December 7, 2024

Demokrasi di Negeri Tirani

Salah satu keputusan para pendiri bangsa Indonesia yakni menjadikan demokrasi sebagai landasan utama berpolitik dan bernegara. Keyakinan bahwa kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat tampaknya masih sulit teraktualisasi atau bahkan tidak akan pernah tercapai. Memang secara tertulis Indonesia menggunakan demokrasi sebagai sistem politiknya.

Namun, kita tidak lagi berbicara hal tersebut secara normatif saja. Jika melihat beberapa negara lain, ada juga mengklaim demokrasi. Klaim ini dalam praktek berpolitik kesehariannya malah jauh dari nilai-nilai demokrasi.

Tirani

Bentuk pemerintahan negara tirani berarti kekuasaan berada dalam kendali satu orang atau kelompok. Sebagai perbandingan, perlu diketahui negara seperti Cina yang menamai negaranya republik, pada prakteknya sangat bertentangan dengan konsep negara republik. Negara Cina menganut ideologi komunisme. Di negara itu hanya ada satu partai yakni Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang sangat berkuasa meskipun diizinkan adanya partai selain komunis.

PKT hadir dalam seluruh aspek kehidupan rakyatnya seperti; birokrasi negara, media, pendapat daring, praktek keagamaan, universitas, bisnis, dan masyarakat sipil. Kongres rakyat nasional yang adalah parlemen di negara tersebut dan berfungsi membuat undang-undang, hanya dipandang sebagai penasehat yang perlu dipertimbangkan dan bukan untuk dipatuhi keputusannya. Selain itu, di antara internal partai, terdapat ‘elite’ diantara elite partai yang disebut Politbiro. Komite Politbiro memainkan peran penting dalam perpolitikan Negara Cina serta mengontrol roda pemerintahan. Presiden Cina, Xi Jinping, terpilih untuk ketiga kalinya dalam kongres partai sebagai sekretaris jenderal politbiro yang memungkinkan dirinya untuk berkuasa tanpa batas waktu.

Sama seperti Cina, Korea Utara mengikutsertakan “demokrasi” dalam nama negaranya. Korea Utara merupakan negara satu partai yang dipimpin kediktatoran totaliter dinasti yang secara teratur melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Pengawasan dilakukan secara luas, penangkapan sipil secara sewenang-wenang, dan hukuman bagi pelanggar politik yang sangat keras. Kamp-kamp didirikan dan diperuntukkan bagi tahanan politik di mana penyiksaan hingga kerja paksa terjadi di dalamnya.

Demokrasi Indonesia

Berdasarkan data lembaga survei indeks demokrasi Freedom House 2024, Indonesia memperoleh nilai demokrasi yakni 57 dari 100. Angka tersebut didapat dengan rincian: a) hak politik, menyangkut hak-hak sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam pemilu, dengan nilai 29/40; b) hak sipil, menyangkut aspek hak-hak bermasyarakat, berserikat, dan berkumpul serta menyatakan kebebasan berpendapat, dengan nilai 28/60. Nilai ini membuktikan bahwa kebebasan di Indonesia hanya bersifat semu.

Kebijakan disusun tidak lagi berdasarkan asas keadilan tetapi justru hanya sebatas suka tidak suka maupun kepentingan elit untuk menekan rakyat. Beberapa pasal UU KUHP khususnya pasal 310 dinilai menghadirkan represivitas yang memungkinkan seseorang dipidana atas tuduhan penghinaan. Selain itu, kontroversi UU ITE pasal 27 ayat 3 dianggap sebagai pasal karet di mana pasal tersebut sangat membatasi seseorang yang lantang bersuara di media daring.

Dua pasal tersebut lah yang kemudian digunakan untuk mendakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti ketika berhadapan dengan salah seorang rezim yakni Luhut Binsar Pandjaitan. Kasus di atas merupakan sebagian dari tindakan rezim. Nyatanya hari-hari ini, tindakannya menjauhkan negara ini dari cita-cita demokrasi.

Proses pemilu 2024 menjadi puncaknya. Regulasi hukum hingga aparatur negara dikerahkan untuk mengarahkan dukungan kepada salah satu calon. Putusan MK No. 90 Tahun 2023 perlu disadari dan diakui merupakan tiket hasil nepotisme majunya salah seorang calon kandidat presiden. Perdebatan panjang mengenai putusan tersebut hingga putusan MK juga yang menilai putusan itu tidak menyalahi aturan, tidak menjadi fokus dalam tulisan ini.

Atas putusan itu pula, tindak penyelewenggan kekuasaan terjadi yang juga akan memulai kekacauan berikutnya. Penambahan provinsi baru di daerah-daerah dengan elektabilitas tinggi diperuntukkan demi keterpenuhan syarat pemilu satu putaran. Penunjukan pelaksana tugas kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya tanpa alasan yang jelas, hingga tindakan-tindakan yang dilakukan untuk menghabisi lawan politiknya.

Tentu cara-cara seperti itu terasa tidak asing dan merupakan teknik lama yang digunakan pemerintah Orde Baru. Penerapan demokrasi Indonesia nyatanya masih jauh dari harapan. Demokrasi harga mati serta berbagai janji untuk memperjuangkan kebebasan hanyalah ide yang menarik dan tawaran yang penting untuk menarik simpati kaum populis ketika pemilu. Rezim dan para penyelenggara pemerintahan yang seharusnya menjadi penegak demokrasi sebaliknya malah menuntun menuju kemunduran. Mereka bahkan tidak tanggung membredel rakyatnya sendiri yang mereka sebut “pembangkang” akibat terus menerus mengusik dan meneriaki hak-hak sipil mereka.

Untuk itu, peran aktif lembaga masyarakat, NGO, media, untuk terus mengawasi jalannya pemerintahan harus terus dilakukan. Pemberian pendidikan politik serta edukasi untuk terus peduli terhadap politik perlu untuk terus diupayakan. Akhirnya, prinsip-prinsip serta idealisme bernegara penting untuk ditanamkan dan dimiliki setiap manusia terutama generasi penerus berikutnya. []

BOBBY

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran