Maret 19, 2024
iden

Bertaruh Nyawa di Pilkada

Perhelatan Pemilihan Kepala Daerah 2020 di tengah pandemi Covid-19 terus memantik kekhawatiran. Kluster penularan Covid-19 dalam proses pemilihan mulai bermunculan. Jumlah petugas pemilihan dan calon peserta pemilu yang terpapar Covid-19 terus bertambah.

Kekhawatiran itu berlipat ketika jumlah yang terpapar Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Bahkan, Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat, penambahan kasus harian Covid-19 di Indonesia pada Rabu (16/9/2020) mencapai 3.963 orang atau rekor tertinggi sejak kasus pertama ditemukan Maret lalu. Kasus meninggal dalam satu pekan terakhir juga mengalami kenaikan hingga 2,2 persen.

Anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Di Pusaran Pandemi, Pilkada Ditunda?” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (16/9), mengatakan, jika penambahan kasus harian Covid-19 konsisten di 4.000 orang, maka kasus pasien positif Covid-19 di Desember 2020 diperkirakan bisa 600.000 sampai 1 juta orang. Itu belum jika ditambah faktor pilkada.

”Dari perspektif kesehatan, sangat tidak memungkinkan (pilkada dilanjutkan). Kalau proses pilkada membuat semacam ledakan (kasus pasien positif Covid-19) potensi transmisi kasus, maka dalam waktu yang bersamaan, health system capacity (kapasitas pelayanan kesehatan) kita juga tak akan siap”

”Dari perspektif kesehatan, sangat tidak memungkinkan (pilkada dilanjutkan). Kalau proses pilkada membuat semacam ledakan (kasus pasien positif Covid-19) potensi transmisi kasus, maka dalam waktu yang bersamaan, health system capacity (kapasitas pelayanan kesehatan) kita juga tak akan siap,” ujar Hermawan.

Dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, hadir pula Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman dan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera. Adapun narasumber lainnya tersambung melalui telekonferensi video. Selain Hermawan, mereka adalah Staf Khusus Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Kastorius Sinaga dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Khoirunnisa Nur Agustyati.

Pelanggaran protokol

Potensi ledakan kasus akibat gelaran Pilkada 2020, seperti disampaikan Hermawan, bukan mustahil bakal terjadi.  Terlebih jika melihat yang terjadi ketika tahapan pendaftaran calon kepala-wakil kepala daerah, 4-6 September lalu. Protokol kesehatan diabaikan saat massa pendukung bakal calon menyertai jagoan mereka mendaftar ke kantor KPU.

Pelanggaran protokol itu pun dibiarkan begitu saja oleh pihak-pihak berwenang.

Ditambah lagi, sejumlah bakal calon yang hadir saat pendaftaran, belakangan diketahui telah terpapar Covid-19. Di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pegawai KPU Agam beserta Bawaslu Agam diketahui positif Covid-19 setelah pelacakan kontak erat terhadap dua bakal calon bupati Agam yang positif Covid-19 seusai mendaftar ke KPU Agam.

Di luar kedua bakal calon tersebut, data terakhir KPU menyebutkan, ada 61 bakal calon lain yang juga positif Covid-19. Mereka memang langsung diisolasi setelah diketahui positif. Namun sebelum virus itu terdeteksi, mereka pasti berkomunikasi dengan banyak orang sehingga berpotensi pula menularkan Covid-19.

Hermawan pun mengingatkan kalau Indonesia belum melewati puncak pandemi. ”Ini berkaitan dengan kualitas demokrasi. Ada harga yang mahal dalam penyelenggaran demokrasi di tengah pandemi. Maka seberapa pun harga, kalau kita ingin memberikan harga secara nominal operasional politik, tetapi patut diingat juga ada harga kesehatan yang harus dihitung sebagai investasi kita menyangkut hak dasar warga negara,” ujar Hermawan.

Terhambat aturan

Khoirunnisa mengatakan, keputusan melanjutkan pilkada di tengah pandemi Covid-19 merupakan pilihan politik yang telah diambil pemerintah melalui Kemendagri, KPU, dan Komisi II DPR. Keputusan itu juga mendapatkan lampu hijau dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tetapi dengan syarat protokol kesehatan dipatuhi.

Oleh karena itu, beban penyelenggaraan pemilu di tengah pandemi tak bisa hanya ditujukan kepada KPU, tetapi juga seluruh pihak tersebut.

”Tidak boleh masing-masing bekerja sendiri. Orkestratornya adalah Presiden Jokowi karena semuanya tidak bisa berkoordinasi langsung, harus tunduk dalam hierarki tertinggi. Tanpa orkestrasi, 9 Desember jadi horor buat kita bersama”

Apalagi KPU, dan juga Bawaslu, ruangnya terbatas dalam menindak pelanggar protokol kesehatan karena tidak disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 ataupun UU No 6/2020 yang mengatur tentang Pilkada.

Dengan kesulitan yang dihadapi itu, Mardani Ali Sera menilai kunci keberhasilan pilkada di tengah pandemi ini ada pada Presiden Joko Widodo. Presiden sebagai pemimpin negara harus mengorkestrasi semua pihak.

”Tidak boleh masing-masing bekerja sendiri. Orkestratornya adalah Presiden Jokowi karena semuanya tidak bisa berkoordinasi langsung, harus tunduk dalam hierarki tertinggi. Tanpa orkestrasi, 9 Desember jadi horor buat kita bersama,” ujar Mardani.

Jika orkestrasi ini tak kunjung terwujud, kemudian kepatuhan terhadap protokol kesehatan masih rendah, plus eskalasi kasus pasien positif Covid-19 kian tinggi, ia mendesak pilkada ditunda. Opsi  penundaan ditekankannya telah dibuka melalui UU No 6/2020.

Desakan penundaan ini pula yang telah disuarakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, sejumlah kelompok masyarakat sipil, dan puluhan ribu orang yang menandatangani petisi berjudul ”Keselamatan dan Kesehatan Publik Terancam, Tunda Pilkada ke 2021” di situs change.org.

Terkait permintaan penundaan itu, Arief menyatakan, hingga kini penundaan belum perlu. Ia optimistis setiap tahapan pilkada masih bisa berjalan dengan baik dengan pengetatan protokol kesehatan. Namun, keputusan itu bisa saja berubah sesuai dengan perkembangan pandemi.

”Kalau nanti, saya akan mempertimbangkan dengan pandangan-pandangan dari Pak Hermawan. Regulasi membuka ruangnya,” katanya.

”Kalau orkestrasi bisa kita laksanakan dengan ketegasan di lapangan, maka akan kita lewati dengan baik pilkada ini sebagaimana juga pengalaman di negara-negara lain dan dua tahapan pilkada sebelumnya”

Kastorius Sinaga pun mengatakan, pemerintah masih optimistis pilkada bisa berjalan lancar apabila diikuti dengan aturan protokol kesehatan yang ketat. Itu tentunya dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas.

”Kalau orkestrasi bisa kita laksanakan dengan ketegasan di lapangan, maka akan kita lewati dengan baik pilkada ini sebagaimana juga pengalaman di negara-negara lain dan dua tahapan pilkada sebelumnya,” ujar Kastorius.

Belum lepas dari ingatan, ketika ratusan nyawa melayang karena keletihan saat bertugas dalam Pemilu 2019. Publik tentu tak mengharapkan tragedi itu terulang di Pilkada 2020 karena Covid-19. (NIKOLAUS HARBOWO)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 September 2020 di halaman 3 dengan judul “Bertaruh Nyawa di Pilkada”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/09/18/bertaruh-nyawa-di-pilkada/