August 8, 2024

Beda Pendapat Bawaslu-KPU Soal Sanksi Diskualifikasi bagi Petahana yang Melakukan Mutasi Pejabat

Kasus Pemilihan Bupati (Pilbup) Papua memantik diskursus kepemiluan. Tak hanya mengungkapkan perbedaan tafsir di antara penyelenggara pemilu mengenai tindak lanjut rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kasus ini juga menunjukkan perbedaan tafsir mengenai sanksi diskualifikasi kepada petahana kepala daerah yang terbukti melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan.

Mengenai sanksi diskualifikasi atas pelanggaran yang termuat di Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang (UU) No.10/2016, Bawaslu memaknainya sebagai ketentuan yang berdiri sendiri, sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) memahami sebagai kesatuan utuh yang terikat oleh ayat lainnya di Pasal 71. Perbedaan tafsir ini menyebabkan rekomendasi Bawaslu RI tak dapat dilaksanakan oleh KPU Papua.

Hasil kajian dan pandangan Bawaslu RI

Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo, menjelaskan bahwa berdasarkan penanganan pelanggaran yang telah dilakukan, petahana Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, terbukti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2). Bawaslu telah memeriksa dokumen-dokumen terkait dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), termasuk Surat Keputusan (SK) Bupati.

Bawaslu mempertanyakan data dan dokumen yang digunakan oleh KPU Papua dalam kegiatan pencermatan rekomendasi Bawaslu.

“Data yang kami gunakan untuk penindakan pelanggaran adalah data yang dikeluarkan institusi lain, yaitu SK Bupati. Data itu ada di Bawaslu. Jadi, data dan dokumen apa yang dicermati KPU Papua?” tukas Ratna.

Secara hukum, menurut Bawaslu RI, sanksi diskualifikasi sudah tepat. Sekalipun pemberhentian pejabat yang dilakukan Mathius tak merugikan atau menguntungkan salah satu pasangan calon (paslon), Mathius tetap melanggar Pasal 71 ayat (2).

Ketentuan yang termuat di Pasal 71 ayat (2) merupakan norma yang berdiri sendiri dan tak terikat oleh norma di ayat (3) di pasal yang sama.

“Ini adalah pasal yang berdiri sendiri-sendiri. Tidak bergantung pada yang lainnya. Ayat (3) itu hanya menegaskan bahwa norma yang diatur di dalamnya akan diberikan sanksi yang sama, yaitu diskualifikasi. Tapi, keduanya tidak kumulatif,” tegas Ratna.

Hasil kajian dan tafsir diskualifikasi KPU

Bersebrangan dengan Bawaslu RI, KPU Papua memandang bahwa norma-norma yang ada di Pasal 71 bersifat kumulatif. Artinya, sanksi diskualifikasi di Pasal 71 ayat (5) baru dapat diberikan apabila petahana kepala daerah melakukan penggantian pejabat yang berdampak pada penguntungan atau perugian salah satu paslon. Jika penggantian pejabat tak menguntungkan atau merugikan paslon mana pun, maka sanksi diskualifikasi tak dapat dijatuhkan.

“Kesimpulan utama kami, Pasal 71 itu tidak berdiri sendiri. Dia berkaitan dengan apakah kebijakan bupati petahana itu merugikan atau menguntungkan calon tertentu. Nah, yang kami perhatikan, tidak ada yang dirugikan dan diuntungkan dari tindakan si petahana waktu itu,” kata Anggota KPU Papua, Tarwinto.

Tidak menguntungkan atau merugikan paslon mana pun, kata Tarwinto, karena petahana melakukan pemberhentian tiga pejabat di lingkungannya setelah proses pungut hitung Pilbup Jayapura selesai. Jabatan yang ditinggalkan oleh ketiga pejabat yang diberhentikan tidak digantikan oleh orang lain.

“Tindakan petahana ini adalah pemberhentian, bukan penggantian. Dan itu dilakukan pada 29 Agustus 2017, setelah kami melakukan pungut hitung tanggal 23 Agustus. Kami klarifikasi ke Pemerintah Daerah, mereka bilang memang terjadi proses penggantian dan ketiganya diangkat kembali (oleh Pemda),” terang Tarwinto.

Adam kemudian mengungkapkan, berdasarkan penjelasan Pemda, tiga pejabat diberhentikan akibat sanksi dari inspektorat. Kinerja ketiga pejabat dinilai buruk.

Anggota KPU RI, Pramono Ubaid, membela anggota KPU Papua. Ia meminta agar para anggota DKPP memperhatikan frase “menguntungkan atau merugikan salah satu paslon” di Pasal 71 ayat (3). Pemberhentian pejabat oleh petahana bupati disebabkan oleh faktor-faktor mendesak, dan tidak mempengaruhi hasil pemungutan dan penghitungan suara.

“Pemberhentian itu setelah pemungutan hasil suara, sekalipun belum ada penetapan hasil. Tapi, pejabat yang diberhentikan itu dia tidak dipindah kemana-mana dan posisi itu tidak diberikan ke siapa-siapa. Saya mohon fakta-fakta ini diperhatikan oleh para hakim,” ujar Pramono.