Bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPR Daerah (DPRD) provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan “bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.” Demikian bunyi pengaturan di Pasal 8 ayat (1) huruf j di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD yang telah ditetapkan KPU dan diunggah ke dalam website jdih.kpu.go.id pada 30 Juni 2018.
Pengaturan tersebut menekankan persyaratan kepada subjek hukum individu sehingga memunculkan persepsi bahwa aturan ini melanggar hak asasi orang dengan status mantan terpidana kasus korupsi. Alasan hak asasi warga negara dijadikan alasan oleh banyak pihak, seperti partai politik dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk menolak PKPU.
Namun, sebagaimana dikatakan oleh Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, KPU dengan cerdas mengubah subjek yang terikat untuk memenuhi persyaratan pengajuan bakal calon. Dalam PKPU No.20/2018 yang telah diundangkan oleh Kemenkumham pada 3 Juli 2018, KPU mewajibkan agar partai politik menandatangani pakta integritas pencalonan anggota DPR dan DPRD. Pakta berisikan pesertjuan bahwa partai politik akan melakukan seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka, serta tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
“Pada Pasal 4 dan 6 ayat 1 huruf e PKPU No.20/2018, yang diatur instrumennya adalah dari pakta integritas. Jadi, subjeknya bukan lagi calon, tapi partai yang dipaksakan untuk tidak mencalonkan orang yang punya rekam jejak buruk. Jadi KPU menggeser subjeknya. Cerdas sekali!” kata Donal pada diskusi “PKPU Larangan Napi Korupsi Nyaleg Diundangkan, KPU Harus Waspadai Gugatan ke MA” di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan (5/7).
Donal mengatakan, aturan ini berhasil memenangkan perspektif hukum tentang hak asasi warga negara untuk dapat dipilih dan memilih yang dijamin oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK). KPU tak melarang individu mantan narapidana tiga kejahatan luar biasa untuk mencalonkan, tetapi melarang partai politik untuk mencalonkan mantan narapidana kejahatan luar biasa.
“Kalau kemarin partai politik santai aja karena merasa aturan ini mudah dimentahkan karena dianggap bertentangan dengan putusan MK. Karena subjek MK itu kan individu. Nah, PKPU melarang partai politiknya. Saya rasa ini akan membuat partai politik kalang kabut,” ujar Donal.