December 5, 2024
Print

Demo(krasi) Mobil Mogok

Indonesia menapaki jalannya demokrasi memang tergolong muda. Pasca dibelenggu Orde Baru selama 32 tahun, reformasi adalah awal dibukanya “kran demokrasi” di republik ini. Kondisi ini, bisa dikatakan sebagai “momentum” awal Indonesia memulai keterbukaan menentukan sikap politik dengan tak adanya dominasi pemerintah sebagai pengendali “suara-suara kritis” rakyat, seperti yang terjadi sebelumnya.

Berjalannya waktu, kemunculan partai politik yang bertarung dari pemilu ke pemilu era reformasi. Keberadaan partai secara institusi tak pernah menjawab harapan banyak masyarakat—keberadaan mereka tak memerlihatkan kondisi politik yang semakin membaik—malahan tindak tanduk yang dilakukan institusi ini, ibaratnya, jauhnya panggangan dari api.

Politik yang sentral dengan pelbagai macam keputusan  yang berhubungan dengan orang banyak: pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain-lain. Namun, “tolak ukur” tersebut tidak berperan dalam menentukan banyak hal, karena partai politik yang diharapkan berperan hanya menjadi “pelantang” pada musim pemilu.

Akibatnya, kualitas demokrasi berjalan lancar atau tidaknya hanya terpusat atas kerja keras KPU, Bawaslu dan masyarakat sipil, yang menginkan demokrasi semakin membaik. Sedangkan Partai Politik sering mentiadakan perannnya, meskipun seharusnya  itu adalah tugas dan perannnya

Partai politik dalam menjalankan fungsinya sebagai “wadah pendidikan poltik”,  kenyataan, ia malahan berjauhan dari fungsinya. Akhirnya, partai politik kehilangan arah dan fungsinya, partai politik kita tak semenarik slogan dan iklan-iklannya saat kampanye Pileg, Pilpres ataupun Pilkada. Slogan—merakyat—hanya sebatas wacana meningkatkan populeritas partai semata.

Ibarat, mendorong mobil “mogok”, sang supir membutukan banyak orang untuk mendorong mobilnya, setelah mobilnya jalan—ia pergi meninggalkan pendorongnya, terkadang  partai politik kita saat ini tak jauh dari anekdot tersebut. Pada saat pemilu partai politik berlomba-lomba mendekati rakyat, saat partainya berkuasa dan calonnya mengisi parlemen—partai politik niscaya lupa bahwa ada aspirasi yang akan ia salurkan.

Sehingga tidak aneh, banyak keluhan dari banyak orang. Saat musim-musim panen pemilu, Partai Politik malahan beramai-ramai menyodorkan diri ke publik—inilah partai kami, slogan dan visi-misinya—namun, saat musim panen pemilu telah habis, pengurus partai akan sulit dicari, ibarat orang yang telah selesai dengan “mobil mogoknya” yang sudah bisa berjalan lancar, maka rakyat hanya menjadi pendorong saat partai butuh pendorong saja sampai partai ini menunju kekuasaan—menang atau kalah, mereka akan tinggalkan sang pendorong mobil tadi.

Namun, saat musim panen kembali, ia akan mengeluh lagi, minta pertolongan kepada “rakyat” agar mobil mogok partainya, agar dibantu di dorong. Makanya, sebagai Partai Politik—lembaga yang seharusnya ada untuk rakyat dalam hal pendidikan poltik, menghampiri rakyat hanya saat ia butuh dukungan “suara” saja. Dan di titik inilah, fungsi pendidikan poltik berlarian dari fungsi yang seharusnya.

Marketing Politik

Selain kegagalan partai politik, sebagai ilmu—marketing politik—perlu mendapatkan sorotan, apakah ilmu ini benar atau salah sebagai instrumen demokrasi atau hanya memperkeruh demokrasi. Dalam pelaksanaannya, ilmu ini mendongrak partai/calon untuk merebut hati konstituen. Dalam hal ini, segala strategi dilaksanakan untuk menaikan “populeritas” partai/calon.

Sebagai ilmu ekonomi yang dibawa dalam kajian politik, perkembangan ilmu ini tak bisa disalahkan. Tetapi secara praktik dan moral politik, sulit ditemukan bahwa ilmu ini adalah jawaban, sebagai upaya menceradaskan masyarakat.

Kenyataannya, ilmu ini niscaya menjadi sarana transaksi konsultan politik dengan calon yang menjadi konsumennya. Artinya, sesuatu yang bersifat bisnis tentu akan sulit mengedepankan “rakyat” sebagai tujuan perjuangan, cendrung rakyat hanya mejadi jualan transaksi politik antara konsultan dan konsumen.  Rakyat hanya menjadi objek yang akan dipengaruh pikirannya dengan setting-an kandidat, agar konstituen tertarik dengan hal yang diperjual-belikannya tersebut.

Misalnya, opini publik yang digunakan konsultan politik untuk meningkatkan populeritas kandidat yang akan bertarung dalam pesta demokrasi. Menjelang Pilkada 9 Desember 2015, kemunculan konsutan-konsultan politik kandidat tertentu, merupakan sesuatu yang marak terjadi di daerah-daerah. Baik konsultan pusat yang merambah daerah, atau berdirinya konsultan politik daerah yang bergerak hanya pada musim pilkada.

Mengapa hal ini menjadi pusat kritik bagi kita? bagi saya membicarakan soal kemajuan demokrasi tentu tak hanya sebatas wacana “kosong”. Atau mungkin?, kita semua adalah “pemain” dalam ranah demokrasi, menebeingi demokrasi sebagai alat—sehingga kepentingan-kepentingan kita tetap tersalurkan. Sebagai ilmu, marketing politik bisa kita teladani dalam konteks pembelajaran yang sehat sebagai sebuah studi.

Tetapi, secara realita ilmu ini niscaya mengotori demokrasi yang seharusnya dibangun dari bawah-atas (buttem-up), nyatanya terlaksana atas-bawah (top-down), karena pada posisi ini elit, seperti, partai politik, kandidat, dan konsultan politik—telah merekayasa “kandidat” yang diterima oleh konstituen–senyatanya  di Indoensia pendidikan masih berada di level menengah kebawah.

Pada tulisan ini, saya sebagai penulis wajar-wajar saja pesimis dengan kualitas demokrasi kita saat ini. Peran-peran yang seharusnya mencerdaskan masyarakat sebagai “konstituen”—nyatanya  melakukan fasisme modern. Kemunculan istilah “pencitran” adalah bahagian dari ternodanya demokrasi kita dari akibat yang dihasilkan itu—akibatnya kebobohongan terjadi pada level elit hingga rakyat, sebab segalanya penuh dengan setting-an.

Orang-orang yang dianggab cerdas, menyehatkan demokrasi—merupakan “pemain”—yang menebengi demokrasi untuk kepentingannya. Maka dari itu, demokrasi yang terjadi di Indonesia, baik proses pemilu maupun pillada. Rakyat hanya menjadi pendorong “mobil mogok” seperti yang saya uraikan sebelumnya, makanya demokrasi kita tak akan pernah berubah, yang bergerak hanya elit sedangkan rakyat hanya jalan ditempat. []

ARIFKI
Analis Politik dan Pemerintahan FISIP Universitas Andalas, Padang