December 25, 2024

Lena Maryana Mukti: Kebijakan Afirmasi Perempuan di Pilkada 2018 Tidak Laku

Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI), Lena Maryana Mukti, menceritakan pengalamannya sebagai penasehat pencalonan kepala daerah di Pilkada 2018. Ada pernyataan yang cukup tajam yang dilontarkan Lena, yakni “Jualan afirmasi perempuan di Pilkada 2018 tidak laku lagi”. Simak penjelasan Lena dalam bentuk wawancara.

 

Bagaimana perkembangan afirmasi perempuan yang diperjuangkan MPI bersama Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) dan Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) pada masa pencalonan kepala daerah di Pilkada 2018?

Perjuangan afirmasi untuk mengikut-sertakan perempuan di Pilkada makin berat. Boleh dikatakan, jualan afirmasi perempuan gak laku lagi. Sekarang kecenderungannya adalah elektabilitas dan juga isi tas. Di 2015 dan 2017 masih terasa keinginan partai untuk mengedepankan afirmasi, tapi sekarang tidak ada lagi. Sekarang yang berperan itu survey dan elektabilitas.

Perempuan-perempuan yang kompeten untuk maju bukan soal kemampuan dan kapasitas dia, tapi diperhadapkan pada ketersediaan kapital. Berapa anggaran yang mereka mampu sediakan untuk bisa ikut kontestasi? Partai-partai yang mengusung calon itu mengedepankan kemenangan, jadi bukan soal mengikut sertakan kelompok-kelompok marjinal seperti perempuan.

Bagi kami, kalau tidak mengikut sertakan perempuan, demokrasi kita defisit.

Apakah tidak ada perempuan yang memiliki potensi untuk menang sehingga dapat diusung oleh partai di Pilkada 2018?

Persoalannya ini memang tidak  hanya modal politik berbentuk isi dompet dan elektabilitas, tapi juga ketersediaan perempuan yang memiliki kemampuan, pengalaman, kapasitas, dan basis dukungan. Di daerah itu sedikit sekali jumlahnya.

Waktu saya jadi juru bicara PPP (Partai Persatuan Pembangunan) saat Pilkada DKI kemarin, Bu Silvi memang tidak menyediakan anggaran seperti yang diminta untuk maju kontestasi, tapi dia punya pengalaman birokrasi yang matang,  punya pengalaman organisasi, dan punya basis sosial yang cukup kuat. Nah, perempuan-perempuan seperti Silvi ini yang sangat memungkinkan untuk dicalonkan oleh partai.

Untuk Pilkada 2018, ada beberapa teman perempuan yang menyatakan berani maju sebagai calon independen. Ada juga yang meski tidak sanggup menyediakan anggaran untuk kontestasi, dia tetap maju sebagai bakal calon untuk modal sosial di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019.

Artinya, kalaupun mereka kalah, itu sudah jadi modal untuk nanti maju di 2019.

Jadi trend untuk Pilkada 2018 ini, jumlah perempuan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah berkurang dari jumlahnya di Pilkada 2018?

Untuk jumlah pasti berapa teman-teman perempuan yang maju di Pilkada 2018, kami belum punya. Menurun atau meningkat juga belum bisa dipastikan. Tapi, ketua Badan Pemberdayaan Perempuan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional (PAN), Euis Fatayaty, diminta maju sebagai wakil wali kota Cirebon, dan Bupati Lampung Timur, Chusnunia Chalim, juga akan maju.

Memang ada hal-hal yang memengaruhi peningkatan atau penurunan jumlah perempuan yang mencalonkan di pilkada, salah satunya adalah persyaratan mengundurkan diri bagi anggota legislatif yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Jadi, ketika UU Pilkada tidak menyaratkan pengunduran diri, angkanya cukup tinggi. Karena, ketika mereka kalah, mereka bisa balik lagi ke legislatif. Tidak terlalu besar resikonya.

Di Pilkada 2017, ada 57 perempuan calon kepala daerah dan 66 perempuan calon wakil kepala daerah. Di 2018, tentu kami berharap meningkat, tapi yang jelas partai politik tidak mengutamakan afirmasi perempuan.

Terkait Pilkada 2017, perempuan yang maju sebagai kepala dan wakil kepala daerah biasanya berlatar belakang sebagai apa?

Ya, saya punya datanya. Dari 57 perempuan calon kepala daerah, 38,06 persen memakai jaringan kekerabatan 38,33 persen adalah kader partai, 17,54 persen dari kalangan pengusaha, 14,04 persen adalah aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), 12,28 persen merupakan purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI)/ Polisi RI (Polri) dan mantan Pegawai Negeri Sipil (PNS), 3,51 persen public figure atau selebriti, 3,51  petahana, dan sisanya mantan anggota legislatif.

Lalu, apa strategi MPI dan teman-teman perempuan politik untuk meningkatkan kepemimpinan perempuan di tahun politik?

Kami melakukan roadshow seperti yang pernah kami lakukan di 2013 menjelang Pemilu 2014. November 2017 lalu, kami bertemu dengan Pak Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI dua periode. Lalu November. Masih ada sisa delapan tokoh lagi, yaitu ketua umum-ketua umum partai yang akan kami temui dari bulan Januari sampai Februari. Kami meminta mereka agar mengadopsi kebijakan afirmasi gender quota di Undang-Undang (UU) Partai Politik dan gender electoral quota di UU Pemilu.

Kami juga akan berkunjung ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk meminta agar mempertahankan ketentuan di Peraturan KPU (PKPU) No.7/2013 yang mewajibkan keterwakilan 30 persen perempuan di daftar calon dari pusat hingga kabupaten/kota. Kalau bisa juga berikan sanksi. Ini akan mendorong banyak perempuan di parlemen dan akan berlanjut di Pilkada.