August 8, 2024
"Refleksi Hasil Pemantauan Kinerja dan Netralitas Penjabat Kepala Daerah dalam Pemilu 2024” di kawasan Cikini, Jakarta Pusat (29/4).Rumahpemilu.org/Haura Ihsani.

Hasil Audit Sosial Aspirasi: Pj Gubernur Harus Libatkan Masyarakat dalam Pembangunan

Dalam upaya menjaga transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Transparansi, Inklusi, dan Demokrasi (Aspirasi) melakukan pemantauan terhadap kinerja penjabat (pj) gubernur di 25 provinsi. Pemantauan audit sosial tersebut dilatarbelakangi penunjukkan pj gubernur yang tidak transparan dan partisipatif, sehingga memungkikan mengurangi akuntabilitas penjabat pada publik.

Aspirasi memfokuskan audit sosial pada isu kebijakan publik, infrastruktur, pelayanan publik, serta keterlibatan kelompok marginal dalam proses pembangunan daerah. Aspirasi mencatat, dalam proses perencanaan kebijakan kelompok marjinal seperti masyarakat adat, disabilitas, dan perempuan korban kekerasan, masih dianggap pemerintah daerah (pemda) sebagai objek kebijakan, bukan sebagai subjek. Selain itu, implementasi kebijakan di banyak provinsi juga masih terkendala komitmen pemda dan minimnya perspektif kelompok marjinal.

“Kelompok marjinal masih dianggap sebagai penerima manfaat, belum sepenuhnya dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan pembangunan,” ujar Peneliti Perludem, Heroik Pratama di kawasan Cikini, Jakarta Pusat (29/4).

Meski secara umum pelaksanaan kebijakan sudah sesuai dengan dokumen perencanaan dan anggaran dengan realisasi anggaran hampir mencapai 90% di banyak daerah, namun pelaksanaan kebijakan belum mampu menyelesaikan permasalahan kelompok marjinal. Catatan lainnya, alokasi anggaran untuk pembiayaan program yang berdampak langsung dinilai masih minim, karena alokasi anggaran lebih banyaknya digunakan untuk belanja kebutuhan persiapan program seperti perjalanan dinas dan belanja administrasi.

Temuan pemantauan Aspirasi, selain kurangnya anggaran, minimnya keterlibatan publik berdampak pada gagalnya pelaksanaan program dan pemenuhan kebutuhan kelompok marjinal. Hal itu terlihat dalam memanfaatkan teknologi untuk pelayanan publik, yang tidak langsung ditujukan pada pelayanan isu kelompok marjinal, melainkan hanya berkaitan dengan pelayanan publik.

“Temuan kami, di beberapa daerah teknologi yang digunakan seperti aplikasi dan situs resmi sudah memberikan kemudahan bagi penyandang disabilitas, terutama disabilitas netra,” ucap Heroik.

Sementara menurut Program Manager Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola mengatakan pemantauan pj gubernur menjadi penting karena dalam proses pengangkatannya terjadi banyak sekali konflik kepentingan. Berdasarkan penilaian melalui alat ukur Governor Performance Scorecard (GPS) untuk menggali pengalaman kelompok rentan dalam perencanaan, penyelenggaraan pelayanan publik, dan pengawasan kebijakan pemda. Menurutnya, pj gubernur memiliki kecenderungan berat sebelah, lebih mendukung agenda-agenda kebijakan pemerintah pusat dibandingkan kebutuhan masyarakat.

“Kami juga melihat dari tiga klister yang kami ukur (perencanaan dan penganggaran, pelayanan publik, dan pengawasan), hampir seluruhnya masuk kategori meresahkan,” ujar Alvin Nicola.

Alvin menilai kurangnya kinerja pj gubernur berimplikasi pada semakin sulitnya kelompok rentan mengakses hak-hak dasarnya sebagai warga negara dan berpotensi memperburuk stigmatisasi, diskriminasi dan kekerasan. Untuk itu dibutuhkan kerja pengawasan kolektif antara lembaga legislatif daerah, badan pengawasan internal dan eksternal pemerintah, bersama masyarakat sipil.

“Hal itu untuk mencegah semakin tidak tepatnya kebijakan, inefesiensi anggaran dan mendorong terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan,” imbuhnya.

Semantara itu Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menekankan perlunya meninjau ulang konsep dan batasan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) serta pelibatan semua pemangku kepentingan untuk mengawasi kinerja pj gubernur. Hal itu menjadi penting karena pj kepala daerah harus mempunyai kapasitas dan kemampuan yang mumpuni, terlebih desain birokrasi pemerintah daerah tidak cukup bagus.

“Kami melihat birokrasi pemerintahan daerah ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu,” tegas Direktur Eksekutif KPPOD, Herman N Suparman.

Herman menilai, saat ini para pj kepala daerah masih terperangkap dalam tantangan struktural pelaksanaan desantralisasi dan otonomi daerah meliputi, tata kelola fiskal, ekonomi, administrasi dan politik. Struktur yang tidak sehat tersebut menurut Herman berdampak pada netralitas pj kepala daerah dan implementasi kebijakan.

Berdasarkan temuan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada bulan Desember 2023 lalu, dari 101 pj kepala daerah, hanya 31 orang yang melaksanakan peraturan netralitas ASN, sementara 70 pj kepala daerah sisanya tidak mematuhi ketentuan netralitas ASN. Di bulan yang sama, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, 59 pj kepala daerah mendapat rapor merah dalam indikator menjaga netralitas ASN di Pemilu 2024.

“Maka perlu mendiskusikan ulang kebijakan netralitas ASN dalam kegiatan politik,” tegasnya.

Selain itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga menekankan pentingnya peran media dalam mengawasi netralitas pejabat dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) 2024 nanti, khususnya dampaknya bagi kelompok minoritas. Karena menurut AJI, kebebasan pers bergantung pada kualitas pemilu yang dilaksanakan, kedua hal tersebut juga menentukan kualitas birokrasi.

“Jurnalis harus mengawasi netralitas pejabat dalam pilkada, ini harus menjadi monitoring bersama anggaran bansos,” tegas Sekretaris Jenderal AJI Ika Ningtyas.

Berdasarkan temuannya, Aliansi Aspirasi meminta pj gubernur untuk mendorong pelibatan masyarakat secara lebih bermakna, khususnya bagi kelompok rentan dan membangun standar layanan yang mengendepankan kebutuhan kelompok rentan. Aspirasi juga meminta DPRD untuk aktif melaksanakan fungsi pengawasan, selain itu mereka juga menuntut pengusulan nama calon penjabat secara transparan, akuntabilitas, dan proses yang partisipatif sesuai amanat UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Sebagai informasi, Aliansi Aspirasi terdiri dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Transparency International Indonesia (TII), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan SETARA Institute. []