April 19, 2024
iden

Dominasi Calon Tunggal Tak Terbendung

Raihan suara 24 dari 25 pasangan calon kepala-wakil kepala daerah tunggal di Pemilihan Kepala Daerah 2020 jauh mengungguli jumlah pemilih yang memilih kotak kosong. Jika kondisi ini bertahan hingga calon terpilih ditetapkan Komisi Pemilihan Umum, berarti tren kemenangan calon tunggal di pilkada menguat. Hal ini dikhawatirkan akan mendorong semakin banyak calon tunggal muncul di pilkada yang akhirnya mengikis demokrasi.

Sebanyak 25 pasangan calon (paslon) tunggal berkontestasi di 25 kabupaten/kota di 12 provinsi. Berdasarkan data Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU hingga pukul 21.00, Kamis (10/12/2020), dari 25 paslon tunggal, sebanyak 24 di antaranya unggul lebih dari 60 persen suara dari pemilih yang memilih kotak kosong. Adapun suara yang sudah masuk ke Sirekap dari 24 daerah tersebut, sekitar 50 persen dari total TPS di setiap wilayah.

Satu paslon tunggal lainnya, yaitu di Pilkada Pegunungan Arfak (Papua Barat), belum dapat dipastikan unggul atau tidak dari jumlah pemilih kotak kosong. Sebab, belum ada suara dari satu TPS pun yang datanya masuk ke Sirekap.

Berdasarkan catatan Kompas, sejak paslon tunggal pertama kali muncul di pilkada serentak 2015, jumlahnya terus meningkat di pilkada setelahnya. Pada Pilkada 2015, hanya ada tiga daerah yang menggelar pilkada dengan paslon tunggal, lalu meningkat menjadi sembilan daerah di Pilkada 2017 dan 16 daerah pada Pilkada 2018. Sejak 2015, mayoritas paslon tunggal memenangkan kontestasi, hanya di Pilkada Makassar 2018 paslon tunggal kalah dari kotak kosong sehingga pilkada diulang pada 2020.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, saat dihubungi Kamis, mengatakan, istilah defisit atau erosi demokrasi sangat tepat untuk merefleksikan dominasi calon tunggal di setiap pilkada. Sebab, keberadaan calon tunggal mencederai nilai-nilai demokrasi sebagai kompetisi yang inklusif dan berbasis gagasan.

Ia pun khawatir tren kemenangan paslon tunggal yang menguat itu justru dijadikan sebagai strategi oleh parpol atau bakal calon di pilkada selanjutnya sebagai cara manjur untuk menang saat pilkada. ”Ini pertanda buruk bagi demokrasi lokal kita ke depan,” ujarnya.

Untuk mencegah calon tunggal jadi strategi bakal calon atau parpol di pilkada selanjutnya, Titi berharap pencalonan di pilkada selanjutnya membuka ruang lebih besar bagi kehadiran calon. Caranya dengan menghapuskan ambang batas pencalonan kepala-wakil kepala daerah, menggelar pilkada serentak dengan pemilu anggota DPRD, dan menurunkan syarat dukungan dari perseorangan.

Di Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, ambang batas pencalonan dari parpol minimal 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah dalam pemilu DPRD. Adapun untuk calon perseorangan, syaratnya berkisar 6,5 persen sampai 10 persen dari total daftar pemilih tetap.

Persoalan kaderisasi

Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menambahkan, keberadaan calon tunggal menunjukkan parpol tak menjalankan fungsinya, terutama kaderisasi.

Menurut dia, kegagalan kaderisasi partai itu sebenarnya bisa terbaca dari gelagat di sejumlah partai saat memilih ketua umum. Sejumlah ketua umum parpol dipilih secara aklamasi yang tidak membuka ruang demokrasi pada kadernya.

“Pendidikan politik tidak dibangun sejak di internal partai karena kompetisi sudah direcoki dengan niatan pokok’e (pokoknya) menang. Jadi, sama saja ketika di luar, jalan pintasnya dengan mengusung calon tunggal bersama partai lain, pokok’e menang,” ucap Siti.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa tak menampik calon tunggal dijadikan strategi untuk menang di pilkada. ”Dari awal, ada fenomena mereka ingin menang mudah,” ujarnya.

Untuk mencegah hal itu terulang di pilkada selanjutnya, ia setuju jika ambang batas pencalonan diturunkan.

Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, gagasan untuk menurunkan ambang batas pencalonan baik di pilkada maupun di pemilu presiden sudah muncul dalam pembahasan RUU Pemilu yang saat ini masih digodok di DPR.

Prioritas kader

Mengenai anggapan calon tunggal telah jadi strategi untuk menang di pilkada, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menampiknya. Di Semarang, misalnya, Hendrar Prihadi sebagai calon tunggal telah menunjukkan keberhasilannya memimpin Semarang. Dengan demikian, saat maju di pilkada, parpol lain mendukungnya.

Kemudian dalam perpanjangan waktu pendaftaran bakal calon yang diberikan oleh KPU bagi daerah yang bercalon tunggal di Pilkada 2020, PDI-P menggunakan kesempatan yang ada untuk memajukan kader sendiri. ”Artinya, PDI-P berprinsip menggunakan hak konstitusionalnya agar bisa mengusung calon,” katanya.

Adapun Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Kamhar Lakumani menilai, kekhawatiran terjadinya erosi demokrasi sebagai akibat kehadiran calon tunggal cukup berdasar dan beralasan.

Untuk itu, ia berpendapat, persentase kemenangan bagi paslon tunggal perlu diperbesar. Kemenangan tak cukup hanya 50 persen suara plus 1 sehingga lebih menguatkan legitimasi.

Calon ditahan

Sementara itu, dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilaporkan, Johan Anuar yang maju sebagai calon Wakil Bupati Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan) di Pilkada 2020, ditahan oleh KPK, Kamis. Johan yang berpasangan dengan calon bupati Kuryana Aziz merupakan satu dari 25 pasangan calon tunggal di Pilkada 2020.

KPK menahan Johan Anuar dalam perkara dugaan korupsi pengadaan tanah pemakaman umum (TPU) di Kabupaten OKU Tahun Anggaran 2013, Kamis.

Pelaksana Tugas Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan, proses pengadaan tanah TPU tersebut sejak perencanaan sampai penyerahan hasil pengadaan tidak sesuai dengan ketentuan sehingga berdasarkan audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, diduga telah terjadi kerugian keuangan negara senilai Rp 5,7 Miliar.

“Perkara ini adalah salah satu bentuk koordinasi dan supervisi yang dilakukan oleh KPK bersama Polda Sumatera Selatan di mana sebelumnya pada 24 Juli 2020, perkara dimaksud telah diambil alih penanganannya oleh KPK,” katanya.

Sebelumnya Johan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sumatera Selatan dengan sangkaan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasana Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. (NIKOLAUS HARBOWO/IQBAL BASYARI/PRAYOGI DWI SULISTYO)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 11 Desember 2020 di halaman 1 dengan judul “Dominasi Calon Tunggal Tak Terbendung”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/12/11/dominasi-calon-tunggal-tak-terbendung/