Maret 19, 2024
iden
Print

Benahi Pelibatan Politik Publik

Indikator partisipasi politik dalam indeks demokrasi, tahun 2019, yang dirilis The Economist Intelligence Unit, menurun. Turunnya partisipasi politik sebagai salah satu penentu kualitas demokrasi ini perlu diatasi pemangku kepentingan lewat perbaikan pelibatan publik pada pembuatan kebijakan atau regulasi.

Indeks demokrasi yang dirilis pada Rabu (22/1/2020) itu mengukur lima indikator, yakni proses elektoral dan pluralisme; kebebasan sipil, keberfungsian pemerintah; partisipasi politik; dan budaya politik. Dalam tiga indikator, yakni kebebasan sipil, keberfungsian pemerintah, dan budaya politik, skor Indonesia stagnan. Adapun satu skor, yakni proses elektoral dan pluralisme, Indonesia menunjukkan perkembangan positif dibandingkan pada tahun sebelumnya.

Di indeks demokrasi The Economist Intelligence Unit (EIU) 2019, Indonesia menempati ranking ke-64 dari 167 negara yang dikaji, atau naik dari tahun sebelumnya, ke-65 (2018) dan ke-68 (2017). Skor keseluruhan dari lima indikator naik tipis, yakni dari 6,39 (2017 dan 2018) menjadi 6,48 (2019).

“Di indeks demokrasi The Economist Intelligence Unit (EIU) 2019, Indonesia menempati ranking ke-64 dari 167 negara yang dikaji, atau naik dari tahun sebelumnya, ke-65 (2018) dan ke-68 (2017)”

Di Asia Tenggara, Indonesia tertinggal dari Malaysia (skor 7,16) di peringkat ke-43. Dari skala 0-10, semakin besar skor, semakin baik indikatornya. Dengan capaian nilai tersebut, Indonesia belum masuk ke dalam negara demokrasi sepenuhnya (skor 8-10), tetapi baru masuk pada negara demokrasi dengan kekurangan (flawed democracy).

Skor proses elektoral dan pluralisme naik signifikan menjadi 7,92 dari sebelumnya stagnan pada skor 6,92 (2017 dan 2018). Sementara itu, stagnansi skor tahun 2019 terjadi pada indikator keberfungsian pemerintah (7,14), budaya politik (5,63), dan kebebasan sipil (5,59). Penurunan skor terjadi pada partisipasi politik yang sebelumnya stagnan pada angka 6,67 (2017 dan 2018), menjadi 6,11 (2019).

Terkait dengan hal tersebut, laporan EIU juga memberi catatan untuk Indonesia mengenai adanya upaya sejumlah politikus senior Indonesia untuk menghapus pemilihan secara langsung.

”Langkah mundur itu akan melemahkan sistem pemilihan di Indonesia, menggantikan pemilihan yang kompetitif dengan tingkat partisipasi tinggi, dengan prosedur buram,” ungkap laporan EIU Democracy Index 2019.

Belum optimal

Guru Besar Ilmu Perbandingan Politik Universitas Airlangga Surabaya Ramlan Surbakti, di Jakarta, mengatakan, partisipasi politik turun antara lain dipicu belum optimalnya pelibatan publik secara luas dalam pembuatan kebijakan atau regulasi. Partisipasi politik tak semata-mata ditentukan oleh partisipasi pemilih di pemilu. Adapun pada Pemilu 2019, tingkat partisipasi pemilih sekitar 81 persen.

Pelibatan publik dalam pembuatan kebijakan, menurut Ramlan, turut dipengaruhi oleh kinerja partai politik (parpol) dalam menyerap aspirasi masyarakat. Demikian halnya kerja-kerja di lembaga perwakilan dalam pelibatan masyarakat. Di sisi lain, internal parpol juga harus lebih banyak mendengarkan masukan anggota dan tidak semata-mata menyerahkan setiap putusan kepada pimpinan parpol. Demokratisasi di internal parpol juga merefleksikan pelibatan publik di dalam proses demokrasi dan pengambilan kebijakan.

”Kinerja parpol dan lembaga perwakilan dalam menyerap aspirasi publik harus dibenahi. Sebab, pelibatan publik dalam pembuatan kebijakan penting,” katanya.

”Kinerja parpol dan lembaga perwakilan dalam menyerap aspirasi publik harus dibenahi. Sebab, pelibatan publik dalam pembuatan kebijakan penting”

Penasihat Kemitraan (Partnership for Government Reform) Wahidah Syuaib menambahkan, harus dilakukan evaluasi terhadap mekanisme pelibatan publik di DPR dan pemerintah. ”Apakah selama ini RDPU (rapat dengar pendapat umum) oleh DPR itu benar-benar mengakomodasi masukan masyarakat, dan bagaimana mekanisme itu dibuat agar publik lebih terlibat dalam pembuatan kebijakan.

Catatan positif

Dalam pelaksanaan pemilu, Wahidah mencatat ada perkembangan positif dari tahun ke tahun. Hal itu pula yang dinilai ikut mendorong kenaikan dalam indikator proses elektoral yang dicatat di dalam indeks demokrasi EIU. Pemilu 2019 dengan segala kekurangannya dinilai relatif berhasil sebagai pemilu serentak pertama. Namun, evaluasi dan perbaikan perlu terus dilakukan guna meningkatkan kualitas pemilu.

”Regulasi pemilu saat ini juga lebih mewadahi hak-hak publik secara lebih setara, termasuk dengan adanya pengaturan bagi kelompok disabilitas. Jadi, dari sisi regulasi elektoral juga terus membaik,” katanya.

Sementara itu, rendahnya kualitas kebebasan sipil, menurut Ramlan, antara lain dipicu maraknya politik identitas di dalam kontestasi politik. Pendidikan politik perlu terus dilakukan oleh kelompok elite dan parpol dalam menumbuhkan kesadaran politik yang lebih egaliter, dan tidak diskriminatif.

Menanggapi capaian positif dalam proses elektoral pada indeks demokrasi EIU, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, hal itu merupakan kerja bersama para penyelenggara pemilu. KPU sebagai salah satu penyelenggara pemilu berusaha meningkatkan transparansi elektoral dengan berbagai sarana. Dengan demikian, akuntabilitas penyelenggara bisa lebih terjamin, karena publik bisa kapan pun mengakses informasi mengenai pemilu. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di Harian Kompas. https://kompas.id/baca/utama/2020/01/23/benahi-pelibatan-politik-publik/