October 28, 2024

Calon Tunggal Sah, Tapi Tidak Sehat untuk Demokrasi

The Constitutional Democracy Initiative (Consid) menyebut, calon tunggal dalam Pilkada 2024 tidak bisa dianggap wajar. Meski calon tunggal sah dan konstitusional namun bukan cara terbaik menghargai kedaulatan rakyat dalam memilih dan membangun demokrasi yang sehat.

“Undang-Undang Pilkada harus memuat aturan ambang batas maksimal persentase jumlah suara partai atau gabungan partai,” kata Ketua Consid Kholil Pasaribu melalui keterangan tertulis (1/9).

Menurut Kholil, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 hanya mengubah ambang batas pilkada dengan mengatur ambang batas minimal persentase perolehan suara partai atau gabungan partai. Ia menuturkan, dengan adanya pengaturan ambang batas maksimal, harapanya dapat membatasi menumpuknya banyak partai dalam satu koalisi.

Ia juga mengatakan perlunya diatur sanksi bagi partai atau gabungan partai yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon, tetapi memilih tidak mengajukan. Dengan ketentuan yang sama seperti pengajuan pasangan calon dalam pilpres. Selain itu, hal penting lainnya adalah penataan ulang keuangan politik agar biaya politik yang harus ditanggung peserta pemilu lebih rasional dan bisa dipertanggungjawabkan.

Hingga berakhirnya masa pendaftaran pasangan calon Pilkada 2024 pada 29 Agustus lalu, terdapat 43 daerah yang bercalon tunggal dari 545 daerah atau setara 7,89 persen. Kholil menilai Putusan MK memang berpengaruh terhadap peta pencalonan kepala daerah, namun pengaruh tersebut belum meluas terjadi di banyak daerah. Padahal semakin sedikit daerah yang bercalon tunggal, maka semakin baik bagi masyarakat dan sehat bagi demokrasi.

“Karena hak konstitusional warga untuk mendapatkan banyak alternatif calon pemimpin mereka terpenuhi. Sebab bagaimanapun, masyarakat daerah itulah yang akan merasakan dampak dari hasil pemilihan setidaknya untuk masa lima tahun,” tuturnya. []