October 15, 2024
Ilustrasi Rumahpemilu.org/ Haura Ihsani

Temuan Audit Sosial: Minimnya Partisipasi Publik dalam Kebijakan Perlindungan Perempuan di Sulut

Gerakan Perempuan Sulawesi Utara (GPS) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) merilis temuan hasil audit sosial melalui pemantauan perlindungan perempuan di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Pemantauan yang dilakukan sejak November 2023–Februari 2024 tersebut berupaya melihat output program Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) terhadap perlindungan perempuan, khususnya kekerasan terhadap perempuan. Menurut temuan GSP, minimnya pelibatan publik pada tahapan perencanaan kebijakan berdampak besar pada mengambangnya hasil dan dicapai.

“Sehingga kegiatan yang direncanakan tidak menghasilkan output yang dibutuhkan oleh penerima manfaat,” kata perwakilan GPS, Nurhasanah dalam “Launching Temuan Hasil Pemantauan Kebijakan Pemerintah Daerah melalui Audit Sosial” yang digelar Perludem secara online (30/3).

Menurut Nurhasanah, minimnya informasi untuk publik mengakibatkan tidak ada penyelesaian permasalahan yang dialami oleh kelompok sasaran. Ia menyebut, selain terbatasnya sumber daya, biaya visum et psikiatrikum dan rawat inap korban kekerasan masih dibebankan pada korban. Menurutnya, sejauh pemantauan yang dilakukan, belum ada rumah aman yang representatif sesuai kebutuhan korban.

Selain itu, pelibatan masyarakat hanya sampai kegiatan konsultasi publik penyusunan RKPD Provinsi, dengan waktu terbatas dan peserta yang terlampau banyak. Ia memandang hadirnya aplikasi Sistem Informasi Perencanaan Pembangunan Daerah (SIPD) terkesan masih sebatas formalitas saja. Padahal menurut UPTD PPA setidaknya terdapat empat aspek untuk mengukur kualitas layanan korban, yakni kualitas serta kuantitas sumber daya manusia, ketersediaan anggaran, sarana dan prasarana, serta aturan yang mengikat.

“Empat aspek tersebut masih rendah dengan tingginya kasus yang ditangani, sehingga berdampak pada ketidakpuasan korban,” jelasnya.

Terkait anggaran, berdasarkan temuan GSP, besaran anggaran  memang cukup besar, namun rincian pembiayaan yang dikeluarkan untuk mendukung pelayanan justru jauh lebih besar dari biaya pemenuhan layanan untuk korban. Menurut Nurhasanah banyak ditemukan biaya yang dikeluarkan yang seharusnya bukan dari anggaran yang dikhususkan untuk program perlindungan perempuan.

Lebih lanjut, GSP merekomendasikan pelibatan publik dalam tiap tahapan mulai dari perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi agar program tepat sasaran dan sesuai kebutuhan masyarakat. Selain itu GSP juga mendorong transparansi secara menyeluruh program perlindungan perempuan. Upaya-upaya itu menurut GSP penting supaya masyarakat dapat mengakses dan menyampaikan aspirasi secara langsung.

“Pelibatan media sejak tahapan penyusunan, perencanaan, pembangunan hingga pelaksanaan sangat penting sebagai bentuk keterbukaan informasi publik sekaligus untuk kontrol sosial,” tegas Nurhasanah. []