Putusan terhadap uji materi Pasal 222 Undang-Undang (UU) No.7/2017 telah dibacakan (11/1). Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal tersebut tidak inkonsttusional. Namun, dari sembilan hakim MK, dua hakim melakukan dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Suhartoyo, mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan Saldi Isra, guru besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas, melawan paradigma presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.
Menurut keduanya, keberadaan ambang batas pencalonan presiden menunjukkan bahwa pembentuk UU hanya membaca Pasal 6A ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak membaca Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013. Di dalam Putusan tersebut, tepatnya Pasal 22 E ayat (1) dan (2), Pasal 27 ayat (1), serta Pasal 28D ayat (1) dan (3), MK menghendaki adanya jaminan hak yang sama kepada setiap partai politik peserta pemilu untuk mengajukan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Tiga Kesalahan Logika dalam Putusan MK tentang Pasal 222
Suhartoyo dan Saldi Isra menyampaikan adanya tiga kesalahan logika yang dipakai oleh tujuh hakim MK dalam putusan terhadap Pasal 222. Satu, MK telah keliru menempatkan kebutuhan akan sistem kepartaian yang sederhana di atas kewajiban pemenuhan hak konstitusional partai politik peserta pemilu. Justru, hak konstitusional partai politik peserta pemilu dimuat secara eksplisit di dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, sedangkan desain penyederhanaan sistem kepartaian berada pada wilayah tafsir.
“MK harusnya melakukan peran dan fungsi konstitusionalnya mengoreksi substansi UU sekalipun ketika perubahan UUD 1945 (1999-2000) muncul semangat untuk menyederhanakan partai politik demi menopang pemerintahan presidensial…..dalam hal teks konstitusi mengatur secara eksplisit atau tega s(expresis tebris), tertutup celah untuk menafsirkan secara berbeda dari teks yang ditulis,” sebagaimana dimuat di dalam Putusan No.53/PUU-XV/2017.
Dua,dalam pembentukan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, pembentuk UU seharusnya memegang tiga prinsip, yakni moralitas, keadilan, dan rasionalitas. Ketiga aspek diingkari oleh pembentuk UU karena pembentuk UU memiliki kepentingan besar terhadap Pasal 222, penggunaan hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 untuk ambang batas pencalonan presiden 2019 tidak rasional, dan ambang batas pencalonan presiden merugikan hak partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi atau suara berdasarkan Pileg 2014.
Tiga, mendasarkan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden pada hasil pileg adalah perbuatan merusak logika sistem pemerintahan presidensial. Legitimasi seorang presiden, pemegang kekuasaan eksekutif, diberikan oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan presiden (pilpres) dan bukan ditentukan lebih dulu oleh peta kekuatan legislatif. Jutsru, kata Suhartoyo, logika yang digunakan oleh pembentuk UU adalah logika pemerintahan parlementer.
“Menggunakan hasil pemilu legislatif guna mengisi posisi pemegang kekuasaan eksekutif merupakan logika pengisian jabatan eksekutif tertinggi pada pemerintahan parlementer. … Padahal, salah satu gagasan sentral di dalam UUD 1945 adalah memurnikan sistem pemerintahan presidensial Indonesia.”
Tak perlu khawatir dengan banyaknya capres-cawapres
Kekhawatiran terhadap banyaknya jumlah capres-cawapres merupakan kekhawatiran yang tak dibutuhkan sekaligus tak relevan. Pasalnya, telah ada pengaturan hukum yang menyaring kesiapan partai politik dan menguji legitimasi capres-cawapres, yakni persyaratan menjadi partai politik berbadan hukum dan mekanisme putaran kedua.
“Semua partai yang telah lulus verifikasi harusnya bisa mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden tanpa dipersulit dengan ambang batas. Andaipun jumlah calon presiden sama dengan jumlah partai, sudah difasilitasi dengan putaran kedua.”
Lebih lanjut, banyaknya jumlah pasangan calon presiden-wakil presiden dinilai dapat mengurangi ketegangan di masyarakat pada saat pemilihan berlangsung. Masyarakat tak boleh jadi korban amputasi fungsi partai politik yang menyeleksi calon pemimpin masa depan.
“MK harus meninggalkan pandangan yang selama ini membenarkan rezim ambang batas.”