December 7, 2024

Djayadi Hanan: Bisa Dilakukan Empat Gelombang Pemilu Serentak

Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.55/2019, terdapat lima model pemilu serentak yang disebutkan. Model-model pemilu serentak lainnya juga dapat diterapkan oleh pembuat undang-undang, namun tak boleh memisahkan tiga pemilihan, yakni pemilihan presiden (pilpres), pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Pakar politik dari Universitas Paramadina, Djayadi Hanan, menerangkan konsep pemilu serentak, desain keserentakkan pemilu pasca Putusan MK, dan model pemilu serentak yang direkomendasikan. Simak penjelasan selengkapnya.

Pak Djayadi, apa itu pemilu serentak secara konseptual?

Kalau kita perhatikan, dari semua kajian ilmiah baik teoretis maupun empiris mengenai pemilu serentak, sebetulnya istilah serentak itu ada dua jenis. Pertama, concurrent election. Kedua, simultaneous election. Concurrent itu maksudnya spesifik eksekutif dan legislatif digabungkan. Dalam sistem prsidensil, eksekutif dan legislatif digabung terutama di tingkat nasional. Kalau simultaneous election, ya pemilu bareng-bareng. Terserah kita mau gabungkan yang mana saja. Contohnya Pilkada serentak, itu simultaneous election.

Baik. Nah, menurut Pak Djayadi, pasca Putusan MK No.55/2019, akan seperti apa desain sistem pemilu di Indonesianesia?

MK mensyaratkan apapun sistem yang dipilih, tapi unsur wajibnya itu, pilpres harus digabung dengan pemilihan legislatif nasional, yaitu DPR dan DPADA. Jadi, itu saja yang wajib. Meksipun MK memberikan alternatif ada enam, satunya lain-lain,tapi kan MK menekankan bahwa itu open legal policy pembuat undang-undang. Artinya, kita belum tahu persis desain sistem pemilu nanti seperti apa.

Saya kira masyarakat sipil dan akademisi bisa mengkaji banyak pola. Kita sudah punya satu pola, yaitu model pemilu serentak yang dilaksanakan di 2019 lalu. Kembali ke sistem itu masih mungkin, tapi dengan alasan yang bisa diterima. Ada perkiraan, kalau dilaksanakan bisa baik.

Yang pasti, putusan MK ini kan diajukan oleh sejumlah pihak yang merasa ada masalah dari pemilu serentak kita di 2019. Nah, Putusan MK itu menurut saya, semacam pengakuan bahwa harus ada kajian menyeluruh mengenai desain pemilu kita. Tapi karena diserahkan kepada pembuat undang-undang, jadi tergantung pada kemauan politik yang ada.

Menurut Bapak, ada kemungkinan DPR dan Pemerintah akan kembali mendesain pemilu serentak lima kotak seperti Pemilu Serentak 2019?

Dugaan saya, akan sulit menjelaskan kalau nanti misal, DPR dan Pemerintah bersikukuh pada pemilu yang lima kotak itu. Cukup sulit untuk menjelaksan kenapa itu yang dipilih. Karena itu, kita harus kembali kepada apa yang menjadi persoalan yang membuat pemilu serentak kita digugat secara hukum.

Kalau menurut saya, secara ringkas problemnya itu adalah tidak ada kesesuaian antara kapasitas yang dimiliki oleh penyelenggara pemilu atau kita sebagai negara, dengan beban pemilu itu sendiri. Itu berarti, kita harus mengkaji, kapasitas apa yang masih kurang dalam menyelenggarakan Pemilu Serentak 2019 itu.

Kalau kita menemukan bahwa sebetulnya kapasitas kita bisa ditingkatkan dalam waktu singkat, tentu punya alasan untuk menyelenggarakannya kembali. Tapi saya tidak yakin, karena evaluasi pemilu serentak secara komprehensif saja belum dilakukan. Memang ada sejumlah evaluasi, tapi kita belum pada kesimpulan masalahnya dmn.

Ada 600an orang meninggal. Ada dampak lain, misal pemilu legislatif menjadi seolah-olah pemilu lampiran. Juga polarisasi tajam yang terjadi akibat pilpres. Seharusnya kan, dengan pemilu yang banyak itu, efek negatif satu pemilu bisa dinetralisir oleh pemilu lain. Contohnya, kan ada polarisasi tajam antara pendukung Prabowo dengan pendukung Jokowi. Itu karena pemilunya memang membelah Indonesia menjadi dua kelompok. Tapi kalau lihat pileg, itu kan tidak membelah Indonesia menjadi dua kelompok. Dia membelah Indonesia menjadi 80 dapil plus 16 partai di tingkat nasional. Jadi seharusnya pertarungan pemilu itu tidak bipolar, tidak head to head. Harusnya dia bisa dinetralisir oleh pemilu nasional juga.

Kenapa terjadi demikian?

Menurut saya, Pileg tidak menjadi perhatian oleh media, partai sendiri, juga masyarakat. Mungkin penyelenggara pemilu mencoba melakukan, tetapi kalah. Dengan demikian, kita perlu mencari jalan untuk menyelesaikan persoalan itu.

Hal lain, terlalu banyak yang harus dipikirkan oleh pemilih. Pilih persiden, DPR DPRD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dengan calon yang sangat banyak. Selain mereka harus tentukan pilihan untuk dapil masing-masing, harus juga tentukan presiden. Di satu dapil saja, jumlah calon minimal 160 orang di dapil itu kalau jumlah calon maksimal sepuluh orang.

Nah,akibat terlalu perhatian pada pilpres, energi habis untuk hitung pilpres. Ketika penghitungan untuk pilpres selesai, ada empat kotak lagi yang harus dihitung. Ada yang selesai hitung sampai jam empat pagi.

Jadi, harus ada evaluasi menyeluruh dulu. Soal teknis, politik. Apakah kita punya waktu untuk itu, untuk sampai pada kesimpulan tetap pada model pemilu serentak lalu. Karena itu, menurut saya, lebih baik kita ambil jalan yang moderat.

Seperti apa model pemilu serentak yang moderat?

Ya, tadi kan ada beban yang tidak seimbang antara beban dengan desain. Kalau DPR mau tetap pada yang 2019, berarti kan harus ada kemampuan yang meningkat. Nah, kita mampu gak? Karena itu belum pasti, maka kita kurangi saja dulu bebannya. Yang paling mudah, kita pisah-pisah saja pemilunya. Tapi, gak boleh pisah pilpres dan pileg di tingkat nasional. Jadi, yang bisa dipisah adalah nasional dengan lokal. Pasti bebannya lebih ringan.

Jadi, pemilu serentak yang moderat maksudnya yang seimbang dengan beban bagi penyelenggara pemilu juga pemilih.

Untuk pemilu lokal, apa rekomendasi desain keserentakanya dari Pak Djayadi?

Jika pemilu lokal akan kita pisah, pertama, apakah akan diserentakkan semua di 514 kabupaten/kota secara keseluruhan? Kedua, apakah itu berarti pemilu lokal mengikuti keserentakkan di tingkat nasional? Artinya, menggabungkan pilkada dengan pemilihan anggota DPRD dan DPRD kabupaten/kota.

Kalau menurut saya, sebaiknya diikuti saja pola yang di pusat. Jadi di tingkat lokal, pemilu eksekutif digabung dengan pemilu legislatif. Masalahnya, apakah diserentakkan seluruhnya di 514 kabupaten/kota? Memang, ada keinginan untuk menyelenggarakan secara serentak seluruhnya.

Menyelenggarakan pemilu serentak di seluruh kabupaten/kota sekaligus adalah ide yang buruk?

Tidak, banyak juga negara yang melakukannya. Tapi persoalannya, kita siap gak menyelenggarakannya? Memang beban sudah dikurangi. Tiga pemilu sudah dikurangi. Nah, gimana beban pemilu lokal? Karena ada 548, secara sederhana, berat itu. Pilih gubernur, bupati/wali kota, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Cukup banyak itu bagi penyelenggara pemilu dan pemilih.

Kalau mau serentak di semua daerah, kita harus persiapkan diri dulu dengan membagi beban. Kita bikin beberapa gelombang. Nanti kita lihat, kalau satu siklus sudah dilaksanakan, satu siklus berikutnya apa akan bergelombang lagi atau tidak? Karena kan kita sudah punya pengalaman.

Ada banyak pola untuk melakukan pemilu serentak lokal itu. Kalau kita sepakat pemilu eksekutif dan legislatif digabung, polanya misalnya terpisah pemilu provinsi dulu, kan 34. Jadi, setiap daerah atau orang hanya fokus di satu pemilu.

Kalau pemilu serentak lokal digabung di tingkat provinsi dan kabupaten/kota bagaimana?

Fokus orang akan terbagi. Provinsi juga, kabupaten/kota juga. Biar mengikuti pola nasional, orang fokus di satu pemilu saja dulu. Jadi, pemilu serentak tingkat nasional, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota.

Demikian juga penyelenggara pemilu, fokus di satu dapil. Dugaan saya, itu akan lebih mudah persiapan, beban, dan kapasitas dari berbagai sisi politik, ekonomi, juga manusia, termasuk keamanan.

Di tingkat kabupaten/kota, kan ada 514 daerah. Apakah seluruhnya bisa saja dilakukan pemilu serentak?

Ya ini pilihan. Kita evaluasi lagi kemampuan pemerintah, penyelenggara pemilu, dan masyarakat. 514 itu banyak sekali. Bisa dibagi dua juga. Jadi, ada empat pemilu: pemilu nasional, pemilu provinsi, pemilu serentak separuh kabupaten/kota, dan pemilu serentak separuh kabupaten/kota berikutnya. Itu salah stau konsep yang bisa dipakai.

Ada konsep lain. Misalnya, pileg sendiri di provinsi, dan kabupaten/kota. Berarti ada 548 pileg yang dilakukan serentak. Tapi itu menyisakan pemilu eksekutif.

Jadi, kita harus mencari cara untuk lebih mudah, efisien, dan ringan bebannya dalam menjalankan pemilu. Nanti ditambah sejumlah kajian, mana yang secara politik, lebih membantu efektivitas pemerintahan, menjaga stabilitas politik dan keamanan, mana yang lebih memudahkan pemilih. Itu variabel yang bisa dihitung dalam menentukan model desain pemilu serentak.

Ada pesan untuk DPR dan Pemerintah selaku pembuat undnag-undang yang akan merumuskan desain pemilu serentak kita?

Ya. Memang nanti ujung-ujungnya soal politik. Saya kira, mereka harus diberi masukan yang sifatnya komprehensif dan menggunakan multi approach agar tidak mengulangi lagi problem yang kita hadapi di 2019.