Pemilihan pendahuluan kembali diusulkan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi persoalan penggantian anggota legislatif yang tak sesuai dengan semangat perundang-undangan. Upaya pengaturan pemilihan pendahuluan dalam regulasi pemilu dinilai lebih memberi solusi daripada terus-terusan berkutat pada perdebatan untuk mengubah sistem pemilu.
Pemilihan pendahuluan (primary election) ini memungkinkan terjadinya proses nominasi kandidat anggota legislatif yang lebih transparan dan terbuka karena melibatkan publik, serta mungkin juga melibatkan penyelenggara pemilu.
“Tahapan ini memberi dampak positif bagi munculnya transparansi dan demokratisasi internal partai dalam nominasi pencalonan,” kata August Mellaz, Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, di Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Namun, agar dapat diimplementasikan, mekanisme ini harus diatur dalam UU Pemilu.
Menurut dia, upaya membangun demokratisasi di internal parpol melalui tahapan pencalonan tak tergantung sistem pemilu. Perdebatan di antara partai politik soal apakah sistem pemilu legislatif proporsional terbuka yang saat ini diterapkan tetap dipertahankan atau diubah menjadi proporsional tertutup hanyalah soal pilihan. Celah penggantian calon anggota legislatif (caleg) terpilih, sebagaimana terjadi di Pemilu 2019, tetap bisa muncul kendati sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup.
Sebagaimana diberitakan, bekas anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dugaan suap pergantian antarwaktu anggota DPR RI, daerah pemilihan Sumatera Selatan I dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sebelum itu, dalam konteks berbeda, juga sudah terjadi penggantian caleg terpilih oleh sejumlah partai di tingkat pusat dan daerah.
Pernah diusulkan
Pengajar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, mengatakan, pemilihan pendahuluan pernah diusulkan masyarakat sipil di naskah akademik dan draf RUU Kitab Hukum Pemilu yang dibuat bersama Kemitraan pada 2015, menjelang pembahasan UU No 7/2017.
Mekanisme pemilihan pendahuluan ini macam-macam. Salah satunya ialah menggelar konvensi dari tingkat kepengurusan di desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi. Tahapan itu dilakukan tiap parpol secara terbuka, dan hasilnya menjadi dasar bagi parpol untuk menentukan siapa saja yang akan didaftarkan kepada KPU sebagai caleg.
”Dalam tahapan ini akan terjadi proses deliberasi, yakni publik dan anggota partai bisa memperdebatkan kenapa seorang calon lolos dan dinilai layak dalam kandidasi, sedangkan calon lainnya tidak,” kata Mada.
Tidak sempurna
Anggota Badan Pengawas Pemilu, M Afifuddin, mengingatkan, sesungguhnya tidak ada sistem pemilu yang sempurna. Catatan pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional tertutup yang pernah diterapkan di masa lalu mesti jadi pertimbangan sebelum gagasan menggunakannya lagi kembali dimunculkan.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, secara teknis pemilu, kerja KPU kemungkinan akan lebih mudah bila sistem tertutup yang digunakan.
”Namun, KPU tidak pada posisi menilai itu. Sebab, sistem proporsional terbuka selama ini memungkinkan terciptanya kedekatan dan pertanggungjawaban antara caleg dan konstituen. Jika hal ini ingin diubah, harus pula dipertimbangkan apakah tujuan pemilu kita sebenarnya, dan apakah perubahan itu secara signifikan akan memperbaiki kualitas pemilu dan keterwakilan rakyat ataukah tidak,” tuturnya. (RINI KUSTIASIH DAN INGKI RINALDI)
Dikliping dari artikel yang terbit di Harian Kompas https://kompas.id/baca/polhuk/2020/01/29/adopsi-pemilihan-pendahuluan/