August 8, 2024

Anggota KPU Keberatan dengan Sifat Putusan DKPP yang Final Mengikat

Dua anggota Komisi Pemilihan Umum atau KPU, Evi Novida Ginting Manik dan Arief Budiman, mempersoalkan norma di dalam Undang-Undang Pemilu yang mengatur tentang sifat putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang final dan mengikat. Ketentuan tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi karena menghilangkan mekanisme check and balances terhadap DKPP.

Selain itu, sifat putusan final dan mengikat tersebut berpotensi mengganggu kemandirian KPU dan sekaligus menjadikan DKPP superior atas penyelenggara pemilu yang lain. Terkait dengan hal tersebut, kedua anggota KPU tersebut meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 458 Ayat (13) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan konstitusional sepanjang tidak dimaknai putusannya bersifat mengikat sebagai keputusan tata usaha negara.

Pada Kamis (4/11/2021), MK menggelar sidang uji materi permohonan Evi Novida dan Arief Budiman dengan agenda mendengarkan keterangan ahli. Tiga ahli diajukan oleh pemohon, yaitu E Fernando M Manullang, Harsanto Nursadi, dan Khairul Fahmi. Sidang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.

Pada 18 Maret 2020, Evi Novida Ginting diberhentikan sebagai anggota KPU. Namun, surat keputusan pemberhentian Evi dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dan Evi diaktifkan kembali sebagai anggota KPU berdasarkan putusan PTUN. Meskipun demikian, DKPP tetap tidak mau mengakui Evi Novida Ginting sebagai anggota KPU karena berpandangan bahwa putusannya final dan mengikat. Sementara Arief diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua KPU karena dinilai melanggar etik setelah mendampingi Evi mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta.

Kedua pemohon merasa dirugikan karena berpotensi kehilangan hak konstitusionalnya sebagai warga negara untuk kembali menjadi penyelenggara pemilu/jabatan publik, akibat stigma negatif sebagai pelanggar etika yang dilekatkan secara terus-menerus oleh DKPP.

Oleh karena itu, kedua pemohon mendalilkan norma Pasal 458 Ayat (13) UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan konstitusi karena sifat putusan DKPP yang final dan mengikat telah membuat DKPP menjadi superior atas penyelenggara pemilu lainnya. Hal tersebut juga telah mengakibatkan hilangnya mekanisme check and balances terhadap DKPP. Tindakan abuse of power DKPP juga dinilai telah mendistorsi kemandirian penyelenggara pemilu yang mengakibatkan potensi pelanggaran atas asas jujur dan adil yang dapat bermuara pada berkurangnya kredibilitas penyelenggaraan pemilu.

Selain itu, sifat final dan mengikat putusan DKPP juga telah menimbulkan kerancuan dalam perspektif hukum administrasi negara, perspektif konsep etika dan perspektif konsep hukum.

Lembaga superior

Ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Khairul Fahmi, mengungkapkan, sifat final dan mengikat pada putusan DKPP menjadikan produk hukum lembaga tersebut tidak dapat dikoreksi. Hal itu menempatkan DKPP sebagai lembaga yang superior, bahkan terhadap putusan pengadilan sendiri. Ketentuan ini menjadikan DKPP sebagai lembaga yang sangat kuat.

”Sebagai lembaga penyelenggara pemilu, DKPP diberi kewenangan menjatuhkan sanksi. Namun, ketika ada challenging terhadap putusan itu, dia tak langsung merujuk pada putusan DKPP sehingga di sini upaya koreksi itu ataupun upaya mengimbangi putusan yang final dan mengikat tidak tersedia,” ujarnya.

Terkait dengan hal tersebut, Khairul Fahmi menawarkan dua jalan keluar. Pertama, putusan DKPP diubah menjadi bersifat rekomendasi. Pengambil keputusan diserahkan kepada presiden (untuk dugaan pelanggaran etik yang menyangkut anggota KPU dan Bawaslu).

Jalan keluar kedua, putusan DKPP bersifat mengikat bagi penyelenggara pemilu, tetapi putusan itu ditempatkan sebagai keputusan TUN yang bisa diuji langsung ke PTUN.

”Yang kedua, ini juga bisa menjadi salah satu jalan untuk mengontrol wewenang DKPP dalam pemeriksaan dan penjatuhan sanksi etik. Menurut ahli, ini sudah patut dan selayaknya didesain dalam UU Pemilu kita. Tidak bisa kemudian kewenangan itu semata-mata diserahkan, lalu kemudian dengan putusan final mengikat tanpa kemudian ada mekanisme kontrol langsung terhadap pelaksanaan kewenangan itu,” jelasnya. (SUSANA RITA)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/11/04/anggota-kpu-keberatan-dengan-sifat-putusan-dkpp-yang-final-mengikat