Keyakinan masyarakat terhadap dampak positif revisi UU Pemilu terekam dari hasil jajak pendapat Kompas awal bulan ini. Hampir 60 persen responden jajak pendapat meyakini upaya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu.
Salah satu isu yang turut memengaruhi persepsi publik akhir-akhir ini adalah terkait keserentakan antara pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah di tahun 2024 jika revisi UU Pemilu tidak jadi dilakukan. Beban kinerja penyelenggara di Pemilu 2019 yang begitu berat dengan penggabungan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif menjadi memori yang menghantui publik jika Pemilu 2024 bebannya ditambah dengan pelaksanaan pilkada.
UU No 7/2017 tentang Pemilu dan UU No 10/2016 tentang Pilkada membuat pada 2024 pilkada digelar hanya berselisih sekitar tujuh bulan. Ini bermakna ada tahapan pilkada dan pemilu yang berimpitan. Revisi UU Pemilu semestinya menjadi momentum mengurangi beban penyelenggara dengan mengubah pola keserentakan pemilu dan pilkada.
Rancangan perubahan UU Pemilu awalnya diusulkan oleh DPR pada 17 Desember 2019. RUU Pemilu disepakati DPR dan pemerintah masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Hingga 10 Februari 2021, RUU ini berstatus harmonisasi di Badan Legislasi atau separuh jalan dalam proses penyusunan. Namun, pembahasannya terhenti karena mayoritas fraksi berubah sikap.
Partai yang menarik dukungannya terhadap revisi UU Pemilu berpendapat bahwa pembahasan RUU perlu ditunda demi mendukung pemerintah fokus menghadapi pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Sementara pihak yang mendorong revisi berlanjut berargumen, revisi dinilai mendesak untuk evaluasi pemilu sebelumnya dan untuk memperkuat sendi-sendi penyokong pemilu mendatang.
Tarik-menarik soal revisi ini juga tergambar dari sikap publik. Separuh lebih responden meyakini revisi UU Pemilu akan meningkatkan kualitas pemilu. Tidak hanya itu, separuh lebih responden juga meyakini revisi UU Pemilu akan meningkatkan kualitas peserta pemilu dan partisipasi pemilih. Meskipun demikian, sikap ini juga dibayangi pendapat responden lain yang menyatakan sebaliknya.
Dipisah
Hasil jajak pendapat Kompas juga merekam sebagian besar responden menginginkan adanya pemisahan antara pemilu dan pilkada. Dari kelompok responden ini, separuh di antaranya (50,6 persen) menginginkan adanya pemisahan antara pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan pilkada.
Sebagian responden lainnya (29,2 persen) lebih melihat urgensi penyatuan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, tetapi untuk pilkada dibuat tetap terpisah. Sementara 14,8 persen responden tetap cenderung mendukung skenario tanpa revisi UU Pemilu. Artinya, kelompok responden terakhir ini tetap menginginkan pemilu dan pilkada digelar di 2024.
Sikap yang cenderung memilih pemisahan pemilu dan pilkada ini tergambar hampir merata dari seluruh latar belakang pilihan politik responden. Baik kelompok responden pemilih partai pendukung pemerintah maupun responden pemilih partai politik di luar pemerintah sama-sama lebih banyak yang berharap ada pemisahan antara pemilihan tingkat nasional dan pilkada.
Di responden pemilih Partai Gerindra, 56 persen lebih memilih pemisahan pemilu nasional dan pilkada. Hal yang sama ditemui dari kelompok responden pemilih Partai Demokrat yang mencapai 64,3 persen. Sementara itu, responden pemilih PDI-P cenderung terbelah meskipun kecenderungan responden yang memilih pemilu dan pilkada di tahun terpisah tetap lebih dominan.
Berpijak dari sikap responden berdasarkan pilihan politiknya ini, terlihat sikap sebagian besar fraksi di DPR yang cenderung menghentikan revisi UU Pemilu tak sejalan dengan sikap konstituen mereka.
Perbaikan
Publik lebih berharap revisi UU Pemilu melahirkan perbaikan, tak hanya bagi penyelenggaraannya, tetapi juga pada kontestasinya. Pelaksanaan pemilu dan pilkada di tahun yang sama dikhawatirkan membuat pemilih bingung karena di satu saat akan berhadapan dengan lima surat suara pemilu nasional, yakni pilpres, DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta beberapa bulan kemudian surat suara pilkada kabupaten/kota dan pilkada gubernur.
Di sisi lain, revisi UU Pemilu tidak hanya melahirkan potensi perubahan soal desain keserentakan, tetapi juga membuka peluang perbaikan di sejumlah isu.
Sebut saja isu soal ambang batas parlemen, kewajiban calon presiden sebagai anggota parpol, dan wacana masuknya parpol dalam jajaran komisioner KPU yang sempat jadi polemik. Di isu ambang batas parlemen, sebagian besar responden setuju jika ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 5 persen dari sebelumnya 4 persen. Ada kecenderungan responden lebih memilih tidak banyak partai yang ada di parlemen.
Respons yang hampir sama juga ditunjukkan responden terhadap isu syarat minimal pendidikan sarjana dan keharusan menjadi anggota parpol bagi calon presiden dan wakil presiden. Sebagian besar responden mengamini syarat ini sebagai upaya untuk melahirkan kepemimpinan nasional yang berkualitas.
Namun, untuk wacana anggota parpol bisa menjadi penyelenggara pemilu, responden meresponsnya secara negatif.
Sebanyak 66,9 persen responden tidak menyetujuinya. Pengalaman Pemilu 1999 tatkala anggota KPU berasal dari parpol yang justru melahirkan instabilitas dalam penyelenggaraan pemilu boleh jadi menjadi memori kelam yang membuat publik cenderung menolak anggota partai menjadi penyelenggara pemilu.
Terlepas jadi tidaknya revisi UU Pemilu, pemerintah dan DPR tetap punya tanggung jawab untuk memberikan jaminan kepada publik bahwa pemilu lima tahun ke depan tidak akan menjadi beban terlalu berat bagi penyelenggara dan akan lebih memudahkan bagi pemilih. Tentu, semua itu ditujukan demi meningkatkan kualitas pemilu. (ARITA NUGRAHENI/LITBANG KOMPAS)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 15 Februari 2021 di halaman 3 dengan judul “Berharap Pemilu Lebih Berkualitas”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/02/15/berharap-pemilu-lebih-berkualitas/