November 15, 2024

Dampak Sistemik Pemilu Proporsional dan Mayoritas

Sejak Pemilu 1955 hingga 2019 sistem pemilu Indonesia untuk representasi partai politik parlemen, selalu menggunakan sistem proporsional. Dengan kalimat lain, Indonesia tidak pernah menggunakan sistem pemilu mayoritas. Setiap pemilu selesai, sistem pemilu biasa dievaluasi. Kadang bisa muncul usulan mengganti sistem pemilu proporsional dengan sistem pemilu mayoritas.

Agar menjamin kesesuaian tujuan perubahan sistem pemilu dengan konsep kerja sistemik sifat proporsional/mayoritas, penting bagi kita menjamin pemahaman sistem pemilu. Sistem pemilu proporsional dan mayoritas amat berbeda sifat. Jangan sampai, perubahan sistem pemilu dengan variabel-variabel di dalamnya, salah dipahami sehinggga tidak mengantisipasi segala konsekuensinya.

Sistem proporsional

Sistem pemilu proporsional mempertimbangkan proporsi dari jumlah kursi dengan penduduk di sebuah daerah dalam pemilihan. Artinya bilamana jumlah penduduk yang besar akan mendapatkan jumlah kursi yang besar pula di parlemen. Selain itu, dipertimbangkan juga proporsi perolehan suara partai politik dikonversi menjadi kursi yang diperoleh untuk partai politik.

Dengan adanya mekanisme itu sistem pemilu proporsional memiliki dampak dalam sistem kepartaian, yaitu menjadi multipartai. Sebabnya, partai politik dapat mencalonkan lebih dari satu kandidat di dalam daerah pemilihan dan menjadi peluang yang terbuka untuk partai-partai kecil memperoleh suara di daerah pemilihan tersebut untuk masuk parlemen.

Terdapat juga faktor lainnya mengapa sistem proporsional dipilih atau menentukan sistem kepartaian multipartai. Ada faktor tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi. Lalu, faktor tingkat pluralitas sosial dan sejarah tinggi. Atau latar belakang sosio-kultural masyarakat.

Dalam sistem pemilu proporsional, banyaknya wakil yang diwujudkan jumlah kursi akan menentukan tingkat representasi hasil pemilu. Semakin banyak jumlah wakil yang harus dipilih dari satu daerah pemilihan, maka hasil pemilunya akan semakin proporsional. Sebaliknya, semakin sedikit jumlah wakil yang harus dipilih dari satu daerah pemilihannya, maka hasil pemilunya memungkinkan tidak lebih proporsional.

Tingkat proporsionalitas yang berwujud dengan tingkat fragmentasi partai politik di parlemen akan menentukan tingkat kinerja pemerintahan. Semakin mungkin banyak partai politik masuk parlemen, semakin mungkin tercipta fragmentasi parlemen yang tinggi. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan kebuntuan dalam legislatif. Konsekuensi lainnya menciptakan kebuntuan dalam berkebijakan.

Masalah fragmentasi tinggi parlemen ini terjadi di Indonesia. Nilai sistem kepartaian parlemen Indonesia lebih dari 5. Dengan nilai ini berarti DPR punya sistem kepartaian pluralisme ekstrem. Sejumlah partai minoritas kecil signifikan berkecenderungan menahan partai yang besar dalam negosiasi koalisi.

Selain itu, ada hal-hal lain yang menjadi tantangan penerapan sistem pemilu proporsional. Di antaranya mengenai prilaku partai. Dalam fungsi representasi politik, partai cenderung bergantung pada suara pendukung satu sama lain untuk pemilihan mereka. Partai melakukan ini bermaksud membuat posisinya lebih kuat dalam koalisi.

Dari prilaku itu, banyak partai kecil merasa punya peluang sehingga partai menjadi amat banyak dan tidak mengikat konstituen. Dampaknya bisa buruk kepada pemilih dan penyelenggara. Pemilih kebingungan. Penyeleanggara sulit mengelola karena teknis pemilu menjadi kompleks.

Yang jangan dilupa dari sistem proporsional adalah, prinsip penghargaan setiap satu suara pemilih. Sistem ini bertujuan menghasilkan suara yang terbuang sedikit. Artinya tidak sia-sia bagi pemilih untuk pergi ke TPS dalam melakukan pemilihan. Jadi jika hasil pemilu banyak menghasilkan suara terbuang, ini mengingkari prinsip sistem proporsional.

Negara-negara Eropa banyak yang menerapkan sistem pemilu proporsional. Ini salah satu sebab sistemik yang membuat dinamika keragaman kelompok di Eropa terus ada dan berdaya.

Sistem mayoritas

Sementara sistem pemilu mayoritas merupakan sistem berdasarkan lokasi daerah pemilihan. Dengan kalimat lain, ini bukan sistem yang berdasarkan jumlah penduduk. Dengan begitu, daerah yang sedikit penduduknya memiliki kursi wakil yang sama dengan daerah yang banyak penduduknya.

Dalam sistem mayoritas, hanya ada satu kursi wakil pada tiap daerah pemilihan. Artinya, hanya ada satu pemenang atau peserta yang mendapatkan kursi dalam tiap daerah pemilihan. Konsekuensinya, banyak suara yang menjadi sia-sia atau terbuang dari masing-masing peserta pemilu yang tidak mendapatkan kursi di tiap dapil.

Dengan sifat tersebut, sistem mayoritas akan menghasilkan sistem kepartaian yang fragmentasinya jauh lebih sederhana. Partai-partai kecil akan sulit untuk memenangkan pertarungan kursi di tiap dapil. Sebaliknya, partai besar lebih berpeluang menjamin kemenangan kursi di tiap dapilnya.

Dampak dari sifat tersebut, sistem pemilu mayoritas menjauh dari sifat representatif. Sehingga, sistem ini kurang mewakili kelompok minoritas. Kelompok-kelompok minoritas yang diwakilkan partai-partai kecil akan tersingkir suaranya karen prinsip the winner takes all. Peserta pemilu akan mementingkan rakyat secara umum dalam hitungan mayoritas.

Sistem pemilu mayoritas amat kompetitif. Efek sampingnya, kelompok-kelompok lemah dan kecil jadi dikesampingkan. Perempuan, ekonomi lemah, disabilitas, agama minoritas, akan sulit masuk parlemen mewakili kelompoknya.

Tetapi, sistem mayoritas punya keunggulan dalam meningkatkan dan menjaga hubungan antara konstituen dengan wakilnya. Tiap orang dalam parlemen merupakan wujud dari representasi geografis dan satuan konstituen yang tunggal. Sistem ini memungkinkan pemilih untuk memilih di antara orang yang ada, bukan pada partai yang ada. Pemilih bisa menilai kinerja kandidat perseorangan dan bukan hanya sekedar menerima daftar kandidat. Dengan penjelasan ini, sistem pemilu mayoritas berorientasi pada kandidat, bukan pada partai politiknya.

Karena sistem mayoritas bersifat amat kompetitif, peserta pemilu menjadi sedikit. Dengan mekanisme the winner takes all, cara kerja sistem ini jauh lebih mudah dipahami. Kesederhanaan ini tidak dimiliki sistem proporsional yang harus menghitung dan menjamin proporsionalitas penduduk, pemilih, suara, dan kursi.

Amerika Serikat merupakan contoh dari negara yang menerapkan sistem pemilu mayoritas. Pemilunya amat kompetitif sehingga partai dominan hanya ada dua: Demokrat dan Republik. Karena fokus pemilu merujuk pada individu orang, bukan partai, kandidat peserta pemilu sangat mungkin di luar dari kader partai.

Dari penjelasan itu semua, sistem proporsional maupun sistem mayoritas memiliki kekurangan dan keunggulan sendiri. Penerapannya di suatu negara harus dilihat dari kondisi dan budaya masyarakatnya. Sejatinya, tidak ada sistem yang baik kecuali dengan memperhatikan betul kondisi dan budaya dari negara itu sendiri. Semoga Indonesia tidak salah paham dalam memilih sistem pemilunya. []

WIJI SETIYANI

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta