Saat ini publik dianggap masih rentan terkena gangguan informasi rangkaian Pemilu 2024. Gangguan tersebut berdampak pada kepercayaan terhadap demokrasi, institusi penyelenggara pemilu, serta penyelenggaraan pemilu. Pada 2023 lalu, sebelum pemungutan suara berlangsung Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mencatat terdapat kenaikan sekitar dua kali lipat hoaks soal politik dibandingkan musim Pemilu 2019.
Dosen Departemen Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Arga Pribadi Imawan mengatakan politik ruang digital atau sosial media mampu menunjukkan kandidat terlihat lebih mudah terhubung dan diakses oleh pemilih. Hal itu menurut Arga, karena politik dalam ruang digital bekerja melalui simbol-simbol yang mudah dipahami oleh pemilih muda.
“Hastag dalam sosial media itu memiliki kekuatan untuk memobilisasi massa, merubah perilaku memilih dan membangun narasi tandingan,” jelas Arga dalam diskusi online Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bertajuk “Gangguan Informasi di Pemilu 2024” (15/3).
Berdasarkan laporan We are Social, pada tahun 2024 Indonesia menempati peringkat kedua pengguna sosial media dengan 126,83 juta, angka itu hanya kalah dengan Amerika Serikat sebagai peringkat pertama pengguna sosial media dengan 148,02 juta pengguna. Arga menuturkan, peran penting media sosial untuk kampanye membuat hoaks diproduksi dan disebarkan untuk kepentingan politik tertentu. Riset Pusat Penerangan Politik (Puspen Pol) menunjukkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai capres-cawapres paling populer di TikTok, dengan total postingan mencapai 1,4 juta dan total views mencapai 26,2 miliar.
Selain itu, data Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) dan Muda Bicara ID dari galeri iklan Meta, paslon Prabowo-Gibran mempublikasikan 1.368 konten dengan pengeluaran sebesar Rp.840.197.096. Sementara Koalisi Indonesia Maju dari Agustus 2020 hingga Oktober 2023 menghabiskan 8,67 miliar untuk iklan di media sosial, dan akun-akun pendukung Prabowo-Gibran berasal dari akun pribadi menggelontorkan dana sebanyak 6,2 miliar untuk kampanye di media sosial.
Menurut Arga, hoaks yang muncul selama pemilu tidak hanya tersebar melalui pesan-pesan broadcast tetapi lebih banyak didominasi oleh vidio singkat berisi potongan-potongan video yang diperkuat oleh narasi-narasi kampanye. Konten tersebut kemudian disebarkan melalui algoritma dengan penggunaan hashtag, Arga memandang hastag sebagai sesuatu yang tidak netral, karena dikonstruksikan oleh tim dengan maksud tertentu, hal itu menurutnya dapat mengurangi dan menggerus esensi politik.
“Yang paling jelas adalah kemunduran politik programatik, jadi implikasinya ketika para voters ter-driven oleh hastag naratif akan menguburkan apa sih yang sebetulnya menjadi program kerja masing-masing paslon,” jelas Arga.
Dalam rangkaian pemilu Peneliti Perludem Nurul Amalia mengkategorikan gangguan informasi pemilu menjadi tiga jenis yakni disinformasi yang menyerang peserta pemilu, disinformasi proses pemilu, dan disinformasi teknis pemilu. Menurut temuannya, hoaks Pemilu 2024 ketiga jenis tersebut jumlahnya meningkat dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya, angka hoaks semakin tinggi menjelang dan setelah hari pemungutan suara.
“Disinformasi-nya itu justru ditabung di akhir-akhir tahapan pemilu, karena di awal yang dibangan adalah citra positif kandidat,” ujar Amalia.
Amalia memaparkan, berdasarkan temuan Koalisi Damai, persebaran disinformasi di media sosial paling banyak tersebar di platform YouTube dengan persentase 33,2%, disusul Tiktok dengan 24,4%, Facebook dengan 21,9%, dan Twitter (X) sebanyak 10,1% disinformasi pemilu. Amel memandang disinformasi yang tersebar pada Pemilu 2024 jauh lebih rumit dideteksi, karena kebanyakan berbentuk vidio dilengkapi narasi teks, dan caption yang mengandung disinformasi.
Lebih lanjut, menurut Amalia tidak adanya regulasi tentang iklan politik berbayar dan kurangnya transparansi iklan di platform media sosial memungkinkan penyebaran disinformasi sebagai iklan politik berbayar yang ditargetkan pada pengguna tertentu. Hal itu menunjukan bahwa praktik tersebut berbahaya bagi demokrasi. Temuan Perludem menggambarkan, penyebaran disinformasi bertujuan untuk mengaburkan informasi publik tentang teknis prosedur pemilu dan mendelegitimasi proses pemilu.
“Pemilu 2024 tantangannya lebih banyak disinformasi yang receh, yang topiknya sebenarnya dangkal dan gampang diidentifikasi sebagai hoaks, namun ekosistem informasi kita itu ternyata dibanjiri oleh sebanyak mungkin informasi yang membuat netizen bingung,” jelasnya.
Untuk menanggulangi persebaran disinformasi pemilu, Amelia menghimbau Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan perbaikan komunikasi publik, karena verifikasi disinformasi pemilu sangat bergantung pada keterangan penyelenggara pemilu. selain itu ia juga menyarankan platform media sosial memberikan tempat khusus untuk konten edukasi dan informasi yang valid bagi pengguna media sosial, disamping penghapusan akun atau channel yang memproduksi dan menyebarkan disinformasi pemilu secara rutin dan berkala.
Peneliti dan Aktivis Demokrasi Digital, Anita Wahid menilai masalah terbesar hoaks adalah masyarakat tidak menyadari bahwa dirinya rentan terpapar hoaks, sehingga acap kali lengah ketika menggunakan sosial media. Padahal menurutnya, kesadaran dan pengakuan bahwa masyarakat rentan terkena hoaks adalah pelindung utama untuk menghadapi hoaks, selain itu maraknya penyebaran hoaks juga disebabkan ketidakmampuan masyarakat memahami prosedur demokratis dalam pemilu.
“Itulah kenapa hoaks menjadi sangat efektif, karena memanfaatkan kelengahan manusia yang merasa bahwa mereka kebal terhadap hoaks,” ujar Putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut. []