Menjelang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) secara nasional pada 2024, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah bersepakat tidak mengubah legislasi yang mengatur penyelenggaraan pilkada. Artinya, UU No 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang telah diubah tiga kali dengan UU No 8 Tahun 2015, UU No 10 Tahun 2016, dan UU No 6 Tahun 2020 akan kembali digunakan sebagai dasar hukum perhelatan pilkada di seluruh wilayah Indonesia.
Rapat kerja dan rapat dengar pendapat antara pemerintah, DPR, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 13 April 2022 juga kembali menegaskan bahwa hari pemungutan suara pilkada nasional akan digelar Rabu, 27 November 2024. Sebagai konsekuensinya, pembentuk undang-undang mengatur sejumlah penataan jadwal menuju pelaksanaan pilkada secara nasional pada 2024. Melalui Pasal 201 UU No 10 Tahun 2016, diputuskan peniadaan penyelenggaraan pilkada bagi daerah-daerah yang seharusnya melakukan pemilihan pada 2022 dan 2023.
Sesuai dengan siklus pilkada lima tahunan, pada 2022 terdapat 101 daerah yang seharusnya terjadwal menyelenggarakan pilkada. Meliputi tujuh provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Sementara itu, pada 2023 semestinya terlaksana pilkada di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 38 kota. Akibatnya, akan terjadi kekosongan kepala daerah definitif di daerah-daerah tersebut. Kekosongan itu akan dimulai pada 15 Mei 2022, yakni terdapat lima provinsi yang berakhir masa jabatan kepala daerahnya, yaitu Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Sulawesi Barat, Gorontalo, dan Papua Barat. Selain itu, pada 22 Mei 2022, terdapat 37 bupati dan enam wali kota yang akan berakhir masa jabatannya.
Pasal 201 ayat (9) UU No 10 Tahun 2016 mengatur bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota sampai dengan terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui pilkada nasional 2024. Masa jabatan penjabat kepala daerah ialah selama 1 tahun dan dapat diperpanjang 1 tahun berikut dengan orang yang sama atau berbeda. Selain itu, Pasal 201 ayat (10) dan (11) UU No 10 Tahun 2016 menyebutkan untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya (JPT madya). Sementara itu, untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/wali kota, diangkat penjabat bupati/wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama (JPT pratama).
Penjelasan Pasal 19 UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara telah mengatur secara rinci sejumlah posisi yang memenuhi kriteria sebagai JPT madya dan JPT pratama. JPT madya meliputi sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural. Lalu, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.
Sementara itu, JPT pratama meliputi direktur, kepala biro, asisten deputi, sekretaris direktorat jenderal, sekretaris inspektorat jenderal, sekretaris kepala badan, kepala pusat, inspektur, kepala balai besar, asisten sekretariat daerah provinsi, sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan provinsi, sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan jabatan lain yang setara. Dengan demikian, hanya terbatas pada jabatan-jabatan tersebut sajalah yang bisa mengisi posisi penjabat kepala daerah.Sejauh ini, mekanisme pengisian penjabat kepala daerah merujuk pada ketentuan Pasal 86 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Presiden menetapkan penjabat gubernur atas usul Menteri Dalam Negeri dan Menteri Dalam Negeri menetapkan penjabat bupati/wali kota atas usul gubernur. UU Pemerintahan Daerah memang memerintahkan pengaturan lebih lanjut soal Penjabat ini di dalam peraturan pemerintah. Hanya saja, sampai dengan saat ini belum ada peraturan pemerintah khusus sebagai turunan dari UU Pemerintahan Daerah yang mengatur lebih lanjut mengenai persyaratan dan masa jabatan penjabat gubernur dan bupati/wali kota.
Berdasar data yang dirilis Kementerian Dalam Negeri, sejauh ini terdapat 622 JPT madya dengan sebaran 588 JPT madya kementerian lembaga dan 34 JPT madya provinsi. Selain itu, terdapat 4.626 JPT pratama yang terdiri atas 3.123 JPT pratama kementerian lembaga dan 1.503 JPT pratama provinsi. Dari sisi jumlah, ketersediaan JPT madya dan JPT pratama masih memenuhi ambang kebutuhan, bahkan berlebih untuk pengisian penjabat kepala daerah di seluruh wilayah Indonesia.
Konstitusionalitas penjabat
Namun, persoalannya tidak sesederhana sekadar menempatkan para pejabat aparatur sipil negara itu untuk menjadi penjabat gubernur, penjabat bupati, atau penjabat wali kota. Secara prinsipiel, pengisian penjabat ini hadir di tengah skema pemilihan langsung yang berlaku di Indonesia sebagai implementasi Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebut bahwa gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Norma Konstitusi tersebut kemudian diterjemahkan undang-undang dengan memberikan daulat pada rakyat untuk menentukan siapa kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mereka kehendaki untuk menjadi pemimpinnya.
Peniadaan pilkada pada 2022 dan 2023 membuat daerah-daerah akan dalam waktu lama dipimpin penjabat kepala daerah yang notabene tidak dipilih langsung oleh rakyat. Belum lagi, spekulasi soal resentralisasi pengisian kepemimpinan daerah melalui penempatan penjabat oleh pemerintah pusat. Lalu, rumor posisi penjabat yang ditengarai rentan dipolitisasi dan sarat kepentingan politik untuk agenda pemenangan Pemilu 2024.Terkait dengan hal itu, pada 20 April 2022, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus tiga perkara yang dimohonkan sejumlah pihak menyangkut pengujian konstitusionalitas peniadaan Pilkada 2022 dan 2023 serta pengisian penjabat kepala daerah. Perkara-perkara tersebut diputus melalui Putusan MK No 67/PUU-XIX/2021, Putusan MK No 15/PUU-XX/2022, dan Putusan MK No 18/PUU-XX/2022. Terdapat sejumlah substansi penting yang ditekankan MK dalam putusan-putusan itu, khususnya berkaitan dengan penyelenggaraan pilkada secara nasional serta mekanisme pengisian penjabat kepala daerah secara demokratis.
Pertama, pilkada secara nasional pada November 2024 merupakan bagian dari ketentuan peralihan (transitional provision) yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama. MK menilai, penundaan atas pemenuhan hak warga negara untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate), pada sebagian pilkada dalam rangka menuju pelaksanaan pilkada secara nasional 2024 masih dalam kerangka pembatasan hak konstitusional warga negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Kedua, MK berpendapat, pengisian penjabat kepala daerah dapat dibenarkan dalam hal dilakukan untuk mengisi jabatan pada masa transisional dan sepanjang penjabat yang ditunjuk memenuhi kualifikasi oleh undang-undang, serta kinerjanya dapat dievaluasi pejabat yang berwenang setiap waktu, bahkan mungkin dapat dilakukan penggantian apabila dipandang tidak mempunyai kapabilitas untuk memberikan pelayanan publik.
Ketiga, MK menegaskan proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan secara demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU No 10 Tahun 2016. Jadi, tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah.
Keempat, mengingat peran sentral yang dimiliki kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin penjabat kepala daerah, MK berpandangan perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju pilkada nasional, yang sama dengan kepala daerah definitif. Dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk, akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan, tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin penjabat kepala daerah dan yang definitif.
Kelima, prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak dapat menjadi penjabat kepala daerah, kecuali telah mengundurkan diri dari dinas aktif dan berstatus JPT madya atau JPT pratama sesuai dengan ketentuan UU Aparatur Sipil Negara. Pertimbangan hukum MK yang eksplisit tertuang dalam Putusan MK No 15/PUU-XX/2022 ini sudah semestinya mengakhiri polemik dan kontroversi soal pengisian penjabat kepala daerah dari personel TNI/Polri. MK telah menegaskan bahwa personel aktif TNI/Polri tidak dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah.
Keenam, dalam proses mengangkat penjabat kepala daerah, pemerintah terlebih dahulu harus membuat pemetaan kondisi riil setiap daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memperhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang. Jadi, akan menghasilkan para penjabat kepala daerah yang berkualitas dalam memimpin daerahnya untuk waktu sementara sampai adanya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berdasarkan hasil pilkada nasional tahun 2024.
Ketujuh, mengenai keserentakan waktu penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, menurut MK, tidak hanya merujuk pada waktu pemungutan suara (voting time), tetapi juga waktu pelantikan (inauguration time) yang juga perlu diatur dan disinkronkan keserentakannya. Keserentakan tersebut merupakan langkah awal bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih untuk menyinergikan kebijakan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat serta menyinkronkan tata kelola pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Dengan disinkronkannya waktu penyelenggaraan, baik pemungutan suara maupun pelantikan pasangan calon terpilih, diharapkan tercipta efektivitas dan efisiensi kebijakan pembangunan antara daerah dan pusat.
Menepis spekulasi
Berbagai substansi krusial dalam Putusan MK sudah seharusnya menjadi perhatian serius semua pihak. Pemerintah ataupun pembuat undang-undang harus segera menindaklanjuti putusan MK dengan mengambil langkah-langkah konkret sesuai dengan pertimbangan hukum yang telah diberikan Mahkamah. Harapannya, pengaturan dan pelaksanaan pilkada serta tata kelola pemerintahan daerah makin demokratis serta berorientasi optimal pada pelayanan publik yang prima dan antikorupsi. Merupakan sesuatu yang mendesak bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana berupa peraturan pemerintah yang mengatur mekanisme pengisian penjabat kepala daerah. Jaminan proses yang terbuka, transparan, dan akuntabel pun benar-benar tersedia secara terukur.
Melalui peraturan pemerintah tersebut, anasir-anasir negatif tentang praktik partisan, transaksional, dan koruptif di balik pengisian penjabat kepala daerah mampu ditepis dengan tegas. Keengganan, keraguan, atau kelambanan pemerintah dalam menerbitkan peraturan pelaksana, sebagaimana penekanan putusan MK, bisa memperkuat spekulasi soal agenda terselubung di balik pengisian posisi penjabat kepala daerah. Asumsi itu, bila tidak segera diluruskan, dapat bergulir makin liar apabila dikaitkan dengan kepentingan kontestasi Pemilu 2024. Hal itu akan sangat kontraproduktif dengan upaya membangun stabilitas di tengah penuntasan berbagai program strategis di akhir masa jabatan Presiden.
Pilihan terbaik bagi Presiden Joko Widodo ialah meninggalkan warisan cemerlang bagi demokrasi lokal berupa pembentukan kebijakan yang mampu menjamin akuntabilitas pengisian penjabat kepala daerah. Dengan materi muatan di dalamnya yang mencerminkan komitmen kuat berdemokrasi melalui pengaturan prosedur dan tata cara pengisian penjabat secara kredibel, berintegritas, partisipatoris, dan sungguh-sungguh mengutamakan aspirasi daerah.
Selain itu, aparat penegak hukum, khususnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penting mengambil langkah antisipatif guna memastikan tidak terjadi manuver-manuver melawan hukum berupa tindakan transaksional dan koruptif dalam rangka pengisian penjabat.
Sementara itu, untuk memastikan penjabat kepala daerah bekerja secara profesional dan netral, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) juga perlu memberikan atensi khusus pada kinerja penjabat dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024. KASN harus responsif memastikan penjabat tidak berpihak atau melakukan tindakan-tindakan partisan yang sangat bertentangan dengan sifat imparsialitas dan nonpartisan aparatur sipil negara. []
TITI ANGGRAINI
Artikel ini dikliping dari sumber:
https://m.mediaindonesia.com/opini/491530/akuntabilitas-pengisian-penjabat-kepala-daerah