August 8, 2024

Praktek Pencalonan Kepala Daerah Menodai Tujuan Demokratis Pasal 29 UU No.2/2008

Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang (UU) No.2/2008 tentang Partai Politik menegaskan bahwa rekrutmen bakal calon kepala daerah dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terbuka, dalam maknanya, yakni membuka ruang bagi hadirnya warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki kapasitas, kompetensi, dan profesionalisme dalam tata kelola pemerintahan daerah di dalam pencalonan kepala daerah. Demokratis, yaitu mewadahi WNI yang potensial secara demokratis dan tidak meninggalkan hak anggota dalam penentuan pemilihan calon.

Aturan ini semestinya menjamin praktek pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan dengan terbuka dan demokratis. Namun, aturan baru di UU No.8/2015 dan di UU No.10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menciderai prinsip terbuka dan demokratis tersebut.

Pasal 42 UU No.8/2015 menyatakan bahwa pendaftaran calon gubernur, bupati, dan wali kota harus menyertakan persetujuan dari pimpinan partai politik tingkat pusat. Kemudian, Pasal 42 ayat (5a) UU No.10/2016 menyebutkan, apabila pendaftaran pasangan calon (paslon) tidak dilaksanakan oleh pimpinan partai tingkat kabupaten/kota, pendaftaran paslon yang telah disetujui pimpinan partai tingkat pusat dapat dilaksanakan oleh pimpinan partai tingkat pusat.

Sebagai hasil, pemilihan kepala daerah yang berada di tingkat lokal, dan pemilihan paslon yang semestinya ditentukan oleh pimpinan partai tingkat daerah, digantikan dengan kuasa pimpinan partai di tingkat pusat. Pimpinan partai tingkat daerah hanya berperan sebagai aktor yang melakukan pendaftaran.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, berpendapat bahwa mekanisme pencalonan kepala daerah demikian telah melukai hak kedaulatan anggota partai, mengerdilkan peran pengurus partai di tingkat daerah, dan mempertajam politik elit di tingkat pusat.

“Posisi pengurus daerah menjadi rendah dalam hal ini. Karena, kalau mereka tidak setuju dengan rekomendasi tingkat pusat, pengurus pusat bisa mengambil alih pendaftaran,” tandas Titi pada diskusi “Menyongsong Pendaftaran Bakal Calon: Pastikan Integritas Pilkada 2018” di Guntur, Jakarta Selatan (7/1).

Parahnya lagi, kata Titi, pembuat UU mengancam anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menerima pendaftaran paslon yang tak mengantongi restu dari pimpinan pusat. Hukumannya, penjara dan denda.