September 13, 2024

Tanya Asa pada Perempuan Cakada dan Cawakada Terpilih

“Saya harus tulis!” gumam saya selagi mandi. Memang, pasca operasi, kegiatan mandi jadi lama sekali sebab banyak gerak masih terasa nyeri. Akhirnya mandi sembari mikirin itu dan ini, semua yang terlintas jadi dipikir supaya nyerinya hilang sendiri.

Dua hal membuat saya ingin menulis soal perempuan. Yang pertama, diskusi parenting yang diikuti oleh guru-guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang mau tidak mau saya dengar karena ibu saya mengikuti diskusi itu sewaktu menjaga saya pasca operasi. Kedua, buku “Feminisme untuk 99%, Sebuah Manifesto” (2020) yang ditulis oleh Cinzia Arruzza, Tithi Bhattacharya, dan Nancy Fraser.

Soal yang pertama, mengapa hal itu menjadi dorongan untuk saya menulis, karena pembicaranya membuat saya marah.

Marah. Betul! Entah berapa tulisan yang saya tulis karena saya marah. Bagaimana tidak. Sebuah diskusi yang dibiayai oleh negara bicara soal parenting yang mendomestifikasi perempuan, dan saya yakin sang pembicara tak sadar bahwa apa yang dibicarakannya justru menambah beban para perempuan pekerja di masa pandemi.

Belum lagi banyak bias yang berbahaya, yang lahir dari sebuah cara pandang bahwa “semua keluarga terdiri atas ibu dan bapak”, dengan bapak yang bekerja dengan upah atau pendapatan yang baik, dan ibu yang di rumah, bahkan ibu yang memiliki asisten rumah tangga.

Sungguh sebuah bias yang membuat kuping saya panas. Kalimat “Perempuan itu memang baiknya kebanyakan di rumah. Mengurus dan mendidik anak-anak kita” melengkapi penderitaan saya yang mau tak mau tetap harus mendengar, sekaligus merasa aneh mengapa kritisisme tak keluar dari ibu saya yang hampir setiap hari mesti keluar rumah lantaran mesti mengurus segala hal tentang PAUD.

Bukan, bukan karena saya memandang bahwa perempuan harus keluar rumah, tidak mengurus dan mendidik anak. Tetapi kalimat tersebut sungguhlah sangat banal dan bias. Sebuah kalimat yang tidak akan pernah menjadi solusi bagi perempuan-perempuan kelas pekerja, juga perempuan-perempuan kepala rumah tangga. Persis sebuah kalimat yang diucapkan oleh sebuah nyonya atau lady dalam film “Bridgerton” dengan pesta-pesta dansanya yang maha absurd.

Jika Menteri Perempuan dan Anak membaca tulisan saya, semoga beliau bersama dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, juga Ketua Himpunan PAUD Indonesia dapat meninjau materi dan para pembicara pada diskusi-diskusi yang dibiayai oleh negara. Sungguh, materi-materi itu tak berpihak pada perempuan sebagai ibu, bias kelas, dan bias definisi keluarga seperti bias yang ada di RUU Ketahanan Keluarga.

Lanjut ke pendorong kedua, buku “Feminisme untuk 99%, Sebuah Manifesto” menarik saya untuk mengawal kepemimpinan perempuan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Tidak bermaksud untuk bersikap tak adil karena mempertanyakan kepemimpinan perempuan, sementara kapasitas kepemimpinan laki-laki tak diganggu gugat. Namun, saya ingin mengamati pernyataan di dalam buku Arruzza dkk bahwa sebagai perempuan kelas pekerja, saya tak patut berharap pada perempuan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih yang berasal dari kelompok borjuis, dalam konteks Indonesia.

Saya melakukan analisis terhadap profil 29 perempuan kepala daerah (kada) dan 26 perempuan wakil kepala daerah (wakada) terpilih di Pilkada Serentak 2020. Hasilnya, satu, 30 dari 55 perempuan kada dan wakada berusia 36-49 tahun atau paruh baya. Hanya 4 perempuan di posisi kepala daerah (tidak ada wakil kepala daerah) yang berusia 25-35 tahun atau kalangan muda. Sisanya, 21 perempuan di dua posisi berusia 50-70 tahun atau generasi tua.

Dua, posisi sebagai petahana mendominasi profil kada perempuan terpilih. Sementara pada profil wakada, petahana dan mantan atau anggota lembaga legislatif mendominasi. 11 pertahana duduk kembali sebagai kada, dan 6 petahana duduk kembali sebagai wakada.

10 perempuan kada dan wakada terpilih merupakan istri kada dan wakada di daerahnya. Ada juga 1 perempuan kada yang merupakan anak dari mantan kada. Status sebagai istri atau anak kada dan wakada beririsan dengan pekerjaan sebagai pengusaha, aktivis lembaga kemasyarakatan, dan ibu rumah tangga (IRT).

Sri Juniarsih di Pilkada Berau misalnya, menggantikan pencalonan suaminya, almarhum Muharram, Bupati Berau yang meninggal akibat Covid-19. Sama seperti Sri Juniarsih, Najirah di Bontang, juga menggantikan pencalonan suaminya akibat Covid-19 yang merenggut nyawa sang suami.

Sisanya, setelah petahana, 9 perempuan kada dan wakada berprofesi sebagai aparatur sipil negara (ASN), 12 mantan atau anggota DPR/DPRD, 3 profesional (dokter, staf ahli, dan dosen), 5 aktivis organisasi masyarakat, 1 karyawan swasta cum aktivis organisasi keagamaan, 4 pengusaha, 4 IRT, dan 1 artis.

Tiga, ada 5 perempuan yang menang tanpa lawan alias paslon tunggal. Mereka ada di Pilkada Grobogan, Pematangsiantar, Semarang, Kediri, dan Kebumen.

Empat, 13 perempuan kada dan wakada merupakan bagian dari dinasti politik di daerah. Herny, misalnya, wakada terpilih di Pilkada Pasangkayu, merupakan istri dari Bupati Pasangkayu yang tengah menjabat, Agus Ambo Jiwo. Herny maju bersama abang iparnya, Yaumil Ambo Jiwo. Yaumil adalah Wakil Ketua DPRD Pasangkayu.

Yang menarik, saya menemukan bahwa ada perempuan kada terpilih yang merupakan istri dari kada/wakada di daerahnya, tetapi aktif di organisasi kemasyarakatan sebelum suami menjabat sebagai kada.

Ia adalah Kustini, istri Bupati Sleman periode 2015-2020, Sri Purnomo. Kustini merupakan Ketua Persatuan Wanita Olahraga Seluruh Indonesia (Perwosi) Kabupaten Sleman, anggota Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) Kabupaten Sleman ssejak 2005, Pembina Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Kabupaten Sleman sejak 2010, dan Ketua Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Kabupaten Sleman sejak 2010. Oleh karena itu, Kustini, tanpa disangkut-pautkan dengan posisi suami sebagai kada, merupakan perempuan yang telah aktif di organisasi kemasyarakatan dan dikenal oleh publik.

Dalam masyarakat yang memberikan tempat istimewa bagi laki-laki, perempuan seringkali mesti mengalah demi apa yang disebut “dibalik laki-laki hebat, ada perempuan hebat”. Perempuan mesti ada di “belakang”, sebelum kemudian muncul di “depan”. Padahal, bisa jadi perempuan ingin ada di “depan” atau berdampingan dengan laki-laki, tanpa sebelumnya di “belakang”, melakukan reproduksi sosial: mengurus dan mendukung sang pemimpin masyarakat.

Enam,10 kada dan wakada perempuan terpilih pernah atau sedang menjadi Ketua Tim Penggerak (TP) PKK dan Bunda PAUD. Memang, istri kada, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi, secara otomatis menjadi pemimpin PKK dan Bunda PAUD di daerahnya.

Hal tersebutlah yang membuat istri kepala daerah potensial untuk dicalonkan sebagai kada atau cawakada menggantikan suami, karena posisi tersebut membuat istri kada memiliki modal sosial yang tak bisa disepelekan. PKK ada di setiap kelurahan, dan PAUD ada di setiap kecamatan.

Tujuh, dari 55 perempuan kada dan wakada terpilih, ada 3 perempuan yang merupakan kelas pekerja:  dosen, karyawan swasta, dan staf ahli. Seberapa pun besarnya gaji dosen, dan manager bank, mereka tetap merupakan orang-orang yang bekerja menggunakan tenaga dan pikiran dengan balasan upah, meskipun manager memiliki kewenangan lebih besar untuk mengatur pekerja dibawahnya.

3 orang tersebut yaitu Aminatun Habibah di Pilkada Gresik, dosen di Institut Agama Islam Qomaruddin; Kasmarni di Pilkada Bengkalis, staf ahli bupati; dan Dewi Mariya Ulfa di Pilkada Kediri, manager Relationship di Bank BTPN.

Meski merupakan kelas pekerja, namun ketiganya bukan pekerja dengan kewenangan terbatas. Terlebih, Aminatun juga ternyata merupakan kepala sekolah SMK Assa’adah dan keluarganya merupakan keluarga terpandang di daerah sebab merupakan keluarga pemuka agama.

Dari ketujuh hasil analisis dan penelusuran data tersebut, saya menyimpulkan bahwa tak ada kada dan wakada terpilih yang berasal dari kelas pekerja yang rentan. Ada satu profil yang menyampaikan pekerjaan sebagai wartawan, namun setelah ditelusuri lebih lanjut, yang bersangkutan pernah menjabat sebagai anggota DPRD selama dua periode.

Apa yang mau saya katakan ialah, bahwa pemilukada belum menciptakan iklim politik yang cocok untuk munculnya perempuan calon yang berasal dari kelas pekerja rentan. Memang bukan suatu hal yang mengherankan. Pasalnya, tak ada partai buruh di Indonesia dan partai hanya mencalonkan orang-orang dengan popularitas tinggi atau berasal dari organisasi masyarakat yang memiliki basis massa besar di daerah tersebut. Itu juga merupakan hal wajar.

Namun, pertanyaannya, apakah perempuan-perempuan kada dan wakada terpilih akan berpihak pada perempuan-perempuan kelas pekerja, terlebih yang rentan, juga kelompok masyarakat rentan lainnya. Apakah mereka akan dilibatkan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan di daerah? Tentu berbeda masukan dari perempuan elit yang tak memiliki tantangan ekonomi dengan perempuan kelas pekerja yang berjibaku mengerjakan kerja reproduksi sosial, kerja mendidik anak, dan kerja produksi sekaligus setiap harinya.

Mestilah disadari bahwa perempuan tidaklah tunggal. Perempuan memiliki latar belakang berbeda dengan lapis-lapis sosial-ekonomi yang menyelimutinya. Penting agar semua perempuan, juga kelompok rentan lainnya, dilibatkan dalam proses politik agar kebijakan tak bias salah satu identitas perempuan, dan lebih dari itu, pemberian ruang bagi identitas perempuan kelas pekerja untuk turut menjadi cakada dan cawakada di perhelatan Pilkada.

Penutup

Kita memerlukan adanya sebuah gerakan perempuan yang egaliter, bukan gerakan perempuan yang terbatas pada “breaking the glass ceiling” atau “memecahkan langit-langit kaca”. Sebab, apalah arti adanya perempuan di posisi pemimpin jika tak menjadi suara dan tak dapat berbuat bagi perempuan-perempuan juga kelompok rentan lain yang terhimpit beragam tantangan untuk sekadar meneruskan sekolah tinggi.

Mayoritas kepala daerah dan wakil kepala daerah perempuan adalah elit, bagian dari dinasti politik di daerah, meskipun ada pula yang menunjukkan aktivisme di masyarakat. Dapatkah kita berharap kepada para perempuan kada dan wakada terpilih, yang mayoritas memiliki pengalaman kebertubuhan dan pengalaman ekonomi yang berbeda dengan mayoritas perempuan-perempuan di daerahnya?

Bisakah kepemimpinannya menghadirkan damai dan adil bagi perempuan-perempuan kelas pekerja, perempuan-perempuan kepala rumah tangga, juga perempuan transgender? Ataukah justru hanya menampakkan pembagian kekuasaan diantara para elit, yaitu laki-laki elit dan perempuan elit? Jika demikian, maka tentulah terpilihnya perempuan di posisi kepala daerah dan wakil kepala daerah bukanlah jawaban dari puspa ragam persoalan kaum perempuan.