December 11, 2024

Desain Pemilu Dirumuskan

Tenaga ahli Komisi II DPR dan Badan Keahlian DPR telah tuntas merumuskan draf Rancangan Undang-Undang Pemilu yang diminta Komisi II DPR. Banyak hal mendasar yang berubah di dalamnya jika dibandingkan dengan regulasi pemilu sebelumnya. Perubahan pun menuai perdebatan di antara anggota Komisi II yang sekaligus menunjukkan pembahasan regulasi itu bakal kembali alot.

Dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu tertanggal 6 Mei 2020 yang diterima Kompas, Kamis (4/6/2020), setidaknya ada tiga perubahan mendasar jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pertama, keserentakan pemilu diubah dan dibagi dua. Pemilu nasional mencakup pemilu presiden/wakil presiden, pemilu anggota DPR, dan anggota DPD yang digelar serentak setiap lima tahun sekali, dan dimulai pada 2029. Sementara pemilu daerah mencakup pemilu kepala daerah serta anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota digelar serentak lima tahun sekali mulai 2027.

Adapun untuk Pemilu 2024 masih sama seperti Pemilu 2019. Artinya, pemilu presiden akan digelar serentak dengan pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Selain itu, ambang batas perolehan suara partai politik untuk mendapatkan kursi parlemen (parliamentary threshold), naik menjadi 7 persen dari ambang batas yang dalam UU No 7/2017 sebesar 4 persen.

Hal lain yang diubah terkait sistem pemilu. Sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup atau sama seperti yang berlaku di setiap pemilu sebelum Pemilu 2004. Dengan sistem itu, perolehan kursi yang sebelumnya bergantung pada perolehan suara oleh calon legislatif (caleg) berubah menjadi sesuai nomor urut yang ditentukan oleh partai politik. Pemilih pun tak bisa memilih langsung calon anggota legislatif, tetapi hanya partai politik.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustofa menegaskan, Kamis, draf tersebut belum merupakan draf final yang disepakati Komisi II DPR. Draf merupakan hasil rumusan tenaga ahli Komisi II dan Badan Keahlian DPR (BKD) yang akan dijadikan bahan pembahasan bagi fraksi-fraksi di DPR.

Menurut rencana, Senin (8/6), fraksi-fraksi diminta untuk mengirimkan pendapat mereka terkait dengan materi RUU Pemilu tersebut. ”Selanjutnya, pembahasan internal di dalam Komisi II DPR akan dilakukan untuk membahas, mengoreksi, dan mematangkan draf RUU itu sesuai dengan pendapat setiap fraksi,” katanya.

DPR menyusun draf RUU Pemilu itu karena RUU tersebut merupakan RUU inisiatif DPR. Komisi II DPR menargetkan RUU Pemilu sudah disahkan pada awal 2021.

Menuai perdebatan
Sama seperti penyusunan regulasi pemilu sebelumnya, pembahasan RUU Pemilu ini pun diperkirakan bakal alot. Hal tersebut setidaknya sudah terlihat dari keberatan yang disampaikan sejumlah anggota Komisi II atas perubahan yang tertera dalam RUU Pemilu.

Saan Mustofa, misalnya, menolak sistem proporsional tertutup. ”Menurut kami, sistem proporsional terbuka mewakili representasi parpol dan juga representasi pemilih. Dalam kondisi sekarang saja dengan sistem proporsional terbuka, oligarki parpol masih terjadi, apalagi nanti kalau sistem proporsional tertutup,” katanya.

Sebaliknya, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi mengaku mendapatkan masukan dari sejumlah ulama dan tokoh bahwa sistem proporsional tertutup lebih baik. Sistem itu dinilai dapat mencegah politik uang.

”Dulu sistem proporsional tertutup dikritik dan berusaha diperbaiki dengan sistem proporsional terbuka. Sekarang, sistem ini mau diubah lagi menjadi proporsional tertutup. Jadi, setiap sistem memang ada kekurangan,” katanya.

Mengenai ambang batas parlemen, menurut Saan, sebagian besar fraksi juga tak setuju ambang batas 7 persen.

Arwani termasuk yang tidak setuju. Sekalipun tujuannya untuk menyederhanakan parpol demi menguatkan sistem presidensial, peningkatan ambang batas berisiko membuat banyak suara pemilih hangus atau tidak terwakili di parlemen.

”Upaya penguatan sistem presidensial yang beriringan dengan penyederhanaan parpol akan berujung kembalinya otoritarianisme Orba. Kalau dulu saluran suara dibatasi rezim, sekarang dibatasi UU atau melalui dalih demokrasi, tapi dibungkus legislasi,” ujarnya.

Ia juga tak setuju jika ambang batas parlemen diberlakukan hingga DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Alasannya, pemilih di daerah memiliki karakter yang berbeda-beda. Partai politik yang mendapatkan suara di pusat belum tentu mendapatkan suara di daerah, begitu pula sebaliknya. Karena itu, generalisasi ambang batas sebaiknya tidak dilakukan.

Syarat sistem pemilu
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menyikapi secara kritis sistem proporsional tertutup dalam RUU Pemilu. Menurut dia, sistem itu belum tepat karena belum berjalannya syarat-syarat demokrasi internal dalam partai politik, seperti pemilu internal dan konvensi, dalam menentukan orang yang akan dimajukan dalam pemilu.

Ia juga menyikapi secara kritis pemberlakuan ambang batas parlemen secara nasional. Hal tersebut dinilanya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2012.

Saat itu, MK membatalkan aturan ambang batas parlemen secara nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu. MK menilai aturan itu bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas sehingga bertentangan pula dengan tujuan pemilihan umum.

Adapun terkait desain keserentakan pemilu, Fadli melihat desain itu sudah pernah diusulkan Perludem. Namun, ia meminta agar waktu penerapan keserentakan pemilu itu dikaji lebih mendalam. Ini terutama untuk pemilu daerah. Implikasi dari diberlakukannya pemilu daerah pada 2027, membuat masa jabatan anggota DPRD yang terpilih pada 2024 hanya tiga tahun. Masa kerja tiga tahun dinilainya tidak akan optimal bagi anggota DPRD. Selain itu, perlu dipikirkan pula pemotongan masa jabatan kepala/wakil kepala daerah jika pemilu daerah digelar pada 2027.

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas https://kompas.id/baca/polhuk/2020/06/05/muncul-wacana-kenaikan-ambang-batas/