Maret 29, 2024
iden

Banyak Pelanggaran Pidana Pemilu Tak Dapat Dijerat Hukum

Masih banyak masalah dalam penegakan hukum pemilu (electoral justice) yang membuat tindak pidana pemilu di Indonesia sulit dituntaskan. Revisi Undang-Undang Pemilu dinilai menjadi momentum tepat untuk membenahi aturan tersebut baik dari sisi perumusan maupun penerapan aturan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso, Minggu (5/7/2020), mengatakan, kerangka hukum dalam penegakan hukum perkara pidana pemilu sudah salah sejak awal. Dalam pengalamannya menjadi saksi ahli dalam perkara pidana pemilu, Topo menemukan ada rasa frustrasi yang dialami oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sebab, ada sejumlah kasus pidana yang tidak bisa diselesaikan. Padahal, pelanggaran itu ada di depan mata, subyek atau tindak pidananya diatur di UU.

Ketika dibawa ke persidangan, perkara tersebut kerap dimentahkan. Entah karena unsur perkara tidak terpenuhi, hingga syarat waktu penyelesaian perkara yang tidak bisa dipenuhi.

Namun, ketika dibawa ke persidangan, perkara tersebut kerap dimentahkan. Entah karena unsur perkara tidak terpenuhi, hingga syarat waktu penyelesaian perkara yang tidak bisa dipenuhi.

”Saya sering menjadi saksi ahli dalam perkara pidana pemilu. Saya menemui banyak kasus yang berlarut-larut atau masalahnya sudah konkret, tetapi tidak bisa diselesaikan,” ujar Topo dalam acara ”50 Tahun Prof Topo Santoso: Desain Penegakan Hukum untuk Pemilu Demokratis dan Berkeadilan”.

Topo mencontohkan bahwa ada kasus politik uang yang dilakukan oleh salah satu politikus. Uang tersebut jelas berasal dari mana, inisiatif siapa, dan diberikan dalam acara apa. Namun, kasus itu mentah di pengadilan hanya karena politikus berasal dari daerah pemilihan (dapil) lain. Saat itu, dia memang sedang berkunjung ke dapil lain yang mengusung bendera parpol sama. Walaupun Bawaslu menemukan bukti dan saksi yang valid, perkara tersebut kandas di pengadilan. Politikus tersebut tak dapat disentuh hukum hanya karena alasan berasal dari dapil lain.

”Ini, kan, aneh. Uangnya nyata. Jelas perkaranya di mana. Banyak saksi yang melihat, tetapi tidak bisa dipidana karena masalah dapil,” kata Topo.

Topo berpendapat, sebagian orang melihat masalah penegakan hukum ini adalah masalah tafsir UU Pemilu. Namun, ternyata ada banyak hal lain yang menjadi persoalan dalam penegakan hukum pemilu, yaitu terkait perumusan aturan, penerapan aturan, hingga koordinasi di antara masing-masing anggota penegakan hukum terpadu (gakkumdu).

Sengketa proses, pelanggaran administrasi, dan sengketa hasil itu bisa diselesaikan dalam jalur cepat karena ada batasan waktu yang harus ditaati agar tidak ada kekosongan kekuasaan. Ini memang harus diselesaikan dalam waktu cepat. Namun, pidana pemilu itu batasan waktunya terlalu singkat. (Topo Santoso)

Selain itu, sistem penyelesaian perkara pemilu semuanya berada di jalur cepat. Ada batas waktu penanganan dan penyelesaian perkara pidana pemilu, yaitu tak sampai tiga bulan. Bawaslu memiliki waktu tujuh hari untuk memproses dugaan pelanggaran pidana. Perkara tersebut kemudian dilimpahkan ke penyidik yang memiliki waktu kerja 14 hari. Perkara tersebut kemudian dibawa ke pengadilan, tujuh hari untuk pengadilan tingkat pertama dan tujuh hari untuk tingkat banding.  Hal ini belum mencakup proses penuntutan di kejaksaan.

”Sengketa proses, pelanggaran administrasi, dan sengketa hasil itu bisa diselesaikan dalam jalur cepat karena ada batasan waktu yang harus ditaati agar tidak ada kekosongan kekuasaan. Ini memang harus diselesaikan dalam waktu cepat. Namun, pidana pemilu itu batasan waktunya terlalu singkat,” kata Topo.

Menurut Topo, aturan batas waktu untuk penyelesaian perkara pidana ini terlalu singkat. Bawaslu kesulitan untuk mengungkap kasus, mencari bukti-bukti dan saksi jika waktunya terlalu singkat. Ke depannya, rentang kedaluwarsa perkara pidana tidak boleh terlalu singkat. Pelaporan, penyidikan, penuntutan, dan proses sidang tidak bisa dibatasi dalam waktu singkat karena menghambat pencarian  kebenaran materiil.

Pembatasan penyelesaian perkara yang terlalu singkat, lanjut Topo, justru hanya akan memberikan insentif bagi peserta pemilu yang melanggar hukum. Banyak perkara pidana pemilu yang tidak terjamah oleh hukum karena aturan ini.

Menurut Topo, hal-hal seperti itu akan terus muncul selama teknis perundang-undangan pemilu tidak dibenahi. Dia mengajak kepada aktivis, pemerhati, dan ahli pemilu mengamati dan kritis terhadap penegakan hukum pemilu sejak proses legislasi. Selama ini, dia menilai, perhatian dari DPR soal penegakan hukum pemilu juga masih minim. Jumlah peserta dalam rapat dengar pendapat umum di DPR saat pembahasan hukum pemilu, misalnya, lebih rendah dibandingkan dengan saat membahas mengenai pembagian kursi, daerah pemilihan, model pemilu sistem terbuka atau tertutup, aturan peserta pemilu, hingga persyaratan kandidat.

”Perhatian anggota DPR mengenai aturan tentang pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilu ini masih kurang. Wajar jika implementasinya masih banyak bolong masalah keadilan pemilu ini,” ujar Topo.

RUU Pemilu

Topo menilai bahwa revisi UU Pemilu dapat menjadi momentum untuk perbaikan aturan mengenai penegakan hukum pemilu ini. Setiap pihak diminta lebih jeli dalam mengkritisi draf terbuka kerangka hukum pemilu itu. Jangan sampai ada aturan-aturan kontradiktif yang terjadi sehingga keadilan pemilu sulit diwujudkan.

Permasalahan mengenai pemilu ternyata masih ada pada tatanan hulu, yaitu mekanisme hukum pemilu

Sementara itu, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komaruddin Hidayat mengatakan, permasalahan mengenai pemilu ternyata masih ada pada tatanan hulu, yaitu mekanisme hukum pemilu. Padahal, pemilu langsung sebagai anak kandung reformasi sudah berjalan selama 20 tahun. Hal tersebut perlu diluruskan dan jangan sampai Indonesia gagal merawat warisan reformasi.

Menurut Komaruddin, masa pandemi ini adalah momentum untuk memperbaiki sistem pemilu di Indonesia yang lebih baik lagi. Partai politik yang sudah ditunggangi oleh oligarki tak dapat dibiarkan membajak agenda mulia reformasi. Dia berharap berbagai pemikiran yang konstruktif terutama mengenai mekanisme hukum pemilu dapat diserap sebaik-baiknya sehingga masalah tersebut tidak berulang di kemudian hari.

”Ini adalah semangat yang baik untuk merumuskan masalah dan bagaimana solusi perbaikannya ke depan,” kata Komaruddin. (DIAN DEWI PURNAMASARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/polhuk/2020/07/05/akar-masalah-hukum-pemilu-perlu-dituntaskan/