Wacana penataan sistem politik yang diangkat pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat banyak menyoroti persoalan politik uang dan politik berbiaya tinggi. Namun, alih-alih membenahi akar persoalan, solusi yang disodorkan para elite adalah jalan pintas perubahan sistem. Solusi itu tidak menghilangkan politik uang, hanya memudahkannya bagi para elite.
Dua penataan sistem yang sedang digaungkan oleh pemerintah dan partai politik pendukungnya adalah mengembalikan dua sistem dalam pemilihan yang sudah usang, yakni sistem pemilihan legislatif proporsional tertutup dan sistem pemilihan kepala daerah tidak langsung oleh DPRD. Keduanya sudah berhenti digunakan sejak 15 tahun yang lalu pasca reformasi.
Pertimbangan untuk mengubah sistem pemilihan yang dinilai menggerus peran rakyat dalam demokrasi itu didorong dengan semangat pasca tumbangnya Orde Baru. Saat itu, kedaulatan rakyat sedang berada di titik tertinggi setelah gerakan mahasiswa berhasil menggulingkan 32 tahun kekuasaan tirani Soeharto.
Kini, di tengah menguatnya dominasi elite dan partai dalam kehidupan berdemokrasi, sistem itu kembali mau dihidupkan. Usulannya pun tidak main-main.
Gagasan sistem proporsional tertutup dilembagakan lewat rekomendasi forum Rapat Kerja Nasional PDI-Perjuangan dan Musyawarah Nasional Partai Golkar. Dua partai dengan kursi terbanyak di DPR itu tengah melobi fraksi lain untuk mendukung usulannya.
Sementara, usulan mengevaluasi sistem pilkada langsung disuarakan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian lewat konsep pilkada asimetris. Artinya, disesuaikan dengan karakteristik daerahnya, akan ada daerah yang kepala daerahnya langsung dipilih oleh rakyat, dan ada yang akan dipilih oleh perwakilan partai di DPRD.
Untuk menyeriusi usulan itu, dalam rangka bertukar gagasan tentang penataan sistem politik, Tito mengundang sekretaris jenderal sembilan partai politik di DPR ke Kantor Kemendagri, Jakarta, pada 8 Januari 2020 lalu. Satu hal yang mencuat dari pertemuan itu adalah kesepakatan informal pemerintah dan partai-partai itu untuk mengkaji ulang pilkada langsung.
Alasan utama yang dipakai adalah masalah politik berbiaya tinggi dan praktik politik uang. Sistem pemilu proporsional terbuka yang mana calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat dinilai menghabiskan biaya kampanye yang mahal serta membuka celah politik uang ke masyarakat. Argumentasi yang sama juga dipakai untuk sistem pilkada tak langsung.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity Hadar Nafis Gumay mengatakan, alih-alih menjadi solusi, kedua model sistem pemilihan itu menghilangkan kedaulatan dan hak rakyat untuk secara langsung ikut menentukan wakilnya di legislatif dan kepala daerahnya.
Bukan kader partai
Persoalan demokrasi berbiaya mahal dan maraknya politik uang, tutur Hadar, bukan berakar dari sistem. Beberapa penyebab demokrasi berbiaya mahal dan berujung korupsi politik adalah lemahnya kaderisasi dan rekrutmen di internal partai yang berujung pada kegagalan partai menjaring calon yang berkualitas.
Data Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia pada 2014 menunjukan, hanya 33 persen kandidat caleg yang merupakan kader asli partai. Setengah dari total caleg saat itu atau 3.241 orang dari total 6.607 orang berasal dari luar partai dan berlatar belakang pengusaha. Mereka baru masuk sebagai anggota partai menjelang pemilu.
Muncul calon-calon instan yang mengandalkan uang sebagai jalan keluar mendapat suara sebanyak-banyaknya, baik lewat biaya kampanye yang mahal atau lewat serangan fajar politik uang ke masyarakat pemilih
Akibatnya, muncul calon-calon instan yang mengandalkan uang sebagai jalan keluar mendapat suara sebanyak-banyaknya, baik lewat biaya kampanye yang mahal atau lewat serangan fajar politik uang ke masyarakat pemilih. Pembenahan yang lebih tepat adalah menjamin proses rekrutmen di internal partai yang lebih transparan dan akuntabel lewat revisi UU Partai Politik.
Persoalan lainnya, ujar Hadar, adalah sistem pengawasan dan penegakan hukum pemilu yang lemah, serta longgarnya pengaturan dan pertanggungjawaban dana kampanye.
UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tidak mencantumkan pembatasan dana belanja kampanye. UU mengatur pembatasan penerimaan sumbangan dari pihak luar, tetapi tidak membatasi sumbangan pribadi calon. Dengan belanja kampanye yang tidak dibatasi, muncul ruang kontestasi yang berbiaya mahal dan maraknya praktik politik uang.
Pengaturan untuk memberantas politik uang di UU Pemilu juga masih lemah. Dibandingkan UU Pilkada, dalam UU Pemilu, hanya pihak pemberi yang bisa dikenakan pidana praktik politik uang. Sementara, dalam UU Pilkada, subyeknya adalah siapa pun yang melakukan politik uang, bisa pemberi maupun penerima.
Di tengah buruknya pendidikan politik di tengah masyarakat, dibutuhkan aturan yang kuat untuk menjerat masyarakat sebagai penerima politik uang. Ketegasan penegakan hukum politik uang itu bisa mendorong terbentuknya budaya masyarakat yang tidak lagi permisif terhadap politik uang.
“Jadi, sistem proporsional tertutup bukan menjadi solusi. Permasalahan yang kita hadapi tidak langsung terkait dengan sistem pemilu. Satu-satunya hal yang dijamin dengan perubahan sistem menjadi sentralistis ini adalah dominasi pengurus partai yang semakin kuat dan lemahnya akuntabilitas wakil rakyat ke masyarakat konstituennya,” kata Hadar.
Hadar mengatakan, dengan sistem proporsional tertutup, uang yang sebelumnya digelontorkan ke masyarakat hanya akan berpindah ke tangan elite pengurus partai demi ‘membeli’ dukungan saat penentuan nomor urut caleg.
Pada akhirnya, perubahan sistem pemilu dan pilkada tidak mengeliminasi politik uang, tetapi justru membuat praktik politik uang itu lebih mudah dan murah dilakukan oleh para elite. Distribusi uang yang tidak terlalu luas dan jaminan kemenangan lewat negosiasi sesama elite lebih bisa dikunci dibandingkan menggelontorkan uang ke rakyat tanpa jaminan dipilih.
Ini sejalan dengan penelitian doktoral yang dilakukan Burhannuddin Muhtadi berjudul “Buying Votes in Indonesia: Partisans, Personal Networks, and Winning Margins” tahun 2018 yang menunjukkan, dampak dari politik uang terhadap kemenangan caleg tidak terlalu signifikan. Kenyataannya, politik uang hanya memengaruhi sekitar 11 persen dari total hasil suara.
“Dengan sistem tertutup, uang hanya sekadar pindah dari tangan pemilih ke pengurus partai. Untuk membeli suara rakyat mesti disediakan amplop dalam jumlah banyak, sedangkan untuk membeli pengurus partai, cukup dengan beberapa lembar saja,” kata Hadar.
Catatan arsip Kompas menunjukkan, saat sistem proporsional tertutup diterapkan pada Pemilu 1999, praktik politik uang sebenarnya juga sudah menjamur. Laporan Kompas pada 26 Februari 1999 mencatat, partai yang saat itu ditengarai paling banyak melakukan praktik politik uang adalah Golkar sebagai partai penguasa. Pengusaha yang juga salah satu penasihat Golkar, AA Baramuli, setiap kali bepergian ke daerah selalu disertai dengan upacara bagi-bagi uang. Uang yang ia gelontorkan bisa mencapai Rp 253 juta untuk satu daerah.
Laporan lain pada 10 Juni 1999 mencatat, Panitia Pengawas Pemilu DI Yogyakarta menemukan bukti bahwa PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Daulat Rakyat (PDR), melakukan pelanggaran menjelang dan pada saat pemilu. Golkar saat itu terbukti membagi uang ke desa-desa di Sleman.
Laporan lain pada 19 Februari 1999 bertajuk “Ketua Golkar DKI: Mari Berlomba dalam Money Politics” bahkan mencatat pernyataan Ketua DPD Golkar DKI Jakarta Tadjus Sobirin bahwa partai lebih baik berlomba menyogok rakyat. Ia menyarankan politik uang dijalankan untuk “kebajikan”.Mengutip pemberitaan Kompas saat itu, Tadjus Sobirin mengatakan, “Daripada menyogok oknum pejabat, lebih baik menyogok rakyat”.
Ditentang
Kembalinya sistem proporsional tertutup ditentang oleh sejumlah fraksi di DPR. Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Jazuli Juwaini mengatakan, sistem pemilu proporsional terbuka sudah paling tepat mencerminkan demokrasi.
“Pemilu itu kan mencari suara rakyat, jangan nanti suara rakyat itu terpatahkan oleh kepentingan politik. Yang lebih mencerminkan representasi demokrasi itu ya suara terbanyak, bukan nomor urut,” kata Jazuli.
Sementara itu, Ketua DPP Partai Nasdem Saan Mustopa menilai, sistem proporsional tertutup tidak menjawab tuntas persoalan yang muncul dari sistem proporsional terbuka. Ia mengatakan, politik uang akan tetap marak muncul meskipun sistem berganti. Bedanya, dalam sistem proporsional terbuka uang digelontorkan oleh caleg ke pemilih, sedangkan dalam sistem tertutup uang mengalir dari partai ke pemilih atau dari caleg ke pengurus partai.
Lebih lanjut, ia mengatakan, sistem proporsional terbuka adalah pilihan terbaik karena di dalamnya peran partai maupun rakyat tetap terakomodasi. Partai tetap berperan dalam penentuan nama-nama serta nomor urut caleg yang diusung. Sedangkan, rakyat tetap berperan menentukan sendiri wakilnya di parlemen.
“Istilahnya ini sudah win–win, dua kepentingan sudah terwakili sekaligus dalam satu sistem. Untuk apa diubah lagi?” ucapnya. (AGNES THEODORA)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/utama/2020/01/15/wahyu-setiawan-bantah-perjuangkan-permohonan-paw-pdi-p-2/