTI DWI UTAMI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/nusantara/2020/12/15/praktik-politik-uang-subur-di-masa-pandemi/