September 13, 2024

Penyalahgunaan Data Intelijen Berdampak Buruk bagi Demokrasi

Pada 16 September 2023 lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa dirinya mendapatkan informasi dari komunitas intelijen di Indonesia mengenai data, survei, dan arah partai politik. Pernyataan yang disampaikan dalam acara Rakernas Seknas Jokowi di Bogor, Jawa Barat itu dinilai para aktivis sebagai dugaan bentuk penyalahgunaan data intelijen. Sikap orang nomor satu Indonesia ini berdampak buruk bagi demokrasi.

“Kalo Presiden mendapatkan informasi dari intelijen soal partai politik, itu jelas melanggar undang-undang intelijen negara, karena partai politik tidak termasuk dalam kelompok sasaran intelijen. Aktivitas partai politik juga tentu berdasarkan AD/ART yang disahkan Kemenkumham tidak mungkin berisi sesuatu yang mengancam keamanan negara,” papar ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusi (PBHI), Julis Ibrani mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor keamanan di kantor Imparsial, Jakarta Selatan (19/9).

Julius Ibrani menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, yang menjadi objek intelijen negara adalah setiap benda, kondisi yang ada kaitannya dengan ancaman keamanan negara. Ia menilai partai politik dalam negara demokrasi adalah pondasi dan kendaraan bagi hak asasi manusia (HAM).

“Ini akan buruk bagi demokrasi kita, ini bukan jalan mundur lagi, melainkan jalan hancur,” ungkapnya.

Julius menegaskan harusnya hal itu menjadi bahan bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengajukan hak interpelasi karena statemen presiden melanggar undang-undang dan melanggar hukum. Lebih jauh Julius menerangkan bahwa kasus ini masuk dalam kategori Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (UUD NRI) 1945 terkait dengan impeachment. Menurutnya, sikap presiden merupakan bagian dari bentuk pelanggaran hukum yang bisa menyebabkan presiden tidak layak lagi menjabat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Zainal Arifin menilai, kegagalan reformasi dalam sektor keamanan semakin diperkuat ketika aktivitas politik dianggap sebagai ancaman nasional. Sementara dalam demokrasi, partai politik menjadi elemen terpenting.

Kalau merujuk UUD NRI 1945, lanjut Zainal, Indonesia adalah negara hukum. Pilihan negara hukum artinya terdapat pembatasan kekuasaan terhadap penguasa agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Karena keharusan pembatasan kekuasaan ini, ada fungsi-fungsi kontrol.

“Maka memanfaatkan informasi-informasi intelijen untuk kepentingan penguasa, penting kita lihat sebagai penyalahgunaan kekuasan yang harus dipertanggungjawabkan,” tegas Zainal.

Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid menilai pergerakan partai politik adalah kegiatan politik yang sah. Badan intelijen sudah seharusnya tidak boleh ikut campur, kecuali ada kegiatan kriminal.

“Kalau melihat statemen terbaru dan presiden memberi indikasi bahwa itu urusan politik, jangan-jangan bukan hanya presiden yang menyalahgunakan untuk pengawasan partai politik, tetapi badan intelijennya melakukan tindakan yang seharusnya sudah ditinggalkan,” tutur Usman.

Lebih lanjut, Usman menjelaskan, pada masa kolonial belanda intelijen kolonial belanda mengawasi kegiatan politik dari Boedi Oetomo, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Sarekat Islam, semuanya diawasi. Pada era kependudukan Jepang, badan intelijen Jepang juga mengawasi bahkan melekatkan fungsi-fungsi intelijen politik di dalam kepolisian. Pada awal-awal pemerintahan Indonesia badan intelijen juga digunakan untuk kepentingan pertarungan politik melawan oposisi yang dipimpin oleh Tan Malaka. Bahkan di Era Orde Baru, bukan hanya kegiatan partai politik. tapi semua bentuk kegiatan politik semuanya dikontrol penguasa pemerintahan.

“Jadi arus baliknya bukan hanya menuju era otoritarian Orde Baru tapi juga era-era jauh sebelumnya. Warisan watak politik intelijen yang semacam ini harus ditinggalkan. Karena membuat Badan intelijen tidak mampu mendeteksi dan menyediakan peringatan dini terhadap keamanan nasional,” imbuh Usman.

Menurut Usman, intelijen harus berpegang pada prinsip-prinsip yang diatur dalam pasal 2 UU 17/2011. Asas penyelenggaraan intelijen negara harus meliputi profesionalitas dan netralitas.

“Etos lainnya dari badan intelijen adalah menghormati konstitusi dan hak asasi manusia. Kita berharap sekali DPR tidak menganggap ini sebagai masalah sepele,” pungkas Usman.

Semetara itu peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan Hafidz menilai, partai politik tidak relevan menjadi objek pemantauan dari aktivitas intelijen. Karena menurutnya, sebagai kelembagaan demokrasi partai politik pada dasarnya telah melalui dua saringan yang demokratis dan sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum. Pertama, ketika partai politik didirikan dan mendapatkan status badan hukum partai politik. Kedua, ketika partai politik menjadi peserta pemilu yang telah melalui verifikasi oleh penyelenggara pemilu.

“Bahkan di ketentuan umum undang-undang partai politik pasal 1, partai politik harus menjabarkan baik Pancasila maupun UUD NRI 1945. Sehingga ketika partai politik mendaftar ke Kemenkumham sudah ada AD/ART nya, susunan pengurus, dan seterusnya. Misal ada yang bertentangan, tentu partai politik tidak bisa berdiri” ungkap Kahfi.

Lebih jauh, Kahfi menerangkan, partai politik sebagai peserta pemilu juga harus melalui verifikasi ganda, secara administrasi dan faktual. Yang kemudian, melalui dua tahap tersebut Komisi Pemilihan Umum akan melihat bagaimana status badan hukum yang dikeluarkan oleh Kemenkumham.

“Jadi ketika partai sudah lolos menjadi partai politik secara badan hukum dan sudah lolos sebagai partai peserta pemilu, harusnya partai-partai tersebut dianggap sudah tidak lagi membahayakan keamanan negara, karena sudah Pancasilais dan sesuai UUD 1945,” jelasnya.

Kahfi menambahkan, Presiden mempunyai kekuasaan untuk menggerakkan sumber daya negara. Untuk itu, netralitas presiden sangat dibutuhkan untuk menjamin integritas pemilu, menjaga demokrasi, dan memberikan iklim politik yang sehat, berkeadilan, dan setara.

“Jadi misal presiden tidak netral, sumber daya negara itu bisa dikanalisasi untuk menguntungkan kelompok-kelompok politik tertentu,” pungkas Kahfi.

Koalisi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari sejumlah organisasi hak asasi manusia (HAM), demokrasi, dan antikorupsi. Organisasi ini, di antaranya ada Imparsial, Amnesty International, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusi (PBHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontra-S), Centra Initiative, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Indonesia Corruption Wathc (ICW), Human Rights Working Group (HRWG), LBH Masyarakat, dan Setara Institute []

AJID FUAD MUZAKI