August 8, 2024

Reformasi Pemilu: Mendesaknya Perubahan Sistem Hukum dan Penyelenggaraan

Pemungutan suara Pemilu 2024 telah usai, namun penyelenggaraan Pemilu 2024 mendapatkan banyak sorotan dari berbagai pihak karena dinilai mengalami banyak kemunduran dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Regulasi dalam UU Pemilu dianggap mengalami stagnasi sehingga tidak terdapat pembaharuan yang signifikan, padahal masalah-masalah baru kerap kali muncul dalam penyelenggaraan pemilu.

“Dampaknya, regulasi yang tidak berkembang dapat menyebabkan ketidakmampuan sistem hukum untuk mengakomodasi perubahan-perubahan dalam dinamika pemilu dan demokrasi,” ujar Pengajar bidang studi Hukum Tata Negara UI, Titi Anggraini dalam diskusi “Pemilu 2024, masalah penyelesaian serta solusi di masa depan” di Universitas Indonesia, Depok (8/3).

Titi menerangkan, dengan tidak diubahnya regulasi pemilu akhirnya terjadi ketidakpastian dalam sistem hukum yang berdampak pada transparansi, akuntabilitas, dan integrasi dalam penyelenggaraan pemilu. Jika hal itu terjadi proses advokasi berpindah dari DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia memandang perlunya upaya serius untuk mereformasi regulasi pemilu dan meningkatkan proses regulasi yang memadai.

Selain itu penyelenggara pemilu juga dianggap problematik karena dalam pelaksanaan tahapan pemilu kurang profesional dan kurang berkomitmen melaksanakan aturan secara konsisten. Seharusnya permasalahan dalam tahapan-tahapan pemilu tak perlu berulang pada setiap penyelenggaraan pemilu karena ada mitigasi dan aturan jelas yang mengikat. Titi memandang ketidakmampuan menjaga konsistensi dalam penerapan aturan atau prosedur juga dapat mengganggu integritas pemilu.

“Misalnya permasalahan pada tahapan distribusi logistik, yang disebabkan oleh kurangnya perencanaan yang matang, koordinasi yang buruk antara pihak-pihak terkait atau kendala teknis dalam proses distribusi,” terangnya.

Pemilu 2024 merupakan pemilu serentak dalam satu hari yang dianggap sebagai yang terbesar di dunia. Kombinasi antara jumlah pemilih yang besar dan sistem pemilu serentak dapat menciptakan kompleksitas dan kerumitan tersendiri dalam proses penyelenggaraan. Penyelenggara pemilu perlu mengatasi tantangan-tantangan unik ini dengan menjaga kualitas dan integritas seluruh tahapan pemilu.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut Titi mengatakan, diperlukan manajemen yang efektif dan konsisten dari seluruh proses penyelenggaraan pemilu. Hal itu mencakup perencanaan yang matang, koordinasi yang baik antara berbagai pihak terkait, pelatihan yang memadai bagi para petugas pemilu, serta pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu.

“Dengan kombinasi keserentakan dan sistem pemilu yang melahirkan kompleksitas dan kerumitan yang juga dianggap paling menantang di dunia,” ujar Titi.

Pada masalah pengawasan Titi menilai, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengalami beban kerja yang berat, di mana fungsi pekerjaannya terlalu banyak. Hal ini menunjukkan bahwa Bawaslu harus menangani sejumlah tugas yang kompleks dan beragam, yang mungkin melebihi kapasitas dan sumber daya yang tersedia. Padahal kurangnya fokus pengawasan menghambat kemampuan Bawaslu untuk secara efektif memantau dan menindak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama proses pemilu.

“Karena Bawaslu fungsi pekerjaan terlalu banyak, Itu juga menjadi salah satu problem. Tahapan pemilunya banyak masalahnya, kompetisi yang sangat kompetitif. Akhirnya seperti tidak fokus kerja-kerja pengawasan dan penegakan hukum,” tegasnya.

Sementara itu pakar hukum sekaligus Guru Besar fakultas hukum UI, Fitra Arsil mengingatkan, transaksi politik di tengah rendahnya legitimasi presiden dan DPR semasa Bebek Lumpuh atau Lame Duck Session. Arsil menjelaskan Lame Duck Session atau periode transisi pemerintahan atau lembaga legislatif yang akan lengser, tahun 2024 ini berlangsung setelah hasil pemilu hingga 20 Oktober pelantikan presiden baru.

Dia mencatat meskipun secara legal yang kalah dalam pemilu masih memegang kekuasaan yang sama sebelum pemilu, namun legitimasinya menjadi rendah karena hasil pemilu menunjukkan dukungan publik yang berbeda. Bahwa kendati secara formal masih memiliki kekuasaan, legitimasi pemerintahan namun cenderung dipertanyakan, mengingat hasil pemilu menunjukkan dukungan mayoritas publik untuk pihak yang akan menggantikan posisi.

“Kenapa (Dibuat aturan) karena Lame Duck Session itu semakin lama makin buruk, isinya hari-hari negosiasi, hari-hari tawar-menawar,” jelasnya.

Fitra Arsil menjelaskan pengalaman Bebek Lumpuh di Amerika sebelum adanya aturan yang mengatur fenomena tersebut menyatakan bahwa selama periode Bebek Lumpuh, terjadi negosiasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam politik. Pihak yang kalah dalam pemilu cenderung menjual fungsi kekuasaannya untuk proposal rancangan legislasi. Dalam proses ini, mereka berharap dapat memperoleh posisi atau keuntungan yang lebih baik di masa depan.

Pengalaman Amerika dapat menjadi contoh menarik karena menunjukkan bagaimana politik praktis berlangsung di negara dengan sistem demokrasi yang mapan. Dalam suasana politik yang kompetitif, negosiasi dan tawar-menawar antara pihak politik menjadi hal yang lumrah, bahkan di masa transisi kekuasaan seperti Bebek Lumpuh. Namun demikian, adanya regulasi yang mengatur masa ini di Amerika menunjukkan upaya untuk mengarahkan dinamika politik tersebut agar sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang lebih luas. []