August 8, 2024

Peserta Seleksi Anggota KPUD Minta “Dibantu”, Tiga Pakar Pemilu: Berbahaya

Kasus peserta seleksi penyelenggara pemilu minta “bantuan” bukanlah kasus anomali atau jarang ditemui. Kasus ini pernah terungkap di dalam persidangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk Perkara No.114 dengan Pengadu Pangulu Siregar, mantan calon anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumatera Utara (Sumut) periode 2017-2022.

Pangulu terungkap menghubungi anggota Bawaslu Sumut, Hardi Munthe, untuk meminta bantuan kemudahan dalam seleksi, namun Hardhi tak menggubris permintaan Pangulu. Kasus ini akhirnya dimanfaatkan oleh salah seorang anggota Tim Asistensi Divisi Penindakan Pelanggaran Sekretariat Bawaslu Sumut, Julius A. Lamhot Turnip, yang memberikan bank soal kepada Pangulu dengan imbalan 30 juta rupiah.

Pangulu tak lolos seleksi dan melaporkan kepada DKPP. DKPP menjatuhkan sanksi kepada Julius berupa peringatan keras.

Menyikapi adanya kasus peserta minta “bantuan”, baik kepada Tim seleksi (Timsel), anggota penyelenggara pemilu, maupun sekretariat penyelenggara pemilu, rumahpemilu.org mewawancarai tiga pakar pemilu, yakni Anggota KPU RI, Pramono Ubaid, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, dan Akademisi Universitas Sam Ratulangi, Daud Ferry Liando. Ketiganya mencela perbuatan tersebut dan menyebutnya sebagai perbuatan tidak etis.

Titi menilai perilaku minta “bantuan” peserta seleksi sebagai perilaku kolutif yang mencerminkan ketidakpercayaan diri peserta. Perilaku ini berbahaya dan dapat dikatakan sebagai indikasi awal perilaku permisif terhadap kecurangan dengan dalih balas budi.

“Ini mencerminkan lemahnya mentalitas untuk siap berkompetisi secara free and fair. Penyelenggara macam ini sangat berbahaya karena saat dia terpilih, maka pola perilaku itu akan terbawa,” tegas Titi kepada rumahpemilu.org (14/2).

Senada dengan Titi, Ferry mengatakan bahwa perilaku menghubungi Timsel atau penyelenggara secara privat pada tahap seleksi merupakan itikad yang tidak wajar. Timsel harus bersikap tegas. Untuk itu, menurutnya, DKPP perlu mengawasi keseluruhan tahap seleksi agar tak ada pelanggaran etik sejak tahap penjaringan penyelenggara pemilu.

“Pengalaman saya, setelah dilantik sebagai Timsel, banyak yang menghubungi. Tapi saya langsung melakukan tindakan antisipasi dengan memblokir nomor tersebut dari daftar nomor handphone. Ke depan akan banyak cara yang dilakukan calon untuk membangun hubungan dengan Timsel. Penting agar DKPP masuk dalam ranah ini,” jelas Ferry (15/2).

Warning bagi peserta seleksi dan Timsel

Pramono menekankan agar kedua pihak, yakni Timsel dan peserta seleksi sama-sama menjaga kode etik. Timsel dilarang berkomunikasi langsung dengan peserta seleksi. Adapun komunikasi dapat dibangun melalui makalah personal peserta yang memperkenalkan diri, kapasitas dan kualitas, aktivitas, serta integritasnya.

“Mereka dilarang berkomunikasi dengan peserta. Bahkan, mereka juga dihimbau untuk non aktif dari grup percakapan online yang berpotensi membicarakan proses seleksi. Bnagunlah komunikasi melalui makalah personal yang bagus. Dengan begitu, Timsel dapat mengenal calon dengan lebih mendalam,” tandas Pramono (15/2).

Timsel diharap tegas menyikapi peserta yang meminta “bantuan”. Penilaian atas independensi, integritas, dan etika sebagai penyelenggara pemilu dimulai dari masa seleksi calon penyelenggara.