March 1, 2025

Hadapi Anomali Politik, APHTN-HAN Tolak Pencalonan Anggota DPD oleh DPRD

Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Jakarta menilai bahwa saat ini Indonesia tengah menghadapi gerakan anomali politik. Panitia khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu mengeluarkan gagasan-gagasan yang tak sesuai dengan prinsip dan hukum tata negara. Salah satu gagasan anomali, yakni menyeleksi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) melalui Panitia seleksi (Pansel) dan fit and proper test oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

“Kita tidak ingin negara ini menjadi tempat eksperimen bagi para petualang politik. Kita, para akademisi di perguruan tinggi tidak ingin isu ini menguap begitu saja. Harus ada tindak lanjut yang serius,” kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Wasis Susetio, di Kebon Jeruk, Jakarta Barat (9/5).

Ketua APHTN-HAN Jakarta, Bivitri Susanti, mengatakan bahwa perubahan konsep pemilihan calon anggota DPD melalui Timsel dan DPRD merupakan masalah tata negara yang akan menimbulkan konsekuensi besar. Tak hanya bermasalah dalam konsep bikameral yang dianut Indonesia, melainkan bertentangan dengan pasal-pasal di konstitusi dan teknis kepemiluan.

“DPRD itu kan partai politik. Kalau mereka yang menyeleksi lebih dulu baru dilempar ke masyarakat, jadi bermasalah. Calon anggota DPD itu karakternya independen. Kalau lewat DPRD, justru banyak kepentingan politiknya. Pintu masuk baru bagi terjadinya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme),” tegas Bivitri.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan bahwa gagasan  bermasalah tersebut diusulkan oleh Pemerintah pada rapat Panitia kerja (Panja) RUU Pemilu, yang tak dapat diakses publik. Di Pasal 153 RUU Pemilu draft Pemerintah, konsep pencalonan anggota DPD tak ada perubahan.

“Usulan ini baru muncul di rapat Panja. Pansus bilang Pemerintah yang usul, tapi di statement terkahir Pansus mengatakan semua fraksi sepakat dengan gagasan ini,” jelas Titi.

Titi menjelaskan bahwa gagasan Pemerintah mengenai pencalonan DPD oleh Pansel dan DPRD bermasalah dalam banyak hal. Satu, keluar dari amanat konstitusi. Pasal 22 e UU Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa anggota DPD dipilih melalui pemilu, dan pemilu diselenggarakan oleh sebuah komisi penyelenggaraan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Gagasan tersebut akan mendistorsi legitimasi KPU sebagai satu-satunya institusi yang diakui konstitusi untuk menyelenggarakan pemilu.

“Pencalonan DPD kok jadi oleh Pansel dan DPRD? Tidak ada lembaga legislatif di negara lain yang diproses oleh gubernur, Pansel, dan DPRD,” ujar Titi.

Dua, mendelegitimasi DPD sebagai kamar kedua di parlemen. Menempatkan DPD di dalam proses pencalonan yang melibatkan gubernur dan DPRD, sama dengan menempatkan posisi DPD di bawah gubernur dan DPRD. Padahal, DPD adalah lembaga legislatif tingkat nasional.

Tiga, bermasalah secara teknis. Pemilu 2019 merupakan pemilu yang diselenggarakan dalam konsep serentak. Bukan hanya keserentakan hari, tetapi juga keserentakan tahapan. Apabila verifikasi calon anggota DPD ditiadakan karena skema berubah menjadi seleksi oleh Pansel dan fit and proper test di DPRD, tahapan pemilu DPD menjadi tak jelas. Kriteria calon anggota DPD yang diajukan oleh gubernur pun mesti dipertanyakan.

“Terus, kalau ada sengketa. Misalnya, dari empat puluh itu ada yang tidak lolos, kemana mereka menyelesaikan sengketanya? Kalau ke Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), pansel dan DPRD kan bukan bagian dari penyelenggara pemilu. Yang bisa dibawa ke Bawaslu hanyalah KPU,” tegas Titi.

DPD harus dapat mempertahankan karakter lembaga sebagai kamar kedua di parlemen. Anggota DPD mesti bersuara menolak delegitimasi dan pengerdilan posisi DPD dalam pemerintahan, yang tengah digalakkan oleh DPR melalui RUU Pemilu. APHTN-HAN menyetujui penguatan DPD sebagai kamar kedua dan menolak segala bentuk kooptasi partai politik terhadap DPD.