April 20, 2024
iden

Dilema Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan di Masa Non-Tahapan

Berdasarkan skala periode waktu, sistem pendaftaran pemilih yang pernah dan diterapkan di Indonesia ada tiga jenis. Pertama, Civil Registry List. Kedua, Periodic List. Ketiga, Continuous List.

Civil Registry List adalah daftar pemilih yang disusun berdasarkan data kependudukan. Ini diterapkan di Indonesia pada tahun 2005-2015.

Periodic List adalah daftar pemilih yang disusun secara periodik atau hanya pada setiap Pemilu/Pemilihan dan berakhir ketika tahapan pemilu/pemilihan selesai. Di Indonesia diterapkan pada tahun 1955-2004. Secara umum metode ini banyak dijalankan di negara-negara berkembang.

Continuous List adalah pemutakhiran data pemilih dilaksanakan oleh Penyelenggara Pemilu/Pemilihan, di mana data pemutakhiran pemilih tersebut disimpan dan terus diperbarui secara berkelanjutan. Di Indonesia, ini sudah diterapkan sejak tahun 2017 hingga sekarang.

Terkini, KPU bakal melakukan pemutakhiran data pemilih di luar masa tahapan pemilihan dengan menggunakan sistem continuous List. Sistem ini dilaksanakan setiap bulannya untuk kabupaten kota, tiap 3 (tiga) bulan untuk KPU Provinsi dan tiap 6 (enam) bulan di tingkat KPU RI. Hal ini merupakan langkah yang sangat baik dari KPU karena secara Reguler melakukan pemutakhiran data pemilih.

Continous List kemudian dikenal dengan istilah DPB (Daftar Pemilih Berkelanjutan). Pemutakhiran data pemilih secara berkelanjutan ini merupakan sistem pemutakhiran data pemilih yang tentu saja lebih progresif dibanding dengan pemutakhiran data pemilih yang sebelumnya dipakai oleh KPU.

Jika DPB berjalan berdasarkan prinsip komprehensif, akurat dan mutakhir, maka ini menjadi hal yang sangat baik. Di ujung, dari DPB ini atau di tahapan awal pemilu atau pemilihan, KPU bisa saja tidak perlu lagi melakukan pemutakhiran data pemilih melalui pencocokan dan penelitian (coklit). Hanya saja DPB ini tidaklah segampang mudah dibayangkan, ada beberapa kendala terkait hal tersebut.

Sumber Data yang Tidak Jelas

Belum ada sumber data yang jelas terkait bagaimana kemudian KPU akan melakukan pembaruan data setiap bulannya (data meninggal, mutasi penduduk, TMS dan MS). Apakah pembaruan data pemilih dilakukan, seperti metode coklit dengan turun langsung ke lapangan mendata, hal ini bagus tetapi kendalanya di masa non-tahapan tidak ada lembaga adhoc di tingkat kecamatan dan/atau kelurahan desa yang akan melakukan verifikasi.

Di Surat Edaran KPU Nomor 132 perihal Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Tahun 2021, disebutkan bahwa dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, KPU Kabupaten/Kota melakukan koordinasi secara berkala dengan instansi-instansi terkait. Di antaranya instansi pemerintah daerah yang menangani administrasi kependudukan, kematian/pemakaman, TNI/Polri, Pengadilan setingkat, dan pada layanan data pemilih di tingkat kabupaten/kota.

Dari beberapa instansi tersebut, instansi kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil) merupakan partner utama KPU dalam melakukan pemutakhiran data pemilih. Ini terkonfirmasi pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 201 ayat (8) menekankan, pemerintah memberikan data kependudukan yang dikonsolidasikan setiap 6 (enam) bulan kepada KPU sebagai bahan tambahan dalam pemutakhiran data pemilih.

Kalau melihat bunyi pasal tersebut, dapat diartikan bahwa pemerintah hanya memberikan data kependudukan kepada KPU itu setiap 6 (enam) bulan saja. Sementara pembaruan data pemilih itu dilakukan setiap bulannya di KPU Kabupaten/kota. Ini yang menjadi salah satu kendala KPU dalam melakukan pembaruan data pemilih berkelanjutan, yaitu sumber data yang belum jelas.

Keterbukaan Disdukcapil dan KPU

Salah satu kendala dalam DPB adalah ketersediaan data, pihak dukcapil yang sedianya merupakan partner utama KPU terkesan tertutup data dalam memberikan akses data kepada KPU Kabupaten/Kota. Mengingat regulasi yang mengatur terkait perlindungan data kependudukan. Di sisi lain, pihak KPU juga belum sepenuhnya terbuka kepada pihak penyelenggara dari sisi pengawasan atau Bawaslu.

Dalam hal melakukan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan, di Surat Edaran 132 disebutkan salah satu metode yaitu dengan menginput data Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) di Pilkada 2020 ke dalam DPT Pilkada 2020. Dalam hal penginputan data tersebut, Bawaslu kabupaten/kota sampai saat ini belum diberikan akses data by name DPTb tersebut.

Hal tersebut tentu akan menyulitkan pihak Bawaslu. Bawaslu bertanggungjawab dalam melakukan pencermatan dan pengawasan terhadap giat input data DPTb. Bawaslu Kabupaten Maros berharap pihak KPU bisa terbuka dan memberikan data by name DPTb sehingga Bawaslu dapat lebih maksimal dalam melakukan fungsi pengawasannya.

Data pemilih tidak mandiri

Secara umum diketahui bahwa data pemilih yang dihasilkan oleh KPU untuk kepentingan pemilu dan pemilihan itu tidaklah murni data pemilih yang dihasilkan oleh KPU. Tetapi, data pemilih tersebut adalah data kependudukan yang disediakan oleh pemerintah dalam hal ini Kemendagri dalam bentuk Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4). DP4 diberikan oleh Kemendagri kepada KPU untuk kemudian disandingkan dengan daftar pemilih tetap (DPT) setiap awal tahapan pemilu/pemilihan.

DP4 inilah yang kemudian menjadi problem tersendiri dalam hal penyandingan data DPT. Sebab, data DP4 adalah data yang di-update setiap 6 (enam) bulan sekali, dan dalam metode pembaruan data di Dukcapil, pihak dukcapil bersifat passif. Misalnya untuk data penduduk yang meninggal atau penduduk keluar/masuk dalam suatu wilayah, itu tidak akan didata oleh pihak dukcapil kalau warga tidak secara aktif melaporkan hal tersebut.

Sementara di satu sisi, warga sendiri biasanya enggan untuk melaporkan perubahan status kependudukan. Misal soal mengurus surat akta kematian anggota keluarganya, pindah domisili, atau lainnya. Sehingga, update data dari dukcapil yang setiap enam bulan tersebut tidak bisa mengantisipasi data mutasi warga yang tidak melapor.

Ini yang menjadi salah satu penyebab mengapa hampir di tahap pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih tiap pemilu, selalu ditemukan masalah data pemilu. Ada warga yang ganda atau warga yang sudah meninggal tetapi di DPT hidup kembali pada saat dilakukan coklit.

Kisruh DP4 dengan model penyandingan DPT ini yang juga akan terjadi pada hasil DPB ini. Bahwa DPB ini berjalan secara cermat dan akurat, dan menghasilkan data pemilih yang bersih, kemudian di tahapan awal pemilu/pemilihan data DPB yang sudah bersih ini lalu disandingkan dengan DP4, maka tentu kerja keras KPU dalam melakukan DPB akan menjadi sia-sia saja. Data DPB tersebut ketika disandingkan dengan DP4 akan tercampur sehingga harus dibersihkan kembali melalui coklit.

Kendala-kendala yang disebutkan di atas, hanyalah bagian dari pemetaan potensi kerawanan dalam hal Pemutakhiran data pemilih berkelanjutan. Harapan penulis dengan adanya langkah maju dari KPU dalam hal menjaga dan memelihara data pemilih melalui pemutakhiran data pemilih berkelanjutan, ditindaklanjuti dengan adanya metode, keterbukaan dan sumber data yang jelas sehingga output DPB tersebut dapat menghasilkan data pemilih yang komprehensif, akurat, dan mutakhir, sehingga giat DPB ini tidak tergradasi hanya menjadi upaya yang biasa-biasa saja. []

MUHAMMAD GAZALI HADIS

Kordinator Divisi Pengawasan, Humas dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan