Maret 28, 2024
iden

Angka-angka Pemilu dan Kesadaran Demokratis

Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 yang diselenggarakan 9 Juli lalu hasilnya langsung merujuk pada hitung cepat (quickcount). Sejumlah lembaga survei mengonfirmasi, Joko Widodo-Jusuf Kalla unggul 4-5 persen atas Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Tak tunggu sampai penetapan hasil dari Komisi Pemilihan Umum, Kubu Jokowi-JK mengklaim telah memenangkan pemilu dan menghimbau menjaga kepada relawan dan pemilihnya untuk menjaga suara hingga KPU menetapkan kemenangan Jokowi-JK. Di seberang, Prabowo-Hatta pun mengklaim, memenangkan sejumlah provinsi yang kepala daerahnya mendukung Prabowo-Hatta disertai publikasi beberapa hasil hitung cepat yang mengunggulkannya.

22 Juli, KPU akan menetapkan hasil suara secara nasional. Tapi kemungkinan besar, pasangan yang suaranya lebih sedikit, akan mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). 23-25 Juli akan dimanfaatkan paslon bersuara lebih sedikit untuk menggugat hasil di MK. Lalu 4-21 Agustus MK akan memproses penyelesaian hingga 22-24 Agustus untuk bacakan putusan.

Hitung cepat dan potensi gugatan hasil suara itu, mengingatkan pada pemungutan suara Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (Pileg) 2014 telah dilaksanakan 9 Juli lalu. Setelah riuh dalam publisitas elektabilitas, hitung cepat, dan penetapan hasil suara oleh KPU, peserta berselisih hasil ajuan gugatan ke MK. Mulai 30 Juli, MK membacakan putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) bagi 697 perkara. Secara maraton, semua diperiksa dan disidangkan MK hampir sebulan lamanya. Jumlah gugatan sendiri yang diajukan partai dan perseorangan peserta pemilu ada 914.

Menyimak persidangan MK terkait gugatan PHPU, kita disuguhkan juga pemaparan angka-angka. Baik dari pihak pemohon, termohon, maupun terkait. Semisal pemohon: Partai A menggugat keputusan KPU RI nomor 411/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang Penetapan Hasil Pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2014  tanggal 9 Mei 2014. Dalam dalil permohonannya Partai A merasa seharusnya perolehan suara mereka di dapil A sejumlah 1000 suara, namun pihak Pemohon (KPU) menetapkan (biasanya selalu kurang dari angka pemohon) 500 suara, dan sisa suaranya menurut partai A masuk ke pihak terkait (partai B).

Semua bukti, baik bersumber dari bukti tertulis maupun kesaksian saksi, pada akhirnya harus mengungkapkan angka-angka. Dan yang mulia para hakim pun dalam putusannya berpedoman pada pembuktian angka-angka itu. Tak sekalipun ditelisik lebih lanjut, siapa yang memperoleh angka-angka itu dan bagaimana dia bisa memperoleh angka-angka itu. Andai angka yang tertera di formulir C1 atau DA1 atau bahkan DB yang dikemukakan salah satu pihak menurut Mahkamah benar maka Mahkamah akan dengan putusan bulat menyatakan, angka inilah yang benar dan sebaliknya.

Tarung pembuktian angka-angka itu jugalah yang (kemungkinan besar) terjadi di pilpres. Semuanya berkisar seputar pembuktian angka yang benar. Saat itu lah kembali, kebenaran bukanlah soal angka-angka yang ada merupakan kebenaran itu sendiri, tapi sejauh mana angka-angka itu bisa diyakinkan kepada Mahkamah.

Betul memang paham demokrasi yang kita anut masih menuhankan suara terbanyak. Tapi yang juga perlu diingat, partai, penyelenggara (dan pengawas) pemilu, perwakilan masyarakat, dan para pemilih seharusnya bersama terlibat bagaimana proses sejak awal hingga akhir sebuah angka dalam pemilu bisa dijamin kebenarannya.

Bagi partai, nanti dan seterusnya, pendidikan politik haruslah menjadi medan juangnya sehingga politik yang sejatinya soal publik menjadi kerja pemberdayaan di periode pemerintahan dan berkelanjutan. Partai harus mengubah citranya yang buruk. Pemahaman warga harus bisa menghubungkan antara partai, pemilu, demokrasi, partisipasi, dan kesejahteraan. Kita tahu, selama ini pertemuan rakyat dengan politisi hanya di jelang pesta demokrasi.

Jika itu dilakukan maka perolehan angka tak hanya sekedar angka tapi memang bernilai demokratis. Kader terbaik yang benar-benar teruji dan dapat membangun partai serta bangsa Indonesia akan lebih mungkin terpilih. Dan memang merekalah yang berhak diusung menjadi caleg. Demikian pula kader yang parpuran ini pun seharusnya sudah paham tata cara pemilu sehingga akan berusaha maksimal memperoleh angka bagi partainya dengan cara-cara yang tak melanggar aturan demokrasi.

Bagi penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu, keberadaannya bukan hanya memastikan sejumlah formulir tertulis dengan angka saja. Keberadaanya pun mengupayakan angka yang telah tertulis tersebut benar dan tak disia-siakan di tengah jalan. Misalnya saja dimanipulasi pada tahapan rekapitulasi suara di tingkat lebih atasnya.

Pesta demokrasi untuk kita semua berusia 17 tahun atau telah menikah (bukan POLRI dan TNI). Kolosalnya pemilu berbiaya triliunan ini jangan sampai menghasilan angka-angka hail pemilu yang tak sebenarnya. Memilih pemimpin yang dipercaya sebagai pengemban amanat rakyat dan UUD 1945 merupakan salah satu hal utama yang perlu disertakan sikap awas dan menjaga suara untuk tak sekedar angka. Di samping memilih bukan karena uang, popularitas, atau sekedar mencoblos, penyelewengan dan politik uang di penyelenggara pemilu pun harus diawasi.

Jangan sampai kita lupa, partisipasi bukan saja inti dari pemilu, tapi juga demokrasi. Pemerintahan berkala bermakna “dari, oleh, dan untuk rakyat” tak hanya membutuhkan keterlibatan warganya dalam pergantian pemerintahan, tapi juga jalannya kekuasaan rakyat itu. Dengan ini, angka-angka pemilu bukanlah ukuran semu melainkan gambaran kesesuaian demokrasi. Saat itu, pemilu menjadi demokratis. []

NELVIA AGUSTINA
Pegiat rumahpemilu.org