Wacana perubahan sistem pilkada kembali menyeruak seiring maraknya kasus korupsi kepala daerah. Besarnya biaya politik yang dikeluarkan dianggap menjadi faktor pendorong tindakan korup tersebut.
Hanya saja, penelusuran Kompas terhadap data 121 kepala daerah terjerat kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi 2004-November 2019 menunjukkan, kepala daerah hasil pemilihan DPRD ataupun pemilihan langsung sama-sama rentan terlibat korupsi.
Dari 121 kepala daerah itu, 16 orang merupakan gubernur, 25 wali kota, 1 wakil wali kota, 76 bupati, dan 3 wakil bupati. Dari total kepala daerah tersebut, 12 orang di antaranya terpilih melalui mekanisme pemilihan di DPRD. Namun, dari data ini tidak bisa disimpulkan bahwa setelah pilkada langsung, jumlah kepala daerah yang terjerat korupsi jadi melonjak. Sebab, KPK baru dibentuk pada 2003, dua tahun sebelum pilkada langsung digelar.
Dari 12 kasus itu, ada tujuh gubernur dan lima bupati yang terjerat kasus korupsi. Gubernur pertama yang terjerat kasus korupsi pasca-KPK dibentuk adalah Gubernur Aceh Abdullah Puteh pada 2004 dalam kasus pembelian helikopter tahun 2002-2003. Sementara bupati pertama yang tersandung kasus korupsi adalah Abubakar Ahmad, Bupati Dompu, Nusa Tenggara Barat, dalam kasus penyalahgunaan APBD tahun anggaran 2003.
Narasi politik biaya tinggi juga sudah muncul saat proses pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Calon kepala daerah berlomba-lomba memberikan ”upeti” kepada para legislator daerah agar terpilih. Arsip pemberitaan Kompas menunjukkan, berita dengan kata kunci ”suap”, ”politik uang”, dan ”pemilihan kepala daerah” cukup intens muncul.
Dalam salah satu pemberitaan, misalnya, Eric Hudiyanto, mantan calon wali kota Surabaya 2000-2005, kepada Kompas pernah menuturkan, dirinya mengeluarkan uang hingga hampir Rp 400 juta selama proses pemilihan. Eric bahkan dimintai ”uang Lebaran” untuk memuluskan langkahnya menjadi wali kota. Namun, kursi kepala daerah justru jatuh kepada pasangan calon lain (Kompas, 14 Maret 2000).
Maraknya praktik suap saat itu bermuara pada menguatnya harapan agar diadakan pilkada secara langsung. Sistem pemilihan ini diharapkan dapat menghapuskan praktik politik uang pada proses pemilihan melalui DPRD.
Prestasi
Setelah lebih dari satu dekade pilkada langsung dijalankan, praktik politik uang ataupun korupsi kepala daerah tak bisa dimungkiri masih terjadi. Namun, di sisi lain, pilkada langsung juga melahirkan legitimasi dan kedekatan kepala daerah dengan pemilihnya. Hal ini menuntut kepala daerah terpilih memberikan yang terbaik bagi daerahnya. Artinya, pilkada langsung tak selalu melahirkan kepala daerah yang korup, tetapi juga kepala daerah berprestasi.
Misalnya saja, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Dipimpin Risma, Surabaya menorehkan sejumlah prestasi internasional, di antaranya Lee Kuan Yew World City Prize kategori Special Mention 2018 di Singapura. Penghargaan ini diraih karena Risma mampu melestarikan kampung-kampung yang ada. Sebut juga Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang sukses melambungkan daerahnya menjadi alternatif wisata selain Bali.
Meskipun demikian, bandul wacana pilkada kembali berayun, kembali ke arah sebaliknya. Wacana mengembalikan sistem pilkada menjadi tak langsung terus digaungkan. Pada tahun 2014, di akhir periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, wacana ini didorong oleh Fraksi Partai Demokrat sebagai pengusung utama pemerintah di DPR.
Kini, lima tahun kemudian, wacana untuk mengevaluasi sistem pilkada muncul lagi. Usulan itu dipantik Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian seusai rapat kerja dengan Komisi II DPR, awal November 2019. Wacana itu didukung sejumlah fraksi di DPR, khususnya fraksi parpol-parpol pendukung pemerintah.
Nilai nominal uang
Pelaksana Tugas Direktur Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengatakan, pada dasarnya praktik politik uang dan korupsi memang tak bisa ditiadakan, apa pun sistem pemilihannya. Ia tak menampik, ada kepala daerah hasil pilkada tak langsung yang juga memakai politik uang untuk menang pemilihan.
Meski demikian, ia berargumen, intensitas dan nilai nominal uang yang beredar seharusnya bisa ditekan melalui pilkada lewat DPRD. Bahtiar juga membandingkan pilkada tak langsung dan pilkada langsung dengan menyoroti biaya operasional tinggi yang dikeluarkan negara. Pilkada 2018 untuk 101 daerah, misalnya, menghabiskan Rp 18 triliun.
Demikian pula, dari hasil naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) antara pemerintah dan KPU serta Bawaslu untuk Pilkada 2020, anggaran yang dibutuhkan Rp 15 triliun. Bahtiar meyakini, angka itu bisa ditekan dengan pilkada lewat DPRD. ”Kita kaji secara tenang, independen, dan tak emosional. Mari lihat secara obyektif, apa iya mau seperti itu terus? Lama-kelamaan, habis uang kita,” kata Bahtiar.
Pemerintah, lanjutnya, akan tetap mengkaji sistem pemilihan yang tepat untuk pilkada. Namun, kesimpulan belum dicapai. Pemerintah sejauh ini lebih condong pada kemungkinan pilkada asimetris atau mencampur pilkada langsung dan tak langsung. Artinya, ada daerah yang menggunakan pilkada langsung, ada yang mandataris DPRD.
Pilkada asimetris juga bisa diterapkan lewat pembedaan sistem di tiap tingkat. Pemilihan gubernur, misalnya, menggunakan pilkada langsung karena pemerintah provinsi jadi perpanjangan tangan pemerintah pusat. Adapun pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota lewat DPRD.
”Yang pasti, tak akan kembali ke sistem pemilihan tidak langsung secara mutlak seperti dulu. Tetapi, kita perlu mencari varian lain yang lebih cocok,” kata Bachtiar.
Sistem pemilihan, baik melalui DPRD maupun langsung, bukanlah faktor determinan atau setidaknya bukan faktor tunggal yang menyebabkan lahirnya koruptor dari kalangan kepala daerah. Jangan sampai karena terburu-buru menyimpulkan, kedaulatan rakyat lewat pemilihan langsung yang sudah berjalan satu dekade direnggut. (Litbang Kompas)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/utama/2019/12/09/bandul-berayun-narasi-pilkada/