August 8, 2024

Pengawasan Perlu Ditingkatkan

Deklarasi pemilu damai di Papua, ditandatangani oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum RI Juri Ardiantoro bersama 39 pasangan calon kepala/wakil kepala daerah di 11 kabupaten/kota yang akan menggelar Pilkada 2017, Sabtu (29/10), di Jayapura, Papua. KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA

JAKARTA, KOMPAS — Berkaca pada pemilihan kepala daerah sebelumnya, pengawasan dana kampanye pada Pemilihan Kepala Daerah 2017 harus lebih ditingkatkan. Tidak semata bergantung pada Komisi Pemilihan Umum dan akuntan publik yang mengaudit dana kampanye, tetapi harus ada peran lebih aktif dari pengawas pemilihan, pemantau, dan masyarakat pemilih.

Ini penting untuk mencegah ketidakjujuran calon kepala/wakil kepala daerah dalam melaporkan dana kampanye. Ketidakjujuran merupakan sumber politik transaksional, baik saat pemilihan maupun saat calon terpilih dan menjabat.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz, Minggu (30/10), mengatakan, saat Pilkada 2015, JPPR menemukan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), dan Laporan Penerimaan dan Penggunaan Dana Kampanye (LPPDK), yang disampaikan calon di 10 daerah belum mencerminkan jumlah riil penerimaan dan pengeluaran selama masa kampanye.

Kampanye pertemuan terbatas, misalnya, kerap tidak dilaporkan calon dengan dalih kegiatan itu dibiayai donatur. Padahal, sekalipun dibiayai donatur tetap harus dilaporkan. Pembiayaan dari donatur masuk kategori sumbangan dana kampanye kepada calon yang harus dilaporkan sebagai bagian dari pelaporan dana kampanye.

Begitu pula saat kampanye rapat umum. “Biaya kampanye calon yang kami hitung lebih besar jumlahnya daripada yang dilaporkan oleh calon kepada KPU,” katanya.

Politik transaksional

Pelanggaran dana kampanye sering kali luput dari perhatian KPU dan Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ditunjuk untuk mengaudit dana kampanye calon. Pasalnya, KAP hanya mengaudit dana yang dilaporkan calon sedangkan kewenangan KPU hanya sebatas memastikan calon memahami hal-hal administratif berkait laporan dana kampanye dan mematuhi jadwal penyerahan laporan.

Padahal, pelanggaran dana kampanye merupakan sumber politik transaksional. Dana yang tidak dilaporkan digunakan calon untuk politik uang. Adapun sumbangan yang tidak dilaporkan bisa jadi untuk menyembunyikan penyumbang dan kepentingannya saat calon terpilih dan menjabat.

Karena itu, Masykurudin mendorong pengawas pemilihan tidak semata hadir dan mengawasi pelanggaran saat kampanye, tetapi juga menghitung pengeluaran calon di setiap kegiatan kampanye. Hasil pengawasan ini bisa menjadi data pembanding laporan dana kampanye calon kepada KPU.

Komisioner KPU, Ida Budhiati, mengatakan, pihaknya rutin memublikasikan laporan dana kampanye calon di laman resmi KPU. Laporan dipublikasikan dengan harapan pengawas, pemantau, dan masyarakat pemilih ikut aktif mengawasi penggunaan dana kampanye calon.

Jika ditemukan indikasi pelanggaran, mereka bisa menyampaikannya kepada KPU untuk kemudian diteruskan ke KAP. Dengan demikian, saat mengaudit laporan dana kampanye, KAP bisa memverifikasi temuan pelanggaran tersebut kepada calon kepala/wakil kepala daerah.

“Kalau terbukti calon berbohong, mereka bisa kena pidana,” ujarnya.

Partisipasi pengawas, pemantau, dan masyarakat pemilih, menurut Ida, belum menonjol selama ini. Akhirnya akuntabilitas dana kampanye calon semata dilihat dari laporan yang dibuat dan diserahkan calon ke KPU.

Anggota Badan Pengawas Pemilu, Nasrullah, mengatakan telah menekankan kepada jajaran panwas di daerah untuk mengawasi penggunaan dana kampanye calon. Tak sebatas itu, mereka juga diminta mengecek para penyumbang dana kampanye. Ini dilakukan karena sering terjadi penyumbang dana yang dilaporkan calon ternyata fiktif.

“Dengan pengawasan yang lebih intens, kami berharap calon membuat pelaporan dana kampanye dengan detail,” ujarnya. (APA)

http://epaper1.kompas.com/kompas/books/161031kompas/#/1/