August 8, 2024

Pendidikan Inklusif untuk Pemilu Inklusif

Tanpa maksud tak menghargai capaian positif pemilu dan demokratisasi Indonesia, pemilu masih belum ramah kepada kita semua. Khususnya bagi penyandang cacat/disabilitas (penulis menggunakan terma difabel (diferent ability). Sebab utamanya, penyelenggaraan pemilu yang inklusif tak terintegrasi dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Tak heran karena pendidikan inklusif pun masih tersendat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional yang sentralistik dan diskriminatif.

Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang sistem dan segala pihak di dalamnya terbuka dan merangkul semua pihak dengan pendekatan empatik. Ini pendidikan dari, oleh, dan untuk semua. Segala identitas dan keadaan manusia di dunia ini diterima berproses didik dengan menempatkan segala pihak di dalamnya sebagai subjek didik. Ada saling aksi dan saling reaksi antar pendidik, peserta didik, dan masyarakat. Tak ada tembok imajiner antara sekolah dan masyarakat luar sekolah. Tak ada asumsi lingkungan sekolah lebih baik dari lingkungan masyarakat sehingga sekolah harus disucikan dari pengaruh masyarakat.

Dalam bingkai sekolah, pendidikan inklusif mengajak dan menerima masuk semua pendidik dan peserta didik. Sekolah inklusif bukan hanya untuk orang kaya saja, tapi semua strata ekonomi. Sekolah inklusif pun untuk semua agama: Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dengan segala sektenya. Baik sekte mayor seperti Katolik atau Protestan dengan segala ragamnya, maupun sekte minor dalam Islam seperti Ahmadiyah atau Syiah. Juga untuk semua etnis atau ras. Bukan juga hanya untuk norma heteroseksual tapi juga LGBTIQ. Semua identitas dan keadaan manusia ditampung dan diproses tumbuh dalam sekolah inklusif. Bahkan, tanpa kata inklusif pun sekolah seharusnya memang inklusif. Termasuk untuk kaum difabel.

Siapa saja difabel?

Pemaknaan pendidikan dan sekolah inklusif kini umumnya bergeser. Maknanya menjadi pendidikan dan sekolah yang punya perhatian terhadap difabel. Dalam bingkai program pendidikan dan sekolah inklusif, kaum difabel dengan proses didiknya diistilahkan menjadi ABK (anak berkebutuhan khusus).

ABK terdiri dari berbagai kelompok. Kelompok A adalah ABK berhambatan melihat (tunanetra, termasuk buta total). Kelompok B adalah ABK berhambatan dengar (tunarungu) yang umumnya berdampak pada hambatan bicara (tunawicara). Kelompok C adalah ABK berhambatan fisik (tunadaksa), baik yang salah satu atau lebih fisiknya tak ada, separuh atau tak tumbuh optimal. Kelompok D adalah ABK berhambatan mental (tunagrahita), termasuk di dalamnya down syndrom dan sqrizofenia (ketakstabilan jiwa karena emosi).

Seiring kemajuan studi kedokteran dan psikologi beserta pendidikan, daftar kelompok itu semakin kompleks dan bertambah. Buta warna sangat mungkin dimasukan pada kelompok A. Lalu ada jenis syndrom yang baru ditemukan seperti Aspergin, Indigo, dan lainnya. Bahkan, penggunaan kata difabel bermakna different ability untuk menghilangkan makna tak normal atau kurang, menjadi lebih terpenuhi dengan masuknya kelompok cerdas istimewa (ber-IQ lebih dari 120) ke dalam kelompok ABK.

Difabel di pemilu

Undang-undang No. 8/2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD sayangnya belum terhubung dengan terma difabel berperspektif pendidikan inklusif. Ayat (1) di Pasal 157 dan 165 menuliskan makna difabel dengan redaksi “tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain pada saat memberikan suaranya”. Selain itu, Pasal 142 Ayat (2) membahas alat bantu terkait difabel hanya ditujukan pada tuna netra.

Dalam redaksi UU itu istilah difabel masih bermakna ketunaan atau keberhambatan fisik. Padahal, difabel bukan soal keberhambatan fisik saja, tapi juga keberhambatan lainnya atau malah keberbedaan lainnya. Misal, jangan salahkan kelompok cerdas istimewa jika kelompok ini tak mencoblos karena pemilu begitu membosankan dari cara penyampaian dan penyelenggaraan.

Salah satu yang sering dilupakan dari lingkup difabel yaitu kelompok keberhambatan intelektual (IQ) seperti tuna grahita. Keberhambatan ini berdampak pada keterbelakangan mental (mental retardation). American Asociation on Mental Deficiency (AAMD) mengartikan tunagrahita sebagai orang meliputi fungsi intelektual umumnya di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes di usia sebelum 16 tahun.

Selasa, 8 April 2014, kedatangan Perhimpunan Jiwa Sehat ke KPU menggambarkan masih ekslusifnya makna disabilitas dan pemilu itu sendiri. Ketua PJS, Yeni Rose menjelaskan, stigma masyarakat (termasuk di dalamnya anggota penyelenggara pemilu) terhadap penyandang gangguan jiwa berdampak tertutupnya akses hak memilih. Tak ada pendidikan bahkan sekedar kampanye pemilu terhadap penyandang gangguan jiwa. Tak ada juga pengupayaan pendataan daftar pemilih dan alokasi TPS.

Inklusif sebagai perspektif

Pemilu yang akses terhadap difabel bukanlah sebatas adanya tamplate Braile, halusnya jalan, TPS bebas got, atau posisi kotak suara yang bisa dijangkau pengguna kursi roda. Beberapa hal ini hanya bagian kecil dari makna difabel. Dan, difabel pun merupakan salah satu beragam identitas yang diberi akses dalam pemilu yang inklusif.

Sehingga, inklusif di sini bukan berarti ketersediaan fasilitas, program, atau pengupayaan akses. Lebih dari itu, inklusif di sini berarti perspektif keterbukaan yang empatik terhadap semua ragam identitas, tanpa kecuali. Apakah para penyelenggara pemilu berperspektif inklusif? Apakah penyeleksiannya menyertai perspektif inklusif? Apakah pegawai kependudukan dan pantarlih berspektif inklusif dalam mendata pemilih? Jawaban ya/tidak dari pertanyaan itu menyimpulkan baik/buruk-nya inklusivitas pemilu.

Jika kita banyak menjawab “tidak”, itu konsekuensi dari penyelenggaraan pemilu yang tak terintegrasi dengan pendidikan inklusif. Buruknya keadaan akses untuk semua dalam penyelenggaraan pemilu karena pemilu diselenggarakan para anggota masyarakat yang tumbuh dari didikan pendidikan eksklusif.

Banyak bentuk eksklusivitas kita temukan atau alami di sekolah menyertai proses didiknya. Yang rangkingnya atau nilai UN/NEM-nya tinggi masuk kelas unggulan. Ada stereotipe IPA lebih unggul dibanding IPS. Perempuan dipisah dengan laki-laki. Kelompok difabel dipisahkan dari sekolah umum untuk masuk sekolah luar biasa. Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucho tak disediakan layanan pendidikan agama di sekolah negeri. Tak diterimanya siswa beragama Ahmadiyah. Celetuk dan ledek “kribo” dan “hitam” untuk siswa Papua. Atau umpatan “maho” bagi lelaki kemayu atau stigma berdosa bagi LGBTIQ. Juga bentuk tak setara dan diskriminatif lainnya.

Mungkin penekanan solusi menciptakan pemilu inklusif dimulai dengan menguatkan pendidikan inklusif akan membuat kita pesimis terhadap penyelenggaraan pemilu yang adil. Waktu capaiannya tak akan berhasil dalam waktu cepat. Pendidikan adalah proses panjang yang menyerta usaha pelibatan antar pihak; masyarakat, tokoh, sekolah, pemerintah, pendidikan dan sebagainya. Kalau pintar, baik, dan bermanfaatnya para peserta didik bisa dicapai dengan “simsalabim” buat apa kita menyelenggarakan ajar-mengajar di sekolah dan memilih pemerintahan melalui pemilu?

Menguatkan optimisme, kita bisa mempertimbangkan pendapat aktivis difabel, Ariani Soekanwo. Perempuan ini meyakini, pemilu yang inklusif bisa menjadi percepatan untuk terciptanya pendidikan inklusif. Pemilu yang disertai advokasi perspektif inklusif kepada penyelenggara beserta pengawas, aktivis, dan peserta pemilu akan menghasilkan pemerintahan berperspektif inklusif. Orang-orang terpilih di parlemen dan eksekutif ini yang nantinya akan membuat kebijakan berperspektif inklusif. Tak hanya di bidang kepemiluan, atau pendidikan, tapi juga semua bidang. []

USEP HASAN SADIKIN