Dalam rapat rengar pendapat di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dibicarakan mengenai pemberian jaminan bagi penyelenggara pemilu adhoc melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ketenagakerjaan. Asuransi ini dinilai Komisi II wajib diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sebab Undang-Undang (UU) tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan agar setiap pihak yang mempekerjakan tenaga kerja wajib mengasuransikan tenaga kerjanya.
“Tenaga kerja itu amanat UU. Semua pihak yang mempekerjakan, harus mengasuransikan. Nah, KPU dan Bawaslu ini lembaga negara, maka negara harus mengasuransikan,” kata Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nihayatul Wafiroh, di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan (9/1).
Penyelenggara pemilu, khususnya KPU, menerima permintaan Komisi II. Namun, KPU menjelaskan bahwa pihaknya tak memiliki anggaran untuk membiayai BPJS ketenagakerjaan kepada seluruh penyelenggara adhoc di bawah jajaran KPU.
“Kami tentu senang, dan sejak awal kami berharap petugas kamu di lapangan dilindungi kesehatannya, jiwanya. Tetapi, Sekjen (sekretaris jenderal KPU) sudah pernah membahas ini bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Waktu itu tidak ada kesepakatan karena keterbatasan anggaran,” jelas Arief.
Komisi II tak menghiraukan alasan keterbatasan anggaran. Nihayatul, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuanagan (PDIP), Sirmadji, serta Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat, Herman Khaeron, meyakini KPU dapat mendesak Kemenkeu untuk membiayai BPJS ketenagakerjaan bagi penyelenggara pemilu adhoc.
“BPJS ketenagakerjaan itu uangnya banyak. Kementerian Keuangan juga mungkin punya anggaran cadangan. KPU dan Bawaslu carilah alasan masuk akal yang tidak menyalahi aturan hukum untuk ini. Koordinasi dengan Kemenkeu!” pinta Nihayatul.