Aliansi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah dan fraksi-fraksi partai politik di DPR untuk membahas revisi paket undang-undang di bidang politik jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan pemilu serentak nasional 2024. Pembahasan lebih dini tersebut penting mengingat banyaknya cakupan dan substansi yang perlu dibahas secara mendalam.
Aliansi masyarakat sipil mendesak revisi UU Kepemiluan yang akan dibahas sepaket dengan enam RUU lainnya dilakukan jauh-jauh hari sebelum pemilu serentak nasional 2024. Mereka menilai UU Kepemiluan saat ini terlalu sering diubah, tetapi belum maksimal untuk membenahi sistem demokrasi di Indonesia.
Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Kode Inisiatif melakukan audiensi dengan Kementerian Dalam Negeri, Rabu (19/2/2020). Mereka menyampaikan sejumlah masukan terkait dengan rencana perubahan peraturan hukum di bidang kepemiluan, kepartaian, dan di bidang politik. Rencananya, sejumlah aturan yang akan direvisi itu adalah Undang-Undang Pemilu, UU Partai Politik, UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, UU MPR, DPR, dan DPD (MD2), UU Pemerintah Daerah, dan aturan lain menyangkut otonomi daerah.
Direktur Eksekutif Pusako Feri Amsari mengatakan, paket RUU Kepemiluan sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) prioritas tahun 2020. Menurut informasi, DPR akan membahas RUU itu dalam satu paket, yaitu UU Partai Politik, UU Pilkada, UU Pemerintahan Daerah, UU Keuangan Negara, UU Perimbangan Pusat dan Daerah, serta UU MD2.
”Sudah 20 tahun lebih kita menjalankan konstitusi ini, tetapi hal-hal penting di bidang politik belum betul-betul dikerjakan dengan baik,” ujar Feri.
Hal yang belum dikerjakan dengan baik itu, kata Feri, misalnya terlalu seringnya UU Kepemiluan diubah tetapi belum signifikan membenahi sistem pemilu. Hal itu menjadi perhatian bersama untuk dibahas baik fraksi-fraksi parpol di DPR dan pemerintah.
Menurut Feri, jika dibahas di tahun ini, masih ada cukup waktu untuk mempersiapkan aturan yang komprehensif. Dia juga berharap UU Kepemiluan tidak dibahas mepet dengan pelaksanaan pemilu seperti UU No 7/2017 tentang Pemilu yang disahkan mepet dengan pelaksanaan pemilu serentak nasional tahun 2019.
”Kami berharap pemerintah dan DPR mempersiapkan UU Kepemiluan jauh-jauh hari dengan sebaik-baiknya supaya proses pemilu ke depan jauh lebih baik,” kata Feri.
Selain ke Kementerian Dalam Negeri, aliansi masyarakat sipil juga sudah menggelar audiensi ke partai politik, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Nasdem. Ke depan, mereka juga sudah mengagendakan untuk bertemu dengan Partai Golkar dan Partai Demokrat.
Substansi
Peneliti Perludem, Fadli Rahmadanil, menambahkan, substansi perubahan paket UU Kepemiluan sangat banyak. Namun, sejumlah poin penting yang disampaikan dalam audiensi itu adalah bahwa pembahasan harus segera dilakukan supaya pemerintah dan DPR mempunyai waktu untuk merefleksi, mendalami, serta memperbaiki aturan kepemiluan dan partai politik.
”Sekarang masih tahun 2020 dan nanti pemilu serentak nasional di tahun 2024. Masih cukup banyak waktu untuk menyimulasikan segala kemungkinan,” kata Fadli.
Perludem berharap, dalam waktu yang relatif yang tidak lama ini, UU Pemilu, UU Parpol, UU Pilkada, dan aturan lainnya yang saling berkaitan disinkronisasi. Upaya sinkronisasi itu salah satunya untuk menghindari tumpang tindih aturan di dalam beragam regulasi tersebut.
Perludem berharap, dalam waktu yang relatif yang tidak lama ini, UU Pemilu, UU Parpol, UU Pilkada, dan aturan lainnya yang saling berkaitan disinkronisasi. Upaya sinkronisasi itu salah satunya untuk menghindari tumpang tindih aturan di dalam beragam regulasi tersebut.
Salah satu poin yang menjadi perhatian Perludem adalah mengenai desain jadwal pemilu. Menurut Fadil, pilkada serentak lokal 2020 adalah masa transisi terakhir sebelum pelaksanaan pemilu serentak nasional 2024. Perhelatan akbar demokrasi itu harus dibarengi dengan perbaikan aturan kepemiluan. Pilpres 2024 tidak bisa ditunda karena berkaitan dengan masa jabatan presiden. Namun, jadwal pilkada serentak dapat disesuaikan supaya nantinya pilkada lokal dapat diselenggarakan serentak di tahun 2026. Saat ini, pilkada lokal serentak masih digelar tidak berbarengan. Ada yang diselenggarakan pada tahun 2020, ada pula yang tahun 2021.
Namun, bagaimana jika aturan pilkada serentak itu memotong masa jabatan kepala daerah? Apakah hal itu tidak akan memicu gejolak di daerah? Fadil berpendapat, jika sudah diatur dalam UU Kepemiluan sebelum kontestasi pilkada digelar, hal itu sah-sah saja.
”Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa pemilu serentak adalah pemilu nasional, memilih DPR dan DPD. Sementara pemilu serentak lokal adalah untuk memilih gubernur, bupati, wali kota bersamaan dengan DPRD kabupaten, kota, dan provinsi. Upaya judicial review aturan ini sedang berjalan di Mahkamah Konstitusi,” kata Fadil.
Sementara itu, peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif), Viola Reininda, menambahkan, pihaknya mendorong supaya UU Kepemiluan ini bernilai konstitusional. Sebab, berdasarkan penelitian dari KoDe Inisiatif tahun 2003-2019, pengujian UU terbanyak di Mahkamah Konstitusi ditujukan kepada UU Pemda, UU Pemilu, UU Parpol, dan UU yang berkaitan dengan parlemen. Oleh karena itu, revisi UU Kepemiluan ke depan harus memperhatikan mengenai aturan konstitusi.
”Revisi UU Kepemiluan ini harus memperhatikan apa yang sudah diputuskan oleh MK di periode sebelumnya. Jangan sampai apa yang dimasukkan di UU ini bertentangan dengan putusan MK,” kata Viola.
Revisi UU Kepemiluan ini harus memperhatikan apa yang sudah diputuskan oleh MK di periode sebelumnya. Jangan sampai apa yang dimasukkan di UU ini bertentangan dengan putusan MK.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengatakan, pihaknya terbuka terhadap masukan mengenai perubahan aturan perundang-udangan kepemiluan. Sebab, pada prinsipnya, Kemendagri juga ingin memperbaiki pengelolaan pemerintahan dan politik dalam negeri. Namun, revisi UU Kepemiluan itu merupakan inisiatif dari DPR. Oleh karena itu, posisi pemerintah adalah menunggu draf RUU diserahkan kepada pemerintah.
”Pemerintah prinsipnya siap untuk menerima draf revisi UU Kepemiluan. Kami sudah mendapatkan banyak masukan mengenai soal kepartaian. Regulasi kepartaian harus diperkuat makanya UU Parpol juga harus direvisi ke depan,” kata Bahtiar. (DIAN DEWI PURNAMASARI)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/polhuk/2020/02/20/aliansi-masyarakat-sipil-desak-revisi-uu-kepemiluan/