August 8, 2024

Ambang Batas Parlemen: Antara Prinsip Demokrasi dan Stabilitas Pemerintahan

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) 4 persen inkonstitusional serta tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan pemilu. Meski perubahan ambang batas parlemen baru berlaku pada Pemilu 2029, namun mulai banyak penolakan dari partai politik besar untuk menurunkan besaran ambang batas parlemen dengan alasan sistem multipartai mempersulit membentuk pemerintahan yang stabil.

“Paling tidak dengan putusan MK ini di Pemilu 2029 kita bisa menjaga disproporsionalitas hasil pemilu agar tidak terlalu banyak suara terbuang yang kemudian itu akan bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat,” kata Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Pratama dalam diskusi online di Ruang Publik KBR, (14/3).

Poin utama gugatan Perludem menurut Heroik adalah untuk mengedepankan proporsionalitas hasil pemilu yang selama ini terhalang karena adanya ambang batas parlemen. Menurutnya penyederhanaan partai politik dibanding menaikkan besaran ambang batas parlemen dengan suara terbuang semakin tinggi, lebih baik memperkecil besaran daerah pemilihan (dapil).

Namun sebenarnya Perludem dalam gugatanya mengusulkan besaran PT dengan menghitung konsep ambang batas efektif. Berdasarkan kalkulasi Perludem menggunakan rumus Taagepera, yang memperhitungkan rata-rata besaran daerah pemilihan, jumlah daerah pemilihan, dan jumlah kursi dalam empat pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terakhir, ambang batas parlemen yang efektif adalah 1%.

“Kalau kita terapkan PT nasional, idealnya adalah 1%, namun sayangnya mahkamah menolak formula hitung kami yang seharusnya dimasukkan dalam ketentuan perundang-undangan,” jelas Heroik.

Meski demikian, Ketua Tim Khusus Partai Buruh Said Salahudin menilai putusan MK tidak cukup tegas mengatakan ambang batas sebagai inkonstitusional. Menurutnya dengan mengembalikan pada pembuat undang-undang atau DPR, hasilnya hanya akan berupa akal-akalan politik belaka.

“Misal, 4% terlalu tinggi lalu dibikin 3,99% misalnya. Yang terjadi hanya sekedar menggugurkan 4%,” kata Said.

Lebih lanjut, menurut Said, ambang batas tidak melulu soal persyaratan keterpilihan, harusnya ambang batas juga dibaca sebagai syarat kemenangan. Said berpandangan, ambang batas parlemen bukan syarat keterpilihan namun syarat untuk menjalankan fungsi sebagai anggota dewan.

“Mestinya kalaupun dibuat threshold, maka thresholdnya mengacu pada dapil, jadi jangan dikaitkan dengan dapil-dapil yang lain. Bukan secara nasional, wong ini pemilihannya berbasis dapil,” jelasnya. []