Maret 19, 2024
iden

Butuh Perppu Agar Penundaan Pilkada Tak Melanggar Undang-undang

Presiden Joko Widodo harus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk menunda Pilkada 2020 karena pandemik Coronavirus desaise (Covid-19). Tanpa Perppu ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak bisa menunda penyelenggaraan transisi pemerintahan di 270 daerah. UU Pilkada mengunci pungut hitung Pilkada 2020 pada September dan tak memberikan kewenangan KPU pusat menundanya.

“Perppu ini penting bagi KPU untuk menjadi landasan hukum yang kuat dalam menerbitkan keputusan untuk menunda seluruh tahapan Pilkada 2020. Penundaan Pilkada 2020 mesti menjadi prioritas, karena wabah Covid-19 semakin meluas, dan terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia,” kata direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini melalui siaran pers di Jakarta (27/3).

Sebelumnya, KPU sudah menghimbau penundaan beberapa tahapan Pilkada 2020 karena wabah Covid-19 melalui keputusan dan surat edaran ke KPU provinsi dan kabupaten/kota penyelenggara pilkada. Tetapi, upaya ini tak bisa menjamin penundaan pilkada di 270 daerah karena KPU pusat tak berwenang.

UU Pilkada hanya mengatur ketentuan penundaan pilkada secara parsial. Selain Pasal 201 ayat (6) UU 10/2016 mengunci pungut hitung pada September 2020, istilah Pemilihan Lanjutan dan Pemilihan Susulan sebagaimana diatur dalam Pasal 120 dan Pasal 121 UU 1/2015 pun tak mampu memberikan landasan hukum bagi penundaan pilkada secara nasional, melainkan daerah per daerah terbatas pada wilayah yang mengalami kondisi luar biasa (force majeur), serta harus dilakukan secara bottom up process, berjenjang dari bawah ke atas.

Penundaan Pilkada 2020 seharusnya tak hanya dihitung daerah per daerah tapi juga harus dilihat dalam skala keserentakan pilkada. Maka kebijakan yang dibuat harus dengan pendekatan nasional, bukan parsial daerah per daerah.

Perludem menekankan ada empat hal yang harus dilakukan KPU berkaitan dengan Perppu dari Presiden. Satu, segera membuat simulasi komprehensif dampak penundaan terhadap keberlanjutan agenda demokrasi 270 daerah penyelenggara pilkada. Dua, bisa memasukan subtansi implikasi teknis tahapan, jadwal, anggaran, status penyelenggara ad hoc, serta pengisian masa jabatan kepala daerah dalam Perppu. Tiga, segera berkoordinasi dengan Pemerintah dan DPR untuk menjelaskan simulasi penundaan Pilkada 2020. Empat, sosialisasi bersama Pemerintah secara komprehensif dan massif kepada publik terkait penundaan pilkada.

Anggota KPU 2012-2017, Hadar Nafis Gumay menjelaskan, KPU sebagai penanggungjawab akhir penyelenggara pilkada harus menunjukan penting dan gentingnya penundaan ini ke semua pihak, termasuk Presiden. Menurut aktivis Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) ini, Pandemik Covid-19 bukan hanya ancaman sebagian daerah berpilkada saja tapi juga ancaman nasional.

“Yang terancam bukan hanya kesehatan fisik tapi juga nyawa warga negara. Konstitusi menjamin kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilu. Konstitusi pun menjamin perlindungan warga negara,” tegas Hadar.

Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari menjelaskan, keadaan pandemik Covid-19 ini cukup untuk disimpulkan sebagai keadaan darurat. Bagi Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (Pusako) ini, keadaan darurat ini penting dimaknai Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan ini untuk menggunakan otoritasnya.

Keadaan dan semua kejadian di konteks Pilkada 2020 itu sudah memenuhi alasan Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu. UUD 1945 menjamin kewenangan tinggi Presiden ini melalui Pasal 22 Ayat (1) mengenai “hal ihwal kegentingan memaksa” sebagai syarat mengeluarkan Perppu.

Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 pun merinci makna “hal ihwal kegentingan memaksa” itu. “…..Perppu diperlukan apabila: 1. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; 2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; 3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UndangUndang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;”. []

USEP HASAN SADIKIN