2024 menjadi tahun dengan agenda politik kolosal bagi Indonesia. Betapa tidak, meski berbeda bulan, pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada diselenggarakan dalam satu tahun yang sama. Pemilu serentak legislatif dan presiden pada 14 Februari 2024, dengan 204 juta lebih pemilih terdaftar, tercatat sebagai pemilu serentak satu hari terbesar di dunia. Selanjutnya, pada 27 November 2024, akan kembali diselenggarakan kegiatan akbar dalam satu hari yang sama berupa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) di 545 daerah untuk memilih 37 gubernur, 415 bupati, dan 93 walikota. Ini merupakan pilkada serentak nasional pertama setelah sebelumnya dilakukan penataan jadwal melalui empat gelombang pilkada pada 2015, 2017, 2018, dan 2020. Tercatat ada lebih dari 206 juta pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetap pilkada 2024.
Pilkada serentak nasional tahun 2024 merupakan pilkada kelima dalam sejarah elektoral Indonesia yang menyertakan kolom atau kotak kosong tidak bergambar di dalam surat suara sebagai pilihan sah bagi pemilih pada pilkada bercalon tunggal. Pilkada dengan calon tunggal versus kotak kosong pertama kali terjadi pada pilkada serentak tahun 2015 dan terus berlanjut pada pilkada serentak 2017, 2018, 2020, dan 2024. Pemilihan dengan calon tunggal dalam studi kepemiluan juga dikenal dengan istilah “uncontested election”, yaitu pemilihan di mana jumlah calon adalah sama atau lebih sedikit dari jumlah kursi yang diperebutkan dalam pemilihan.
Pada mulanya calon tunggal hadir di pilkada sebagai jawaban atas kebuntuan ketatanegaraan akibat politik sandera yang dimainkan oleh lawan-lawan politik petahana. Petahana yang sangat kuat membuat partai-partai yang menjadi kompetitor saling bersepakat untuk tidak mengusulkan pasangan calon (paslon) selama masa pendaftaran berlangsung. Akhirnya, petahana menjadi satu-satunya calon yang mendaftar untuk mengikuti pilkada. Harapannya, dengan hanya ada satu paslon yang mendaftar, maka pemilihan ditunda dan akan diselenggarakan kembali pada pemilihan serentak berikutnya. Dengan demikian, petahana bisa berkurang pengaruh politik maupun elektabilitasnya karena tidak lagi berstatus sebagai petahana saat pemilihan berikutnya berlangsung.
Hal itu tak lepas dari implikasi adanya pengaturan dalam UU No.8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang tidak memungkinkan dilaksanakannya pilkada apabila hanya diikuti oleh satu paslon saja. Ketika itu, jelang penyelenggaraan pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015, sejumlah daerah terancam tertunda pilkadanya sebagai konsekuensi adanya ketentuan dalam Pasal 54 ayat (5) Peraturan KPU No.12 Tahun 2015 yang menyebut bahwa “Dalam hal sampai dengan berakhirnya pembukaan kembali masa pendaftaran hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon atau tidak ada pasangan calon yang mendaftar, KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota menetapkan keputusan penundaan seluruh tahapan dan pemilihan diselenggarakan pada pemilihan serentak berikutnya.”
Ketentuan dalam Peraturan KPU 12/2015 tersebut merupakan turunan dari norma Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) serta Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU 8/2015 yang mensyaratkan pilkada diikuti oleh paling sedikit dua paslon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Artinya, apabila hanya ada satu paslon yang mendaftar, maka pilkada akan ditunda sampai dengan pemilihan serentak berikutnya yang dijadwalkan berlangsung pada Februari 2017.
Mekanisme Plebisit
Merespon situasi tersebut, Effendi Ghazali seorang akademisi, aktivis, dan seniman, lalu mengajukan uji materi atas pasal-pasal dalam UU 8/2015 dimaksud ke Mahkamah Konstitusi dan meminta agar pasal-pasal tersebut dinyatakan konstitusional bersyarat sejauh seluruh frasa yang bermakna “setidaknya dua pasangan calon” atau “paling sedikit dua pasangan calon” dapat diterima dalam bentuk atau pengertian “pasangan calon tunggal dengan kotak kosong yang ditampilkan pada kertas suara”. Ghazali juga meminta agar seluruh tahapan pilkada tetap dapat dilanjutkan serta jika pada hari pemungutan dan penghitungan suara ternyata paslon tunggal menang terhadap kotak kosong, maka paslon tunggal akan ditetapkan sebagai paslon terpilih. Sebaliknya, apabila paslon tunggal kalah terhadap kotak kosong, maka pilkada diulang atau ditunda sampai pada pemilihan selanjutnya.
Uji materi tersebut dikabulkan sebagian oleh MK melalui Putusan No.100/PUU-XIII/2015 yang dalam pertimbangan hukumnya menyebut sejumlah alasan sebagai dasar MK dalam membuat putusan. Pertama, MK menilai bahwa penundaan pemilihan ke pilkada serentak berikutnya telah menghilangkan hak rakyat untuk dipilih dan memilih pada pilkada serentak saat itu. Kedua, andai katapun penundaan demikian dapat dibenarkan, maka tetap tidak ada jaminan bahwa pada pilkada serentak berikutnya itu, hak rakyat untuk dipilih dan memilih akan dapat dipenuhi. Hal itu dikarenakan penyebab tidak dapat dipenuhinya hak rakyat untuk dipilih dan memilih itu tetap ada, yaitu ketentuan yang mempersyaratkan paling sedikit adanya dua paslon dalam kontestasi pilkada.
MK menyebut bahwa harus ditemukan cara agar hak konstitusional warga negara yang juga merupakan wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat, yakni berupa hak untuk dipilih dan memilih dalam pilkada, tetap terpenuhi tanpa tersandera oleh syarat paling sedikit adanya dua paslon yang mengikuti pilkada. Menurut MK, demi menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara, pilkada harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu paslon setelah sudah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk bisa mendapatkan paling sedikit dua paslon yang mengikuti kontestasi.
Akan tetapi, MK dalam putusannya tidak sependapat dengan permohonan Ghazali yang meminta MK untuk memaknai frasa “setidaknya dua paslon” atau “paling sedikit dua paslon” yang terdapat dalam seluruh pasal yang dimohonkan pengujian dapat diterima dalam bentuk atau pengertian: pasangan calon tunggal dengan kotak kosong yang ditampilkan pada kertas suara. Sebab, MK berpendirian pertama, pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon haruslah ditempatkan sebagai upaya terakhir, semata-mata demi memenuhi hak konstitusional warga negara, setelah sebelumnya diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk menemukan paling sedikit dua paslon. Kedua, pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah “Setuju” atau “Tidak Setuju” dengan pasangan calon tersebut, bukan dengan kotak kosong, sebagaimana dikonstruksikan oleh Ghazali dalam permohonannya.
Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Setuju”, maka pasangan calon dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Tidak Setuju”, maka pemilihan ditunda sampai pilkada serentak berikutnya. MK berpendapat penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara “Tidak Setuju” tersebut.
Mekanisme plebisit menurut MK lebih demokratis dibandingkan dengan menyatakan “menang secara aklamasi” tanpa meminta pendapat rakyat (pemilih) jika calon tidak memiliki pesaing. Hal itu sebagaimana dipraktikkan di sejumlah negara seperti Amerika Serikat (dalam pemilihan anggota House dan Senat), di Inggris, Kanada, Skotlandia (untuk pemilihan anggota parlemen), Islandia (untuk pemilihan Presiden), dan Singapura (untuk pemilihan presiden dan parlemen).
Setelah terbitnya Putusan MK No.100/PUU-XIII/2015 sebagai basis konstitusionalitas pilkada dengan hanya satu paslon, pilkada yang diikuti calon tunggal sungguh-sungguh terjadi. Dari 269 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak 2015, pilkada calon tunggal terjadi di tiga tempat, yaitu kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat; kabupaten Blitar, Jawa Timur; dan kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Pada saat itu masyarakat diminta untuk memilih “setuju” atau “tidak setuju” atas paslon tunggal yang ada. Jika lebih banyak yang mencoblos “setuju”, maka paslon tunggal menang. Di tiga kabupaten dengan paslon tunggal tersebut, semuanya terpilih alias lebih banyak yang mencoblos pilihan “setuju” di surat suara daripada opsi “tidak setuju”.
Paslon tunggal di tiga kabupaten yang mengikuti pilkada serentak 2015 semuanya berlatar belakang petahana bupati. Pada saat itu paslon tunggal didukung oleh sedikit partai saja. Di pilkada Tasikmalaya, paslon tunggal Uu Ruzhanul Ulum dan Ade Sugianto diusung oleh empat partai, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Paslon tunggal di pilkada kabupaten Blitar, Rijanto dan Marhaenis Urip Widodo diusung oleh dua partai, yakni PDIP dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Sedangkan di pilkada Kabupaten Timor Tengah Utara, paslon tunggal Raymundus Sau Fernandes dan Aloysius Kobes hanya diusung oleh satu partai, yaitu PDIP.
Kolom Kosong
Pada perkembangan selanjutnya, terjadi pergeseran dari sisi pengaturan maupun pola pencalonan dalam pilkada bercalon tunggal. Dari sisi pengaturan, pilkada serentak tahun 2015, sebagai pemilihan yang pertama kali mengintrodusir calon tunggal, menganut mekanisme plebisit sesuai isi Putusan MK No.100/PUU-XIII/2015. Melalui plebisit ini, pemilih mencoblos opsi “setuju” atau “tidak setuju” yang terdapat di dalam kertas suara. Setelah pilkada serentak tahun 2015, pembentuk undang-undang melakukan perubahan atas UU 8/2015 dengan mengesahkan UU No10 Tahun 2016. Dalam pengaturan UU 10/2016, mekanisme plebisit tidak lagi digunakan.
Plebisit diganti dengan model surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar. Pengaturan dalam UU 10/2016 ini hampir serupa dengan apa yang dimohonkan Effendi Ghazali di Mahkamah Konstitusi dalam perkara No.100/PUU-XIII/2015, yakni paslon tunggal versus kotak kosong yang ditampilkan pada kertas suara.
Pasal 54D UU 10/2016 juga mengatur bahwa KPU di daerah menetapkan paslon tunggal sebagai paslon terpilih, jika mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah. Dan dalam hal perolehan suara paslon tunggal kurang dari 50% plus satu, maka paslon tunggal yang kalah di pilkada masih boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya. Pemilihan berikutnya akan diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
Sedangkan dari sisi pola pencalonan, jika calon tunggal pada pilkada serentak 2015 dipilih sebagai solusi untuk mengatasi kebuntuan politik dan kekosongan hukum penyelenggaraan pilkada, dalam perkembangannya, calon tunggal menjadi pilihan pragmatis untuk mengamankan kemenangan paslon yang mayoritas tetap berlatar belakang petahana. Calon tunggal meningkat jumlahnya dari pilkada ke pilkada. Bila pilkada serentak 2015 hanya diikuti tiga paslon tunggal (1,16%), maka pilkada serentak 2017 jumlahnya meroket menjadi 9 paslon tunggal dari 101 daerah yang pilkada (8,91%). Naik lagi menjadi 16 calon tunggal dari 171 daerah yang mengikuti pilkada serentak 2018 (9,36%). Serta berjumlah 25 calon tunggal pada pilkada serentak 2020 yang terselenggara di tengah puncak Pandemi Covid-19 dan diikuti 270 daerah (9,26%).
Ada sejumlah penyebab mengapa calon tunggal makin “diminati” sebagai jalan pintas kemenangan pascapilkada serentak 2015. Pertama, paslon ingin mengamankan dan memastikan kemenangan sejak fase awal pencalonan. Calon menjadi semakin pragmatis dan berpandangan akan lebih mudah menguasai suara mayoritas parpol daripada bertaruh dengan suara mayoritas rakyat. Kedua, masih adanya hambatan akses untuk ikut kontestasi (barrier to entry) berupa makin beratnya syarat ambang batas pencalonan yang harus dipenuhi baik untuk jalur perseorangan maupun dari partai politik atau gabungan partai politik.
Ketiga, hegemoni kekuatan petahana atau kerabat petahana yang berkelindan dengan jejaring dinasti politik. Hampir semua calon tunggal pada kurun 2017-2024 berlatar belakang petahana atau kerabat dari petahana. Keempat, sentralisasi atau pemusatan pencalonan melalui mekanisme tiga pintu, yang mensyaratkan adanya rekomendasi pencalonan dari pengurus parpol di kab/kota, provinsi, serta wajib dari tingkat pusat. Hal itu ditengarai juga diikuti praktik mahar politik yang semakin memberatkan calon dari sisi ongkos politik.
Kelima, problem kaderisasi di internal partai. Tidak ada calon potensial untuk diusung akibat kaderisasi yang mandek serta terlalu berorientasi pada figur dan segelintir elite yang ada di partai politik. Figur potensial justru terpilih di pemilu DPR/DPRD dan enggan maju di pilkada karena tidak mau mundur melepaskan jabatan anggota DPR/DPRD yang baru saja dimenangkan di pemilu legislatif. Keenam, jarak elektabilitas yang terlampau jauh antara satu calon dengan calon yang lain. Ketujuh, kondisi internal partai yang tidak solid dan diperburuk oleh adanya perpecahan antarkader. Dampaknya, partai menjadi kesulitan mengkonsolidasi diri untuk kepentingan pencalonan pilkada.
Kedelapan, politik biaya tinggi akibat praktik transaksional kontestasi pilkada yang tidak diikuti penegakan hukum secara efektif. Mayoritas disebabkan oleh penggunaan dana untuk pengeluaran ilegal, seperti biaya mahar politik ataupun jual beli suara. Terakhir, kesembilan, pragmatisme partai politik yang berpandangan daripada kalah dan keluar banyak uang, lebih baik membangun posisi tawar dengan calon kuat yang sudah ada. Sikap pragmatis ini sangat rentan berujung pada politik bagi-bagi kue yang bisa memicu terjadinya korupsi politik. Apalagi di tengah situasi lemahnya kontrol parlemen atas kerja-kerja eksekutif di daerah.
Threshold Pencalonan
Pilkada serentak nasional 2024 merupakan pengulangan atas pilkada yang terselenggara pada 2017, 2018, dan 2020. Apabila dikomparasikan, antara rentang 2017-2020 terdapat 50 daerah yang bercalon tunggal dari total 545 daerah atau setara dengan 9,17%. Sedangkan pada pilkada serentak 2024 data terakhir yang dirilis KPU (16/9) menyebutkan terdapat 35 daerah yang potensial bercalon tunggal dari keseluruhan 545 daerah, setara dengan 6,42%. Artinya, terjadi penurunan dari segi jumlah daerah yang bercalon tunggal. Meskipun, untuk pertama kalinya pada 2024 terdapat pemilihan gubernur dan wakil gubernur yang diikuti oleh hanya satu paslon, yaitu pilkada provinsi Papua Barat.
Penurunan jumlah calon tunggal di pilkada serentak 2024 tak lepas dari kontribusi adanya Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 yang memungkinkan pencalonan yang lebih aksesibel dan inklusif bagi partai politik atau gabungan partai politik. Putusan MK tersebut mengatur persyaratan ambang batas (threshold) perolehan suara dalam pencalonan oleh partai atau gabungan partai yang menjadi setara dengan syarat ambang batas dukungan pemilih bagi pencalonan dari jalur jalur perseorangan atau independen. Sebelumnya partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan paslon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Melalui Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024, MK mengubah persyaratan pencalonan menjadi: partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan suara antara rentang 6,5% sampai dengan 10% sesuai dengan interval jumlah daftar pemilih tetap pada masing-masing daerah. Jumlah persentase tersebut adalah sama dengan jumlah persentase dukungan yang dipersyaratkan bagi pencalonan dari jalur perseorangan. Dimana makin besar jumlah pemilih, maka semakin kecil persentase syarat dukungan yang dibutuhkan.
Meskipun jumlah pilkada bercalon tunggal masih lebih dari 30 daerah, namun Putusan MK telah cukup berkontribusi dalam mengurangi pilkada dengan hanya satu paslon. Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, dalam webinar yang diselenggarakan KAPIMGAMA (10/9), bahkan menyebut apabila tidak ada Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024, maka jumlah daerah yang bercalon tunggal bisa mencapai lebih dari 100 daerah.
Putusan MK membuat terjadinya rekonfigurasi maupun kocok ulang pencalonan yang kemudian mengeliminir calon tunggal di sejumlah daerah. Contohnya, pilkada Kota Tangerang Selatan dimana 16 partai politik yang mengusung petahana walikota dan wakil walikota ditantang oleh paslon yang diusung oleh hanya satu partai, yakni PKS. Kondisi serupa juga terjadi di pilkada Kabupaten Bogor dimana paslon yang diusung PDIP berhadapan dengan koalisi pencalonan yang terdiri dari 16 partai politik.
Putusan MK juga “menggagalkan” calon tunggal di pilgub Sulawesi Selatan dan pilgub Papua. Putusan MK bahkan membuat pilgub Jawa Timur menjadi lebih semarak dengan hadirnya tiga pasangan calon gubernur yang kesemuanya perempuan. Serta pilgub Jawa Barat yang diikuti empat pasangan calon. Pilkada 2024 menjadi lebih inklusif dengan keragaman pilihan yang membuat kompetisi menjadi lebih sehat dan kompetitif.
Belum Optimal
Meskipun mampu menurunkan calon tunggal, masih ada puluhan daerah yang tetap bercalon tunggal pasca-Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024. Setidaknya ada empat faktor yang berkontribusi menciptakan situasi tersebut. Pertama, Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 dibacakan MK pada 20 Agustus 2024. Saat itu sudah mendekati masa pendaftaran calon yang berlangsung pada 27-29 Agustus 2024. Mayoritas rekomendasi pencalonan khususnya dari pengurus partai politik di tingkat pusat sudah keluar dan didapat para bakal calon. Konfigurasi koalisi pencalonan antarpartai mulai terbentuk, sehingga Putusan MK belum bisa optimal diterapkan untuk sejumlah daerah pada pilkada serentak 2024.
Kedua, terdapat komitmen pada tingkat elite nasional berkaitan dengan keberlangsungan koalisi pencalonan pilpres, dalam hal ini Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, untuk diduplikasi pada koalisi pencalonan di tingkat daerah. Hal itu salah satunya dilatarbelakangi keinginan untuk membangun koherensi antara kepemimpinan nasional dan daerah dalam rangka memudahkan akselerasi program-program pemerintahan yang baru pada level provinsi dan kabupaten/kota. Komitmen elite nasional tersebut kemudian direalisasikan melalui rekomendasi pengurus partai di tingkat pusat bagi calon-calon yang diusung oleh KIM Plus yang mayoritas sudah terbit sebelum adanya Putusan MK.
Komitmen tersebut ditengarai juga diikuti oleh “tukar guling” dukungan antara daerah yang satu dengan lainnya. Partai melepaskan haknya untuk mengusulkan paslon di suatu daerah untuk mendapatkan dukungan dari mitra anggota koalisi di daerah yang lain. Partai memilih untuk fokus pada daerah yang jadi basis politiknya dengan harapan akan mendapatkan dukungan mayoritas dari partai-partai yang tergabung sebagai anggota koalisi.
Ketiga, kuatnya dominasi petahana dengan elektabilitas tinggi dan basis politik yang kokoh membuat tetap sulit untuk dilawan oleh kader-kader partai di daerah. Partai akhirnya memilih realistis dan pragmatis. Daripada mengusung calon yang kemungkinan besar akan kalah dan keluar banyak uang untuk biaya kampanye, lebih baik berkoalisi mendukung petahana yang sudah bisa dipastikan akan menang dan mendapatkan keuntungan dari bagian menjadi koalisi. Pola ini terjadi misalnya di pilkada Surabaya dan Trenggalek serta pilgub Papua Barat.
Keempat, momok praktik politik biaya tinggi menjadikan elite partai makin pragmatis dan aji mumpung. Proses pencalonan yang tersentralisasi pada pengurus partai politik di tingkat pusat membutuhkan ongkos politik yang tidak murah untuk memperoleh rekomendasi partai. Bakal calon harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk bisa mendapatkan rekomendasi berjenjang dari daerah sampai tingkat pusat. Kondisi tersebut membuat partai dan kadernya menjadi lebih pragmatis dan cenderung pesimis dalam merespon proses pencalonan meskipun sudah ada kemudahan dari MK. Ditambah lagi, partai baru saja keluar dari situasi kontestasi pemilu serentak 2024 yang masih menyisakan residu kelelahan politik dan kondisi kelembagaan partai yang belum sepenuhnya sehat dari sisi soliditas ataupun stabilitas pendanaan.
Selama kurun 2015 sampai dengan 2020, dari total 53 daerah yang bercalon tunggal, hanya ada satu daerah yang dimenangkan oleh kotak kosong, yakni pilkada Kota Makassar pada 2018. Pilkada Kota Makassar hanya diikuti oleh satu paslon setelah calon petahana Mohammad Ramdhan Pomanto dan Indira Mulyasari didiskualifikasi oleh Mahkamah Agung. Pasangan calon tunggal Munafri Arifuddin dan Andi Rahmatika Dewi (Appi-Cicu) pada saat iu memborong dukungan dari sepuluh partai politik. Dalam prosesnya, dukungan petahana Mohammad Ramdhan Pomanto terhadap kotak kosong di pilkada Kota Makassar diyakini ikut berkontribusi besar bagi kemenangan kotak kosong yang berhasil memperoleh suara sebesar 53,23%, Mengalahkan paslon tunggal Appi-Cicu yang hanya memperoleh suara sebesar 46,77%.
Pilkada Kota Makassar kemudian diulang kembali bersamaan jadwal dengan penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2020. Dalam penyelenggaraan pilkada Kota Makassar tahun 2020, terdapat empat paslon mendaftar ke KPU dengan hasil akhir palson Mohammad Ramdhan Pomanto dan Fatmawati Rusdi berhasil memperoleh suara terbanyak dan menjadi paslon terpilih mengalahkan Munafri Arifuddin yang pada waktu itu kembali maju bersama pasangan wakilnya yang baru, Abdul Rahman Bando.
Serius Berbenah
Pilkada calon tunggal jauh dari ideal. Dalam pemilihan yang mestinya menawarkan kompetisi dan adu gagasan, pilkada calon tunggal tidak menawarkan alternatif pilihan calon kepada pemilih. Namun demikian, dalam pilkada calon tunggal, pemilih tetap memiliki opsi-opsi. Jika setuju, suka, atau mendukung paslon tunggal, pemilih bisa mencoblos kolom atau kotak yang memuat foto paslon tunggal.
Apabila tidak setuju dengan calon tunggal dan menginginkan kepemimpinan alternatif untuk daerah, maka pemilih dapat mencoblos kotak kosong tidak bergambar di sebelah foto paslon tunggal yang ada di dalam surat suara. Kotak kosong berbeda dengan abstain atau tidak datang ke TPS. Sebab, kotak kosong merupakan pilihan yang sah dan konstitusional sebagai saluran politik pemilih dalam pilkada bercalon tunggal. Jika kotak kosong memperoleh suara terbanyak mengalahkan calon tunggal, maka pemilihan akan diulang pada tahun berikutnya, yaitu pada 2025. Bukan hanya pemungutan suara yang diulang, namun seluruh tahapan akan dilakukan kembali sebagai konsekuensi pilkada ulang.
Pada masa yang akan datang diharapkan calon tunggal makin bisa ditekan dan pilkada benar-benar menjadi kontestasi antar kader-kader terbaik partai. Untuk itu, pembentuk undang-undang perlu serius berbenah dan melakukan sejumlah perbaikan dalam pengaturan pemilu. Misalnya, mengevaluasi jadwal penyelenggaraan pemilu dan pilkada pada tahun yang sama. Pemilu dan pilkada di tahun yang sama, dengan irisan tahapan satu sama lain, membuat penyelenggara pemilu kewalahan akibat beban teknis yang berat. Partai politik juga tidak optimal dalam melakukan rekrutmen politik akibat agenda politik yang terlalu intens dan beririsan satu sama lain. Akibatnya, pragmatisme politik makin dominan dan politik gagasan sulit dihadirkan ke tengah-tengah masyarakat.
Pemilu mestinya dilakukan dengan dua model keserentakan, meliputi Pemilu Serentak Nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, serta anggota DPD. Kemudian, Pemilu Serentak Lokal untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal terdapat masa jeda selama 2 (dua) tahun. Pemisahan model keserentakan pemilu seperti itu bertujuan agar mesin partai selalu bekerja selama siklus lima tahunan. Pemilih juga bisa terus mengevaluasi performa partai dan elite politiknya secara berkesinambungan di antara dua pemilu serentak yang berlangsung.
Dalam semangat otonomi daerah, mestinya pencalonan dilakukan terdesentralisasi dimana pengurus partai di daerah diberikan otonomi untuk mengusung calon-calon sesuai dengan aspirasi pengurus dan anggota partai di daerah tersebut. Hal itu juga untuk mencegah terjadinya broken linkage antara aspirasi daerah dengan proses kandidasi yang dilakukan oleh partai politik. Agar tidak ada lagi pembajakan aspirasi oleh hegemoni elite yang kental dengan aroma transaksional.
Selain itu, untuk mencegah momok jual beli suara, sudah saatnya pembentuk undang-undang merealisasikan pengesahan rancangan undang-undang tentang pembatasan transaksi tunai. Undang-undang tersebut sangat diperlukan untuk memotong mata rantai jual beli suara yang selama ini banyak dilakukan melalui transaksi tunai.
Dengan berbagai perbaikan tersebut, harapannya pemilu bukan sekadar ritual rutin setiap lima tahun sekali untuk melakukan sirkulasi elite. Melainkan benar-benar mampu berkontribusi dalam menghadirkan pencapaian tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara melalui keterpilihan para pejabat pemerintahan yang kredibel, visioner, dan antikorupsi. []
TITI ANGGRAINI
Dosen Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia