August 8, 2024

MK Kabulkan 4 Perkara yang Lewati Ambang Batas Selisih Hasil

Catatan evaluasi Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif terhadap proses perselisihan sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi (MK) memperlihatkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah berganti sikap. Jika pada perselisihan sengketa hasil Pilkada 2015 MK menerapkan ambang batas selisih hasil secara ketat, di Pilkada 2020, MK mempertimbangkan kasus yang dapat berdampak secara substansial terhadap hasil pemilihan meski kasus tersebut tak melewati ambang batas selisih hasil.

“Ternyata, dari 9 perkara yang tidak memenuhi ambang batas, 4 di antaranya merupakan putusan dengan amar dikabulkan. 3 perkara dikabulkan sebagian, dan 1 perkara dikabulkan seluruhnya. 5 perkara sisanya tidak dapat diterima karena tidak beralasan, sehingga Pasal 158 (tentang ambang batas selisih hasil di UU No.1/2015) digunakan MK untuk memutus perkara itu,” kata Koordinator Harian KoDe Inisiatif, Ihsan Maulan, pada diskusi “Catatan Akhir Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020”, Selasa (23/3).

Pada Kamis (18/3) hingga Senin (22/3), MK membacakan 32 putusan. 17 putusan di antaranya merupakan putusan dengan amar dikabulkan.

“Jadi, sebagian besar merupakan putusan dengan amar dikabulkan. Ada 17 yang dikabulkan, 10 ditolak dan 5 tidak dapat diterima,” ujar Ihsan.

Pada Pemilihan Gubernur (Pilgub), ada dua perkara yang dikabulkan oleh MK, yakni Pilgub Kalimantan Selatan dan Jambi. Pada Pemilihan Wali Kota/Bupati, 15 perkara dikabulkan.

“Kalimantan Selatan dan Jambi, dua perkara tersebut dikabulkan sebagian oleh MK. Untuk bupati, yang dilanjutkan ke pokok permohonan oleh MK, amarnya bervariatif. Ada yang dikabulkan selurunya 1 perkara, dikabulkan sebagian 13, ditolak 9, dan tidak dapat diterima 6. Untuk wali kota, dikabulkan sebagian 1, ditolak 1,” jelas Ihsan.

Daei 17 putusan yang dikabulkan oleh MK, 16 di antaranya memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU). Sementara, 1 putusan lainnya memerintahkan penghitungan suara ulang.

Dari pencermatan KoDe Inisiatif, tren perintah PSU meningkat dari Pilkada 2015. Di Pilkada 2015, hanya ada 4 daerah yang diperintahkan untuk PSU. Di 2017, 6 daerah. 2018, 5 daerah.

“Kalau penghitungan suara ulang, angkanya tetap saja. Hanya 1 daerah yang diperintahkan untuk penghitungan suara ulang dari 2015 sampai 2020,” tukas Ihsan.

Tak hanya memerintahkan PSU, beberapa putusan MK juga memerintahkan hal lain. Satu, mengangkat ketua dan anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) dan ketua dan anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang baru di daerah yang akan dilakukan PSU.

Dua, PSU dengan mendirikan TPS khusus. Hal ini terjadi di Halmahera Utara dan Morowali Utara.

Tiga, PSU dengan pencoblosan langsung dan perbaikan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Perintah ini terdapat di Putusan MK untuk Pilkada Nabire.

Empat, diskualifikasi pasangan calon (paslon) yang tidak memenuhi syarat (TMS) untuk tidak diikutsertakan pada PSU. Putusan ini untuk kasus Pikada Boven Digoel.

“Dari 16 daerah yang akan melakukan PSU, ternyata 2 daerah harus melakukan PSU di seluruh kabupaten di wilayah itu. Satu di di Nabire karena MK mengatakan ada DPT yang tidak logis sehingga PSU di seluruh TPS.  Dua, Boven Digoel karena ada paslon yang TMS,” tutup Ihsan.