August 8, 2024

Maksimalkan Uji Kelayakan dan Kepatutan KPU-Bawaslu

Mulai hari ini, Senin (14/2/2022), hingga Rabu (16/2/2022), Komisi II DPR akan menggelar uji kelayakan dan kepatutan calon anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu periode 2022-2027. Tahapan ini harus dimaksimalkan untuk menggali tawaran inovasi dari calon penyelenggara pemilu dalam menghadapi Pemilu 2024.

Waktu yang diberikan kepada setiap peserta sekitar satu jam, dialokasikan untuk pemaparan visi dan misi selama 15 menit, pertanyaan dari maksimal 10 anggota Komisi II DPR masing-masing tiga menit, dilanjutkan jawaban atas pertanyaan sekitar lima menit. Penilaian dilakukan mencakup integritas dan komitmen, visi dan misi, pengetahuan kepemiluan, serta profesionalisme.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mengatakan, DPR harus memahami sistem pemilu di Indonesia belum ideal. Oleh sebab itu, tahapan uji kelayakan dan kepatutan harus digunakan DPR untuk menanyakan inovasi yang ditawarkan calon penyelenggara pemilu dalam mengatasi kerumitan yang akan terjadi pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah 2024. Tawaran harus konkret dan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki KPU dan Bawaslu sehingga penyelenggara yang terpilih bisa menjawab kebutuhan Pemilu dan Pilkada 2024.

”Ini harus disadari DPR agar uji kelayakan dan kepatutan ada gunanya, tidak sekadar formalitas,” kata Ramlan saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (13/2/2022).

Menurut dia, setidaknya ada tujuh hal yang semestinya digali DPR dari 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu. Pertama, pandangan mereka terkait dengan penyederhanaan surat suara. Selanjutnya, tawaran konkret mengatasi beban berat penyelenggaraan Pemilu 2024 agar kejadian meninggalnya ratusan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara seperti pada Pemilu 2019 tak terulang.

Ketiga, anggota KPU periode mendatang harus bisa menjawab tantangan lamanya penetapan hasil pemilu. Sebab, Indonesia menjadi negara dengan proses penetapan hasil terlama di dunia yang mencapai 35 hari. ”Apakah cukup melalui peraturan KPU, perubahan undang-Undang, atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang itu harus diupayakan,” ucap Ramlan.

Kemudian penyelenggara harus bisa menyelesaikan masalah surat suara tidak sah yang sangat tinggi yang terjadi pada Pemilu 2019. Saat itu surat suara pemilu legislatif mencapai 11,12 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan standar internasional maksimal empat persen. Kelima, KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 mesti bisa menawarkan implementasi pemilu inklusif. Bukan hanya kepada kelompok difabel ataupun marjinal, kelompok lain seperti mahasiswa, pekerja perantau, pasien di rumah sakit, pemantau pemilu, dan jurnalis yang bekerja saat pemungutan suara yang rentan kesulitan menyalurkan hak suara saat pemilu.

Selanjutnya, inovasi tentang digitalisasi pemilu beserta peningkatan kualitas sumber daya yang mengoperasikannya. Terakhir, tawaran dari calon penyelenggara untuk membuat semua kelompok pemilih tertarik pada pemilu. Sebab, jika tidak ada ketertarikan, sosialisasi akan sulit berdampak. Maka, anggota KPU terpilih harus punya kemampuan atau minimal tahu apa yang harus dilakukan untuk membuat pemilih tertarik pada pemilu.

Pengajar politik Universitas Sam Ratulangi, Manado, Ferry Daud Liando, mengatakan, DPR tidak boleh hanya mendalami tingkat pengetahuan dan intelektualitas kepemiluan, tetapi juga terobosan atau inovasi yang ditawarkan dalam menghadapi Pemilu dan Pilkada 2024. Sebab, pemilu mendatang masih menggunakan UU yang sama pada Pemilu 2019 sehingga masalah-masalah krusial sangat berpotensi terulang kembali.

”Perlu pendalaman tentang pendekatan manajemen risiko yang disiapkan masing-masing calon karena salah satu cara yang bisa menyelamatakan Pemilu 2024 adalah manajemen risiko,” katanya.

Ferry menilai, tawaran inovasi jauh lebih penting untuk dijadikan pertimbangan dibandingkan dengan latar belakang organisasi calon penyelenggara pemilu. Kemampuan teknis itu lebih dibutuhkan dibandingkan dengan pengalaman kepemimpinan. Oleh sebab itu, proses uji kelayakan dan kepatutan mesti bisa dimaksimalkan dalam menggali tawaran para calon penyelenggara.

”Masing-masing calon harus diperlakukan sama. Jangan ada calon yang diistimewakan dengan pertanyaan yang mudah, sementara calon yang lain diajukan pertanyaan yang terkesan menjebak atau menjatuhkan,” ujarnya.

Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung menuturkan, Komisi II DPR akan menggali terkait integritas agar pengalaman pelanggaran hukum di periode ini tidak terulang. Mereka juga akan menggali kemampuan konsep dan teknis kepemiluan calon penyelenggara. Kemampuan komunikasi dengan pihak lain tanpa mengurangi independensi penyelenggara juga harus dimiliki.

”Mereka tidak mungkin tidak berkomunikasi dengan parpol dan pemerintah, jadi mereka harus bisa menempatkan diri bagaimana komunikasi tetap berlangsung, tetapi independensi dalam menjaga kemandirian bisa dilakukan. Seni membangun komunikasi yang baik itu penting dilakukan,” katanya.

Gagasan lain yang akan digali, lanjut Doli, adalah inovasi yang ditawarkan untuk menyelenggarakan pemilu. Kemudian soal ketahanan fisik dan mental berkaitan dengan riwayat kesehatan juga jadi pertimbangan. ”Latar belakang organisasi tidak terlalu penting untuk ditonjolkan karena yang utama adalah kemampuan individual,” ucapnya.

Doli juga menepis kekhawatiran tahapan uji kelayakan dan kepatutan sekadar formalitas. Sebab, sejauh ini belum ada pembicaraan mengenai paket-paket anggota KPU dan Bawaslu yang dibicarakan antrafraksi. ”Kami sepakat di dalam rapat pimpinan dan internal untuk menunggu hasil uji kelayakan dan kepatutan,” katanya.

Senada dengan Doli, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa pun akan menggali tawaran inovasi dan kemampuan mengonsolidasikan organisasi KPU. Sebab, tarikan kepentingan di daerah cenderung lebih kuat sehingga membutuhkan kepemimpinan mengendalikan organisasi yang baik dari KPU RI. ”Pertanyaan yang diberikan harus variatif, tidak homogen antarcalon,” katanya.

Saan berharap uji kelayakan dan kepatutan dilakukan secara serius oleh seluruh fraksi untuk menjawab anggapan tahapan ini sekadar formalitas. Lobi-lobi informal yang telah dilakukan oleh calon penyelenggara dengan fraksi jangan digunakan sebagai acuan utama dalam menentukan pilihan.

”Di tengah kepentingan subyektif masing-masing fraksi, sebaiknya kita juga harus cari irisan kepentingan obyektifnya agar dapat memilih penyelenggara yang kredibel,” kata Saan.

Representasi perempuan

Dorongan dari sejumlah kelompok masyarakat sipil agar Komisi II DPR memperhitungkan betul keterwakilan perempuan minimal 30 persen di pemilihan anggota KPU-Bawaslu semakin menguat. Saat ini, dari 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu, ada tujuh perempuan.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka, Sabtu, mengatakan, ketujuh perempuan calon penyelenggara pemilu itu merupakan orang-orang dengan rekam jejak baik dan kapasitasnya juga setara dengan calon penyelenggara laki-laki. Oleh karena itu, ia berharap Komisi II DPR memiliki kepedulian dan kesadaran untuk mewujudkan komposisi 30 persen perempuan sebagai penyelenggara pemilu.

Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah, Minggu, mengatakan, koalisi masyarakat sipil, lembaga kampus, akademisi, serta organisasi kemasyarakatan mendorong pemilihan anggota KPU dan Bawaslu dilakukan dengan prinsip inklusivitas dan keadilan jender. Hal ini dilakukan dengan menghadirkan keterpilihan proporsional antara perempuan dan laki-laki.

Elemen masyarakat sipil juga berharap, jika setiap anggota Komisi II DPR memilih tujuh nama untuk anggota KPU dan lima nama untuk anggota Bawaslu, maka harus dipastikan pada nama-nama itu termuat paling sedikit 30 persen perempuan. (IQBAL BASYARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/pemilu/2022/02/13/maksimalkan-uji-kepatutan-dan-kelayakan-kpu-bawaslu