Maret 28, 2024
iden

DPD Menyurati KPU Bela Oesman Sapta Odang

JAKARTA, KOMPAS — Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang calon anggota DPD di Pemilu 2019 merangkap pengurus partai politik, Dewan Perwakilan Daerah berkirim surat ke Komisi Pemilihan Umum. KPU diharapkan mengkaji sungguh-sungguh putusan itu dan memperhatikan hak politik para calon anggota DPD.

Dalam surat DPD ke KPU disebutkan, MK berwenang untuk mengadili yang putusannya bersifat final. Meski demikian, sifat putusan MK seharusnya berpegang pada prinsip presumption of constitutionality serta asas retroaktif.

Adapun substansi dari amar putusan MK bernomor 30/PUU-XVI/2018 tanggal 23 Juli 2018 yang berisi tentang persyaratan calon anggota DPD tersebut berlaku setelah tahapan pendaftaran calon anggota DPD diselesaikan, 11 Juli 2018.

Oleh karena itu, DPD mengharapkan agar KPU mengkaji substansi putusan dengan sungguh-sungguh sebelum putusan tersebut dilaksanakan agar tidak membawa dampak sosial politik terkait dengan proses pelaksanaan Pemilu 2019. Selain itu, KPU perlu juga memperhatikan hak-hak politik dan konstitusional warga negara, khususnya para calon DPD.

Wakil Ketua DPD Nono Sampono saat dihubungi, Minggu (29/7/2018), membenarkan adanya surat dari DPD tersebut.

”Surat kami layangkan setelah rapat di internal DPD, rapat konsultasi dengan KPU, dan konsultasi dengan Ketua DPR (Bambang Soesatyo) dan Ketua MPR (Zulkifli Hasan),” katanya.

Dalam rapat-rapat tersebut, DPD menyimpulkan adanya sejumlah kejanggalan dari putusan MK. Salah satunya karena putusan MK melahirkan syarat baru bagi bakal calon anggota DPD ketika proses pendaftaran, kemudian verifikasi dan pengumuman hasil verifikasi, bakal calon telah usai.

”Ibaratnya seperti main sepak bola. Permainan sudah digelar kemudian muncul aturan baru,” katanya.

Oleh karena itu, dia melanjutkan, akan lebih tepat jika KPU baru memberlakukan putusan MK itu untuk Pemilu 2024.

Meski demikian, jika KPU tetap akan memasukkan putusan MK ke dalam peraturan KPU dan memberlakukannya di Pemilu 2019, DPD bisa memahaminya. ”Kami hanya berharap KPU mempertimbangkan. Kalau KPU menerapkan putusan MK, itu haknya KPU. Kita tentu akan menaati apa pun putusannya,” katanya.

Untuk diketahui, Ketua DPD Oesman Sapta Odang termasuk yang terkena imbas dari putusan MK itu. Sebab, selain menjabat Ketua DPD, dia juga menjabat Ketua Umum Partai Hanura. Hingga kini, dia masih menunggu keputusan dari KPU atas putusan MK itu. Belum ada keputusan darinya, akan mundur dari Hanura atau pencalonan DPD jika KPU memutuskan mengadopsi putusan MK.

Sementara calon anggota DPD untuk Provinsi Papua yang juga pengurus Partai Golkar, Yorrys Raweyai, menyatakan siap mundur dari kepengurusan Golkar jika KPU memutuskan untuk merevisi PKPU dan memasukkan putusan MK tersebut di dalamnya.

”Kalau sudah diatur di PKPU dan harus mundur dari partai, ya tidak masalah. Saya akan ikuti dan patuhi. Saya mundur dari kepengurusan Golkar dan maju di pencalonan DPD,” katanya.

Dia memilih untuk tetap maju pencalonan DPD dan keluar dari kepengurusan Golkar karena dengan menjadi anggota DPD, dia lebih bisa memperjuangkan kepentingan daerah.

Wakil Sekjen Partai Golkar Sarmuji mengatakan, partai menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada para calon anggota DPD yang juga pengurus partai untuk memilih, apakah tetap menjabat pengurus partai atau mundur dan maju di pencalonan DPD. ”Itu hak politik mereka, partai tidak akan menahan,” katanya.

Kalaupun mereka mundur dari kepengurusan Golkar, dia optimistis hal itu tak akan berpengaruh pada kerja partai dalam menghadapi Pemilu 2019. ”Tidak masalah ke partai. Partai ini, kan, tidak bergantung kepada orang per orang,” katanya.

Golkar pun melihat putusan MK sebagai putusan yang final dan mengikat sehingga konsekuensi yang lahir dari putusan harus diikuti. Putusan pun dinilai sebagai hal yang wajar. Putusan mempertegas posisi DPD sebagai utusan daerah yang tak boleh tersekat oleh kekuatan politik. Selain itu, selaras dengan alasan DPD dibentuk agar DPD berisi utusan-utusan daerah dan bukan berasal dari partai politik. (ANTONIUS PONCO ANGGORO)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 30 Juli 2018 di halaman 2 dengan judul “DPD Minta KPU Kaji Putusan MK”.