Tampaknya banyak yang sepakat jika mendengar kata Golput, dalam pikiran yang cukup serius, akan teringat nama Arief Budiman. Merujuk Arief (dkk.) beserta Gerakan Golput pada Pemilu 1971 akan mengklarifikasi pikiran yang mengotori pilihan Golongan Putih. Secara genuin, Golput bermakna gerakan kritis yang jauh dari apatis. Sehingga relevansi kebenaran pilihan tak memilih di pemilu sebagai keabsahan demokrasi akan terkait dengan pemaknaan kita terhadap Arief dan Gerakan Golput.
Arief Budiman lahir di Jakarta, 3 Januari 1941. Bernama awal Soe Hok Djin, Arief aktif berpartisipasi dalam demokrasi sejak kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Bersama adiknya, Soe Hok Gie, Arief termasuk aktivis Angkatan ’66. Sebelumnya (1963) Arief aktif di politik kebudayaan dengan ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan menentang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang mendominasi dan dinilai monolitik dalam demokrasi berkebudayaan.
Rentang usia Arief menjangkau jalannya pemerintahan lintas Orde beserta pemilunya. Kritismenya terus hadir di rezim Orde Lama, Orde Baru, hingga pasca-Reformasi. Gerakan Golput sebagai oposisi Orde Baru merupakan hal yang membuat peraih PhD Sosiologi dari Universitas Harvard Amerika Serikat ini menjadi populer dalam pembahasan partisipasi pemilu.
“Golongan Putih” atau “Golput” sendiri secara istilah dicetus oleh Imam Waluyo, salah seorang dalam gerakan tak memilih di pemilu pertama Orde Baru saat itu. Namun “Arief Budiman” menjadi marka pembahasan pemilu dan Golputnya. Merujuk Arief akan langsung menjelaskan ontologis Golput sebagai pilihan khas pemilu di Indonesia yang maknanya tak sama dengan istilah “abstain” pada umumnya pemilu di negara lain.
“Sebelum dan selama kampanye, pemimpin-pemimpin partai dikerjai oleh apparat. Pegawai negeri dan apparat desa dipaksa menandatangani sumpah monoloyalitas kepada Golkar,” begitu tulis Indonesianis, R. William “Bill” Liddle dalam “Suara Desa” menggambarkan ketunggalakan Golongan Karya.
Perbincangan soal pemilu dan tulisan bebas di dunia maya menjelaskan, istilah “putih” dalam terma “Golput” berarti gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar partai peserta pemilu bagi yang datang ke bilik suara. Golongan putih kemudian juga digunakan sebagai istilah lawan bagi Golongan Karya, kontestan pemilu berwarna kuning sebagai representasi politik dominan Orde Baru.
Dari sini kita bisa tahu, tak memilih dengan istilah “Golput” merupakan sikap partisipatif warga berdemokrasi di dalam prosedural pemilu. Golput adalah sikap ideologis oposisi terhadap kuasa formal dengan tak memilih pada pilihan surat suara di dalam bilik yang dibatasi area bernama tempat pemungutan suara (TPS). Golput adalah warga terdata di daftar pemilih yang datang ke TPS menggunakan hak pilihnya tapi memilih di luar peserta pemilu yang tawarkan permukaan isi surat suara.
Ada semacam doktrin republikan dalam Golput yang digerakan Arief dkk. Arief tak memisahkan partisipasi warga negara berdemokrasi dengan partisipasi memilih di pemilu. Jelas Golput di sini berbeda dengan pernyataan “demokrasi yes, pemilu no!”. Tetap datang ke TPS untuk memilih tak memilih terhadap tawaran di surat suara merupakan konsekuensi dari warga yang menerima demokrasi di negaranya.
Golput tetap relevan
Pertanyaannya, apakah Golput tetap relevan meski konteks Orde Baru sudah berganti? Dalam artikel opininya “Dua Kiat Menumpas Golput” (Majalah Tempo, 28/12/1996), Arief mengingatkan, defenisi Golput di atas mempunyai keterikatan terhadap sejarah prosedur pemilu dan kultur berpolitik Indonesia. Golput 1971 yang digerakannya jelas masuk dalam sejarah prosedur pemilu. Merujuk kultur berpolitik Indonesia, sistem nenek moyang pemilihan kepala desa ternyata menyediakan pilihan bumbung kosong sebagai prosedur tak memilih bila calon tunggal dinilai tak layak bagi pemilih.
Arief seperti mau menegaskan: jika tak memilih juga merupakan pilihan yang dijamin demokrasi, maka tak memilih tetap relevan dalam pemilu, di mana pun dan kapan pun. Sudah selayaknya pilihan politik dalam demokrasi diupayakan utuh terepresentasi dalam prosedur demokrasi bernama pemilu.
Pasca-Reformasi, pemaknaan Golput yang merujuk konteks bisa jadi memang tak utuh sesuai. Tapi secara substansi bisa saja dikaitkan sehingga disimpulkan Golput tetap relevan. Golput adalah sikap ideologis oposisi terhadap kuasa formal dengan tak memilih pada pilihan surat suara di dalam bilik yang dibatasi area bernama TPS.
Yang dimaksud kuasa di hadapan pemilih itu bisa berupa otoritarian, oligarki, intervensi proses beserta hasil pemilu, atau apa pun. Doktrin sosialisasi penyelenggara pemilu berbunyi “pilih terbaik dari yang terburuk” sangat mungkin tak bisa diterima sebagian warga. Sehingga, semangat pilihan bermakna partisipasi perlawanan dalam prosedur memilih harus tetap dijaga.
Coba bayangkan, seandainya di surat suara pemilu ada pilihan “putih” di samping pilihan warna-warni partai, daftar calon legislator, atau pasangan calon presiden-wakil presiden! Apakah penyediaan pilihan itu membuat penyelenggaraan pemilu lebih menarik warga datang ke TPS? Jawabannya, belum tentu. Tapi yang pasti, saat itu, pilihan tak memilih atau golongan putih telah diakui tak hanya bagian dari demokrasi tapi juga diakui secara prosedur pemilihan pemerintahannya, bernama pemilu. []
USEP HASAN SADIKIN
foto: The Jakarta Post
https://www.thejakartapost.com/life/2020/04/23/arief-budiman-dissident-academic-under-new-order-dies-at-79.html