Mahkamah Konstitusi diharapkan membatasi ruang lingkup pemeriksaan gugatan perselisihan hasil pemungutan dan pengitungan suara ulang pemilihan kepala daerah tahun 2020. Tak hanya mempercepat proses persidangan, masyarakat pun akan semakin cepat mendapatkan kepala daerah-wakil kepala daerah definitif.
Berdasarkan situs resmi Mahkamah Konstitusi (MK), hingga Minggu (2/5/2021) terdapat enam pasangan calon kepala daerah yang kembali menggugat hasil pemilihan kepala daerah (pilkada). Gugatan itu dilakukan terhadap hasil pilkada pascapelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) dan penghitungan suara ulang.
Gugatan, antara lain, didaftarkan oleh enam pasang kontestan yang mengikuti pilkada di Labuhanbatu, Labuhanbatu Selatan, Mandailing Natal, Rokan Hulu (dua gugatan), serta satu daerah yang melaksanakan penghitungan suara ulang, yaitu Sekadau. Diperkirakan, gugatan sengketa hasil pilkada masih terus bertambah karena masih ada enam daerah yang belum menjalankan perintah MK untuk melakukan pemungutan dan penghitungan suara ulang.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Ihsan Maulana, mengatakan, dari enam gugatan tersebut, tiga gugatan didaftarkan oleh pemohon yang sama dengan sengketa peselisihan hasil pilkada sebelumnya, dua gugatan didaftarkan oleh pihak terkait, serta satu gugatan didaftarkan oleh pemohon yang sebelumnya tidak mengajukan gugatan.
Dari enam gugatan itu, pemohon melaporkan ada pelanggaran terstruktur, masif, dan sistematis; ada mobilisasi massa; pelanggaran kampanye; dan dugaan keterlibatan penyelenggara pemilu. ”Bahkan, di Sekadau, kepala daerah terpilih telah dilantik meskipun hasilnya masih digugat ke MK,” kata Ihsan saat webinar bertajuk ”Peluang dan Tantangan Gugatan Sengketa Pilkada Jilid II Pasca-PSU”, Minggu (2/5/2021).
Selain Ihsan, hadir sebagai pembicara Ketua KoDe Inisiatif Veri Junaidi; anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi; dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar.
Veri menjelaskan, amar putuan MK pada perselisihan hasil Pilkada 2020 tidak memerintahkan KPU untuk melaporkan hasil PSU kepada MK. Hal ini berimplikasi pada keputusan KPU pascapelaksanaan PSU bisa kembali digugat karena putusan final tetap berada di tangan MK.
Oleh karena itu, MK diharapkan membatasi ruang lingkup pemeriksaan perkara sengketa hasil pilkada. Menurut Veri, MK cukup memeriksa hal-hal yang terjadi selama PSU di tempat pemungutan suara (TPS) yang melaksanakan pemungutan dan penhitungan ulang. Bukti yang diperiksa pun seharusnya hanyalah bukti-bukti baru yang ditemukan saat pelaksanaan PSU.
Pengalaman persidangan perkara perselisihan hasil pilkada di Intan Jaya tahun 2017 diharapkan tidak terulang lagi. Saat itu, MK memeriksa kejadian di luar TPS-TPS yang melaksanakan PSU. Meskipun pada akhirnya tidak ada PSU ulang, hal itu dinilai bisa membuat ketidakpastian hukum pada proses pilkada.
”Jika MK kembali memeriksa semua proses pilkada, tidak hanya di tahap PSU, seperti pemeriksaan gugatan di Intan Jaya tahun 2017, maka prosesnya bisa sangat lama dan berlarut-larut. Masyarakat tidak kunjung mendapatkan kepala daerah terpilih hasil pilkada,” kata Veri.
Terhadap gugatan di Sekadau, hasil dari putusan MK nantinya akan berpengaruh terhadap hasil pemilu beserta administrasi yang mengikutinya. Dalam hal ini, kepala daerah yang telah dilantik bisa dibatalkan apabila MK menilai putusan KPU yang menjadi dasar pelantikan dibatalkan oleh MK.
Raka mengatakan, KPU mempersiapkan pelaksanaan PSU sebaik-baiknya. Namun, ketika paslon kembali menggugat hasil pilkada pasca-PSU, pihaknya tetap akan mengikuti prosedur yang telah ditentukan.
”Pilkada 2015 ada dua daerah yang kembali melaksanakan PSU. Tahun ini kami berharap tidak akan terjadi,” katanya. Dua daerah yang kembali melaksanakan PSU untuk kedua kali adalah Muna dan Memberamo Raya.
Menurut Fritz, MK selalu mempertimbangkan keadilan substantif dalam memutus perkara. Syarat formil berupa batas waktu dan selisih ambang batas tidak selalu mengikat sehingga bisa dikesampingkan demi keadilan. Hal itu ditunjukkan dalam perselisihan hasil pilkada lalu, seperti dalam kasus Boven Digoel dan Sabu Raijua.
”Jika nantinya semua gugatan pasca-PSU tetap berlanjut, kami siap kembali menjadi pemberi keterangan,” katanya. (IQBAL BASYARI)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/05/03/batasi-ruang-lingkup-pemeriksaan-sengketa-pilkada/