Proses demokrasi Indonesia menjadi sorotan serius pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut laporan Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2022 lalu, indeks demokrasi Indonesia masih tergolong cacat (flawed democracy). Hal itu karena sejak 2014 skor indeks demokrasi cenderung mengalami penurunan dari angka 6,95 menjadi 6,71 pada tahun 2022. Angka tersebut sempat mengalami kenaikan pada tahun 2015 hingga menyentuh angka 7,03.
Namun angka tersebut dinilai masih kurang ideal jika dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) indeks demokrasi cenderung meningkat, dari angka 6,41 pada 2006 menjadi 6,95 pada tahun 2014. Menurut Direktur Riset Algoritma, Fajar Nursahid menurunnya indeks demokrasi disebabkan upaya-upaya memunggungi demokrasi dengan mengatasnamakan demokrasi.
“Padahal demokrasi seharusnya memberikan kesempatan yang sama untuk dipilih dan diajukan, jika ada proses yang memberikan insentif lebih maka itu bukan demokrasi namanya,” kata Fajar dalam diskusi publik bertajuk “Catatan Awal Tahun Pemilu 2024: Penguatan atau Disrupsi Demokrasi?” di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), (10/1).
Fajar menyebut, pada Pemilu 2024 upaya pengabaian demokrasi melalui konstitusi masif dilakukan oleh pemerintah, misalnya melalui upaya perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu. Hal itu diperparah dengan independensi penyelenggara pemilu, Mahkamah Konstitusi (MK) dan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pemilu.
“Untungnya kita masih sadar, bahwa itu adalah bagian dari pelanggaran konstitusi. Tapi upaya itu ada, dan kerasa banget di depan mata. Publik juga cukup mengerti hal-hal yang terjadi, cuman lagi-lagi soundingnya kurang kenceng,” tuturnya.
Lebih lanjut menurut Fajar, diperlukan kontrol terhadap proses politik agar berjalan lebih baik. Karena selama ini Indonesia mewarisi proporsi partai oposisi dan partai pemerintah yang tidak seimbang. Ia memandang melempemnya oposisi politik berdampak pada banyaknya agenda-agenda politik yang mengafirmasi kepentingan pemerintah. Hal itu juga diperparah dengan banyaknya aktor masyarakat sipil yang menjadi bagian dalam pemerintahan.
“Hasilnya, kita kemudian memanen kontroversial law yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Omnibus Law, revisi UU (Komisi Pemberantasan Korupsi) KPK, revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang semuanya, publik merasa kok begitu prosesnya,” kata Fajar.
Dosen Fakultas Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi mengatakan pelemahan demokrasi akan membawa pada sistem tirani baru. Kecenderungan itu sudah terlihat dari penempatan hukum dan demokrasi yang lebih rendah dibanding dengan otoritas kepemimpinan. Ia menyebut keterlibatan ASN dalam proses pemenangan kandidat adalah bukti lebih tingginya kekuasaan dibanding demokrasi dan konstitusi.
“Itulah kenapa yang menjadi ancaman saat ini adalah proses-proses yang membuat hukum dan kesetaraan dengan mudah bisa dilanggar oleh kepentingan dan kehendak kekuasaan,” ujarnya.
Sedangkan menurut Rektor UMJ, Ma’mun Murod, demokrasi seharusnya menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Namun ia melihat pada proses Pemilu 2024 banyak tahap-tahap yang mengabaikan kepentingan rakyat dengan ketidaknetralan. Misalnya melalui pengangkatan Penjabat (Pj) kepala daerah yang kental dengan nuansa politik.
“Padahal pemilu mensyaratkan wasit yang adil dan tidak berpihak. Kita merasakan dengan telanjang bagaimana wasit tidak adil, ini salah satu proses yang sedang berlangsung. Bagaimana kita bisa berharap dalam proses pemilu yang seperti ini,” kata Ma’mun.
Ma’mun memandang peningkatan kualitas pendidikan menjadi hal penting yang perlu dilakukan. Ia meyakini penguatan demokrasi dapat diupayakan dengan baik dan lebih substansial dengan pendidikan, karena menurutnya pendidikan menjadi indikator kemajuan kualitas demokrasi Indonesia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pendidikan mayoritas penduduk Indonesia memang telah mencapai wajib belajar 9 tahun atau tamatan SMP/sederajat ke atas. Namun persentase penduduk tidak tamat SD/sederajat cukup tinggi, yakni sebesar sebesar 9,01%. Sementara tingkat perguruan tinggi proporsinya hanya 10,15%.
“Akhirnya yang terjadi demokrasi sembako. Jadi siapa yang dipilih ukurannya berapa jumlah sembako yang dibagikan, ketika sembako banyak maka itu akan menjadi akumulasi jumlah suara,” ucap Ma’mun.
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati memandang Pemilu 2024 sebagai pemilu yang kompleks untuk semua pihak yang terlibat dalam pemilu, baik penyelenggara, peserta, maupun pemilih. Padahal dengan kesamaan regulasi dengan pemilu sebelumnya, harusnya aturan main yang dibuat juga sama, namun menurutnya regulasi pemilu saat ini mengalami kemunduran. Hal itu yang membuat masyarakat sipil harus bekerja lebih dalam pengawasan dan pengawalan pemilu.
Lebih lanjut, Khoirunnisa mengatakan, untuk perbaikan demokrasi perlu adanya reformasi partai politik karena institusi demokrasi lainnya sudah banyak mengalami transformasi. Ia menilai partai politik selama ini belum menjadi institusi yang terlembaga dan demokratis, padahal semua kebijakan publik bermuara di partai politik.
Hal itu diperkuat dengan temuan Transparency International Indonesia (TII) melalui penilaian terhadap pengurus pusat partai politik pemilik kursi DPR. Dari sembilan partai yang dinilai berdasarkan dimensi regulasi internal, struktur dan sumber daya manusia, serta keterbukaan informasi. Hasilnya, setiap dimensi rerata diperoleh 26%-50% skor dengan kecenderungan tidak optimal.
“Kalau kita membicarakan demokrasi hari ini, ya tentu kita harus membincangkan perbaikan partai politik juga,” kata Khoirunnisa.
Ia juga mengingatkan, yang susah dalam demokrasi adalah merawat demokrasi berkelanjutan. Untuk itu Khoirunnisa mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terlibat mengawal setiap tahapan pemilu. Hal itu penting karena semua peserta pemilu ingin menang, sehingga potensi kecurangan akan selalu ada dalam tahapan pemilu.
“Dengan situasi hari ini publik perlu bergerak bersama-sama untuk mengawal proses penyelenggaran pemilu, sehingga peserta pemilu bisa keder karena merasa terus diawasi oleh banyak pihak,” ujarnya. []