August 8, 2024

Wajah Demokrasi Kita

Kita selalu bermimpi bahwa setiap hal di dunia dapat direpresentasikan, diwakilkan secara utuh sekaligus penuh. Padahal senyatanya manusia selalu hidup di dalam apa yang ada. Apa yang ada ini berjalan dengan ditopang oleh kepentingan-kepentingan, harapan-harapan, cita-cita hingga dendam-dendam masa lalu. Amat naif jika kita menafsirkan orang akan mampu merepsentasikan yang dimaknai sebagai “perwakilan” utuh dan penuh oleh seorang yang memiliki harapan, cita, kepentingan dan dendam yang berbeda.

Oleh sebabnya, konsensus hadir untuk menjaga agar upaya mewakili tersebut tidak chaos. Tentunya, setiap hal yang berlindung di balik ketiak perwakilan harus menjaga dirinya dalam keadaan seimbang, stabil, dan damai serta tentram. Seimbang, bukan berarti tak ada yang menggoyahkan, stabil bukan berarti pasti tak akan fluktuatif, damai dan tentram tidak sama maknanya dengan tidak adanya peperangan. Akan tetapi, efek besar dan berlebih dari hal-hal tersebut diredam sedemikian rupanya. Dan konsensus hadir, meruntuhkan sekaligus menjaga demokrasi dan demos kita.

Demokrasi Indonesia, sebagaimana banyak pengamat mengatakan, belum berjalan dalam tataran substantif. Masih terjebak dalam ranah prosedural semata. Artinya, demokrasi yang berjalan di Indonesia belum sampai kepada upaya mewakili tadi, hal ini karena adanya ketidakseimbangan dalam topangan politik tanah air.

Apa itu? Finalisasi politik. Politik difinalkan, bukan dengan jalan-jalan seorang demokratis tetapi dengan pemaksaan. Malah, yang terjadi kini, penjaga demokrasi (hukum) ditelanjangi melalui perselingkuhan dan perzinahan haram antara yudikatif dan eksekutif.

Selama ini, upaya penjagaan keseimbangan politik di Indonesia dilalui dengan kredo mempertahankan keutuhan negara. Soekarno, melahirkan konsepsi demokrasi terpimpin sebagai suatu bentuk konseptualisasi demokrasi yang tidak ke Barat-baratan, karena demokrasi hanya menjadi ideal apabila ia dapat cocok dan seragam dengan apa yang menjadi pengalaman bangsa. Kawinnya demokrasi sebagai anak kandung Barat bertemu dengan pikiran Pancasila bangsa, melahirkan demokrasi terpimpin sebagai suatu ujung tanduk ikhtiar evakuasi bangsa yang berangkat dari pikiran critis-emansipatoris-integratifnya Soekarno.

Bahwa, dalam bayangan Soekarno proses demokrasi seperti yang berjalan di Barat dikhawatirkan semakin melanggengkan kapitalisme dan imprealisme dunia sebagaimana dialami oleh negara-negara dunia ketiga. Untuk itu, demokrasi yang berbasis atas situasi kondisi sosial kultural masyarakat yang ada perlu untuk dibumisasikan. Demokrasi barat yang diselenggarakan di Eropa atau Amerika belum tentu cocok dengan apa yang diterapkan di Indonesia, oleh karenanya kemudian demokrasi terpimpin lahir sebagai suatu kredo dan langkah konkret menyelematkan Indonesia yang saat itu masih dibayang-bayangi trauma penjajahan.

Akan tetapi, meskipun usaha-usaha pada kemudiannya justru menjebakan Indonesia pada situasi kediktatoran seorang yang terkena candu karena kerasukan kekuasaan yang dipegangnya. Sejarah kemudian mencatat, demokrasi terpimpin memang berhasil meredam segala bentuk pemberontakan yang diakibatkan oleh keterlibatan “asing” dan “aseng” melalui segala macam pemberontakan yang ada-meskipun di satu sisi dendam politik pula membara di antara sesama orang-orang yang dulu pernah berjuang bersama. Tetapi, politik bisa mendorong pelakunya bermuka dua.

Walaupun ada implikasi ironisnya yaitu justru Soekarno tampil menjadi diktator hingga Gie kemudian mengatakan jika kita (bangsa Indonesia) seolah-olah merayakan demokrasi tetapi senyatanya memotong lidah mereka yang berani mengatakan pendapatnya melalui demokrasi terpimpin ini. Suatu hal yang ironis, bahwa demokrasi, barangkali menurut Soekarno hanyalah suatu proses untuk terbebas dari penjajahan asing untuk kemudian dibungkam oleh bangsa sendiri. Walaupun para pendukungnya akan dengan sangat pongah menyebut hal itu dilakukan guna menyelematkan demos dari segala bentuk penghisapan dan ancaman kedaulatan yang ada.

Dewasa ini, seorang yang terkena candu karena dipuja-puji tersebut pun telah kemudian menghantarkan demokrasi Indonesia pada keadaan ujung tanduk. Selama ini, demokrasi membatasi atau dibatasi dirinya oleh hukum. Penghormatan terhadap hukum adalah menjaga keseimbangan dan stabilitas demokrasi agar ia tidak menghancurkan dirinya sendiri.

Untuk itu, hukum menjadi semacam kawan karib yang senantiasa mengingatkan agar demokrasi tidak berlebihan. Demokrasi berlebihan dimaknai sebagai suatu bentuk mobokrasi. Pikiran masyarakat untuk berpikir secara kritis dikendalikan oleh sekelompok orang yang menerapkan kontrol dan tekanan terhadap publik karena ketidaktahuan dan ketidakcakapannya di dalam memimpin persoalan substansil negara.

Era sosial media, tekanan terhadap publik dan kontrol pikiran tersebut dilakukan melalui kanal-kanal di semua media sosial yang ada. Upayanya jelas, agar terciptanya suatu framing atau citra terhadap person tertentu sehingga ia dapat tampil guna meraih simpati publik, pada kontes elektoral nantinya, person ini akan memenangkan elektabilitas sehingga probabilitas menduduki jabatan publik terbuka semakin lebar.

Ingat, rumus dasar demokrasi adalah suara terbanyak. Konsensus 50+1 ini menjadi paradoks. Sederhananya, citra yang terbentuk tersebut merupakan sesuatu yang biasa saja terjadi di dalam demokrasi. Pertarungan berlangsung terbuka untuk memperoleh dukungan rakyat. Tetapi, ketika citra tersebut diolah sebagai suatu upaya menghancurkan konstitusi negara, maka di sana letak problematikanya.

Kembali, kredo menyelematkan negara ala Soekarno melalui konsepsi terpimpinnya digunakan sebagai suatu, katakanlah, meneruskan upaya rekonsiliasi nasional untuk menjaga kekokohan persatuan dan kesatuan bangsa. Padahal, keseimbangan, stabilitas, kedamaian dan ketentraman demokrasi ada dalam pluralisme dan toleransi politik, termasuk di dalamnya pluralisme pikiran politik untuk kemudian tidak memfinalkan politik tersebut. Finalisasi politik adalah suatu langkah paling nyata menyebrangkan demokrasi Indonesia pada kehancurannya.

Finalisasi politik dewasa ini tidak hanya terjadi pada matinya pluralisme dan toleransi politik, utamanya dalam ranah media sosial. Finalisasi politik hanya menjadi hitam dan putih serta tidak ada toleransi selain harus menjadi putih atau hitam.

Lebih parah dari itu, penghancuran yudisialisasi politik pun terjadi, hukum dimatikan untuk menghidupkan tujuan politik. Politik sebenarnya mati juga, jika politik dimaknai sebagai suatu proses dialektis etis dalam upaya memberikan kebahagiaan dan kemaslahatan bagi masyarakat. Tetapi, politik hidup jika hanya dimaknai sebagai suatu tujuan dengan cara-cara apapun guna merebut, mempertahankan, dan memperlebar kekuasaan semata.

Determinasi politik, dalam hal ini didefinisikan sebagai keikutcampurtanganan kepentingan politik person, golongan, atau keluarga tertentu terhadap hukum berakhir pada pelanggaran etika berat di mana kemudian demokrasi ternyata telah menghancurkan dirinya, karena pada akhirnya kesetaraan dan keadilan tidak ditemukan.

Pelanggaran terhadap kesetaraan dan keadilan di dalam suatu proses politik yang juga merupakan dampak lanjutan dari finalisasi politik tadi telah mematikan persaingan secara sehat di dalam kontestasi electoral. Spekulatifnya, keran demokrasi telah tertutup dan otoritarianisme telah terbuka. Sehingga, demokrasi Indonesia yang kerap tidak sampai pada kaidah etisnya: dari, oleh, dan untuk rakyat semakin jauh panggang daripada api.

Maka, upaya demokratisasi masyarakat di mana setiap orang, dengan kesadaran dan dengan kemerdekaannya berhak untuk dipilih dan memilih akan merasa skeptis. Karena penjamin demokrasi elektoral sebagai gerbang mengenal demokrasi lebih dalam telah kemudian berganti wajah. Demokrasi yang dicita-citakan guna membuat kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat telah menemui kekecewaannya.

Hal itu telah terjadi. Alfan Alfian menuturkan, jika demokrasi kita berparadigma menang-kalah, segala upaya akan dikerahkan. Kalah selalu berkonotasi jijik dan jelek, sedangkan menang adalah bentuk kemuliaan.

Padahal, sejatinya esensi demokrasi bukan hanya berjalan pada tataran memperoleh suara rakyat saja. Demokrasi merupakan serangkaian akhir dari satu esensi tentang sistem, nilai-nilai, etika, penghormatan hak asasi manusia, kesetaraan di depan hukum, penguatan hukum dan keadilan sosial. Dan satu lagi, ini menyangkut tentang cara berpikir dan berperilaku orang-orang di dalamnya. []

ISMA MAULANA IHSAN

Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung