October 4, 2024

Demokrasi Elektoral, Virus Korona, dan Kemanusiaan

DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu sudah sepakat menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah akibat Covid-19. Indonesia menjadi negara ke-37 yang menunda pemilu akibat pandemi Covid-19.

Wabah Covid-19 yang menyebar cepat telah membuat agenda pemilihan di banyak negara ditunda. Sebuah ujian bagi demokrasi untuk kembali pada kemanusiaan sebagai akar dan hakikat keberadaan manusia.

Berdasarkan data International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Rabu (1/4/2020), Indonesia menjadi negara ke-37 yang menunda pemilihan di tengah pandemi global penyakit akibat virus korona atau Covid-19. Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah, dan penyelenggara pemilu pada 30 Maret 2020 menyepakati penundaan Pilkada 2020 di 270 daerah.
Pilkada itu semula dijadwalkan berlangsung serentak pada 23 September 2020.

Akibat penyebaran Covid-19, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda sebagian tahapan pilkada yang berlangsung Maret-Mei 2020. Setelah itu, KPU mengusulkan tiga opsi penundaan pilkada, yakni ditunda menjadi 9 Desember 2020, 17 Maret 2020, dan 29 September 2021. Pilihan mana dari tiga opsi itu yang akan diambil masih belum diputuskan pemerintah.

Di negara lain, penundaan berlangsung pula pada pemilihan primer di 14 negara bagian dan beberapa pemilihan lokal di Amerika Serikat (AS) yang sebelumnya dijadwalkan pada Maret hingga Mei 2020.

Sementara itu, ada pula sebagian negara yang sudah membahas kemungkinan menunda pemilihan menyusul wabah Covid-19. Ini di antaranya terjadi di Singapura, Uruguay, Republik Dominika, Pantai Gading, Ethopia, Ekuador, Meksiko, dan Romania.

Adapun sebagian negara yang tetap menyelenggarakan pemilihan dalam dua pekan terakhir adalah Vanuatu (19 Maret), Polandia (22 Maret), Guinea (22 Maret), Mali (29 Maret), dan Negara Bagian Queensland di Australia (29 Maret). Sebelumnya, pada waktu yang lebih awal, pemilihan telah diadakan di Israel (2 Maret), Perancis (15 Maret), Jerman (15 Maret), Moldova (15 Maret), Republik Dominika (15 Maret), dan pemilihan di sejumlah negara bagian Amerika Serikat (17 Maret).

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, saat dihubungi pada Selasa (31/3) mengatakan bahwa, saat ini, beberapa negara memiliki pola masing-masing dalam menghadapi perencanaan pemilu di tengah pandemi Covid-19.

”Tidak sedikit juga (negara yang) masih mencari pola untuk menentukan bagaimana penyikapan selanjutnya terhadap penundaan pemilu atau pilkada,” kata Fadli.

Akan tetapi, imbuh Fadli, yang menjadi benang merah dalam hal ini adalah penundaan pemilihan mesti tetap berdiri kokoh di atas prinsip-prinsip demokrasi pemilu. Hal ini termasuk bagaimana proses pengisian jabatan yang adil bisa terjadi. Selain itu, perlakuan yang adil kepada peserta pemilu dan pemilih. Tidak kalah penting, memastikan tersedianya kerangka hukum yang cukup.

Fadli menambahkan, jika proses pemilihan dilanjutkan di tengah wabah Covid-19, itu akan sangat berisiko. Pasalnya, transisi demokrasi lewat proses pemilihan merupakan agenda ketatanegaraan yang bisa menunggu.

”Namun, agenda ketatanegaraan menyelamatkan jiwa manusia dan melindungi warga negara adalah langkah yang tak bisa ditunda,” kata Fadli.

Kedua agenda tersebut, pada konteks saat ini, tidak bisa berjalan beriringan. Karena, jika proses pemilihan dlilanjutkan, ancaman terhadap keselamatan jiwa manusia juga akan meningkat.

Ini terkait dengan aktivitas pemilihan yang berhubungan langsung dengan mobilisasi warga dalam jumlah besar. Padahal, untuk menghadapi virus korona yang penyebarannya cepat dan mudah, penjarakan sosial menjadi salah satu strategi penting.

”Sebaiknya memang pemilunya (yang) ditunda. Karena hakikatnya, demokrasi itu juga berdiri di atas prinsip kemanusiaan,” tutur Fadli.

Terkait sejumlah negara yang tetap menyelenggarakan pemilihan di tengah wabah, Fadli berpendapat hal itu boleh jadi terkait dengan skala penyebaran pandemi yang berbeda-beda. Ada kemungkinan skala penyebaran Covid-19 di negara-negara yang melaksanakan pemilihan tidak sebesar dan seluas di sejumlah negara lain yang memutuskan melakukan penundaan.

Jika dilihat dari data sebagian negara yang tetap melakukan pemilihan, tanggal pelaksanaannya berlangsung sudah relatif lama. Misalnya Israel enyelenggarakan pemilihan pada 2 Maret dan Perancis pada 15 Maret. Adapun sejumlah negara yang menggelar pemilihan beberapa hari terakhir, seperti Mali (29 Maret) dan Australia (29 Maret), dimungkinkan karena skala pandemi dan model penanganan wabah.

Dikutip dari dokumen WHO di laman daring Who.int, laporan yang mengonfirmasi infeksi Covid-19 di Mali bahkan belum tercatat berdasarkan data per 23 Maret 2020. Adapun di Australia, berdasar data 23 Maret, ada tujuh kematian positif Covid-19. Saat itu, jumlah total kasus yang terkonfirmasi di Australia adalah 1.396.

Pernah terjadi

Anggota KPU, Viryan Azis, saat dihubungi mengatakan, penundaan pemilihan di Indonesia pernah terjadi di awal kemerdekaan. Pemilu yang direncanakan berlangsung pada Januari 1946 akhirnya baru bisa digelar pada 1955. Hal ini akibat kombinasi ketidaksiapan dan agresi militer Belanda.

Selain peristiwa itu, kata dia, penundaan pemilihan hanya terjadi di sejumlah daerah dalam momen pilkada. Misalnya, di Aceh, setelah melalui sejumlah penundaan pada 2005, pilkada akhirnya digelar pada 2006.

Viryan menambahkan, terkait dengan kecenderungan terus bertambahnya jumlah negara yang menunda pemilihan menyusul wabah Covid-19, ada dua hal yang mesti diperhatikan. Pertama, kepastian pelaksanaan pilkada lokal tetap perlu ada. Pasalnya, ini menyangkut prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.

Selain itu, Viryan menilai momentum tersebut bisa menjadi langkah terobosan untuk meningkatkan derajat kemaslahatan pilkada di Indonesia. Dia menambahkan, sehubungan dengan kemungkinan akan diterbitkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sebagai payung hukum penundaan pilkada, bisa pula ditambahkan sejumlah aturan lain di dalamnya. Misalnya, penganggaran pilkada dengan dana APBN, bukan lagi dari APBD melalui mekanisme hibah, penggunaan rekapitulasi elektronik, dan penggunaan kampanye digital.

Penggunaan APBN terkait dengan fakta kesulitan anggaran untuk pelaksanaan pilkada yang dialami sebagian daerah. Ini tecermin dari betapa alotnya pembahasan serta kesepakatan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) yang dilakukan dalam beberapa gelombang pilkada serentak. NPHD jadi dasar pencairan APBD untuk pelaksanaan pilkada.

Adapun penggunaan rekapitulasi elektronik berdasarkan evaluasi Pemilu 2019 karena publik menginginkan dapat diketahuinya hasil rekapitulasi resmi dalam waktu singkat. Sejumlah kajian dan pengujian teknis dilakukan, tetapi sejauh ini regulasi masih menjadi hambatan penerapan rekapitulasi elektronik.

Sementara gagasan untuk melakukan kampanye secara elektronik terkait dengan upaya meminimalkan politik biaya tinggi dalam pilkada. Selain itu, hal tersebut berhubungan pula dengan pembatasan fisik selama pandemi Covid-19 yang ujungnya belum kunjung bisa diketahui.

”Jadikan ini sebagai terobosan (untuk melaksanakan) pilkada yang lebih layak (untuk) meningkatkan derajat kemaslahatan pilkada,” katanya.

Agaknya, dalam konteks ini, tepatlah jika merujuk pada kutipan Gus Dur, tokoh bangsa sekaligus Presiden ke-4 RI, ”Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.” (INGKI RINALDI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Harian Kompas https://kompas.id/baca/polhuk/2020/04/02/demokrasi-elektoral-virus-korona-dan-kemanusiaan/