April 16, 2024
iden

Disepakati Bersama, Penerapan Sanksi Lebih Keras bagi Pelanggar Protokol Kesehatan di Pilkada

Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Kementerian Dalam Negeri, dan penyelenggara pemilu menyepakati perlunya rumusan sanksi yang keras bagi pelanggar protokol kesehatan Covid-19 di Pilkada 2020. Sanksi ini diperlukan perlu guna mencegah berulangnya pelanggaran protokol kesehatan yang berpotensi memunculkan kluster Covid-19 di pilkada.

Kesepakatan untuk merumuskan sanksi itu diambil dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan Kemendagri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Rabu (9/9/2020), di Jakarta, Rapat dihadiri Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Ketua KPU Arief Budiman, Ketua Bawaslu Abhan, dan Ketua DKPP Muhammad.

Rapat menyepakati pula bentuk sanksi maupun bentuk aturannya akan diputuskan bersama antara pemerintah dan penyelenggara pemilu. Hal ini sudah harus dirumuskan sebelum dimulainya masa kampanye pada 26 September 2020.

Sebelumnya, pada tahap pendaftaran calon peserta pilkada, 4-6 September, banyak pasangan bakal calon melanggar protokol Covid-19. Mereka menggelar arak-arakan dan mengumpulkan massa dalam jumlah besar.

Dalam rapat, Mendagri Tito Karnavian antara lain mengusulkan agar sanksi dicantumkan di pakta integritas yang harus dipatuhi peserta pilkada. Selama ini, pakta integritas memuat kesiapan calon untuk menjalankan pilkada damai dan kesiapan menerima kemenangan ataupun kekalahan. Mendagri mengusulkan agar dibuat satu pakta integritas yang khusus memuat kesediaan pasangan calon untuk menjalankan protokol kesehatan. Ketidakpatuhan atas pakta integritas itu dapat dijatuhi sanksi.

”Kalau tidak dipatuhi, misalnya, pasangan calon siap didiskualifikasi jika hal itu terbukti melalui investigasi Bawaslu, bahwasanya paslon bersangkutan sengaja, bukan spontanitas, melalui sistem pembuktian di Bawaslu, atau pembuktian menggunakan UU Kesehatan oleh Polri,” kata Tito.

Terkait hal itu, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, sanksi diskualifikasi hanya diatur untuk tiga hal di UU Pilkada, yakni melakukan politik uang, mahar politik, dan melakukan mutasi enam bulan sebelum penetapan calon. Tidak ada pasal di UU Pilkada yang mengatur pelanggaran protokol kesehatan sebagai alasan melakukan diskualifikasi. Karena itu, sanksi diskualifikasi itu harus diatur dalam bentuk aturan yang lain sepanjang tidak bertentangan dengan materi UU Pilkada.

Aturan bersama

Anggota Komisi II, Nasir Djamil, mengatakan, KPU tak perlu terbelenggu dengan tidak adanya aturan diskualifikasi di UU Pilkada. Sebab, KPU juga pernah membuat aturan yang melarang bekas napi korupsi mencalonkan diri di Pilkada 2018. Padahal, hal itu tak diatur di UU Pilkada. ”Kenapa tidak KPU melampaui ketentuan itu sebab ini sudah ada dorongan juga dari Kemendagri,” katanya.

Sementara anggota Komisi II lainnya, Junimart Girsang, mengusulkan pemerintah dan KPU membuat aturan bersama yang menegaskan sanksi diskualifikasi ataupun sanksi lain jika terjadi pelanggaran protokol kesehatan. Dengan demikian, ketentuan itu tidak menyalahi UU apa pun.

Dalam jumpa pers virtual, juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan, dari 309 kabupaten/kota yang terlibat di 9 pemilihan gubernur dan 261 pemilihan bupati/wali kota, sebanyak 45 kabupaten/kota atau 14,56 persen masuk daerah dengan risiko tinggi penularan Covid-19. Sebanyak 152 kabupaten/kota atau 49,19 persen masuk risiko penularan sedang. Sementara 72 kabupaten/kota masuk risiko rendah. Hanya 26 kabupaten/kota yang tak ada kasus baru dan 14 daerah tak terdampak Covid-19.

Wiku meminta pemerintah daerah benar-benar menjaga pilkada agar tak menjadi kluster penularan Covid-19. Semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada harus mematuhi protokol kesehatan.

Direktur Eksekutif Netgrit Ferry Kurnia Rizkiyansyah mendesak KPU menyiapkan data komprehensif kondisi penularan Covid-19 di daerah. ”Indikator itu yang dapat menjadi acuan KPU dan Bawaslu sekaligus pemerintah, untuk memutuskan apakah pilkada ditunda atau tidak,” kata Ferry.

Sementara itu, kemarin, surat keputusan bersama tentang pedoman netralitas aparatur sipil negara saat Pemilihan Kepala Daerah 2020 ditandatangani di Jakarta oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Agus Pramusinto, serta Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan.(REK/NTA/PDS/DEA)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 11 September 2020 di halaman 4 dengan judul “Sanksi Lebih Keras Disepakati Bersama”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/09/11/disepakati-bersama-penerapan-sanksi-lebih-keras-bagi-pelanggar-protokol-kesehatan-di-pilkada/