Maret 19, 2024
iden

E-Rekap Potong Manipulasi Suara

Penggunaan aplikasi elektronik dalam rekapitulasi atau e-rekap pada Pilkada 2020 disambut baik. Teknologi itu diharapkan bisa memudahkan atau memfasilitasi penyaluran suara rakyat dan memotong rantai manipulasi suara.

Peneliti Network for Democracy dan Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan, pilihan penerapan e-rekap dinilai lebih sesuai dengan kebutuhan proses elektoral di Tanah Air daripada penerapan e-voting atau voting secara elektronik. Selama ini, rekapitulasi penghitungan suara kerap memakan waktu lama karena prosesnya yang rumit dan beberapa kali ditemui kesalahan dalam pelaksanaannya.

”Kita memerlukan e-rekap karena banyak kekeliruan dalam proses rekapitulasi. Proses e-rekap juga bisa memotong rantai manipulasi suara yang selama ini rentan terjadi dalam proses rekapitulasi,” kata Ferry, Kamis (23/1/2020) di Jakarta.

Di sisi lain, penerapan e-rekap dalam pilkada untuk pertama kalinya juga mensyaratkan kesiapan penyelenggara. Sejumlah hal yang disiapkan, antara lain  adalah mengenai pilihan teknologinya, sebab ada dua sistem yang bisa diterapkan. Dua sistem itu ialah Optical Character Recognize (OCR) ataukah Optical Mark Recognize (OMR). Kedua sistem itu sama-sama dapat digunakan. Sistem OCR fokus pada pengenalan karakter seperti gambar atau foto, sedangkan OMR fokus pada pengenalan tanda atau tulisan.

Selain pemilihan teknologi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga disarankan untuk memastikan infrastrukturnya, seperti jaringan dan server, keamanan data, pusat data, tata kelola anggaran, dan kesiapan sumber daya manusia (SDM). Penerapan e-rekap itu pun harus melalui proses audit.

Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pihaknya sebagai penyelenggara hanya mengikuti ketentuan di dalam undang-undang. UU Pilkada membuka peluang bagi dilakukannya e-rekap sehingga KPU memiliki landasan hukum untuk melakukan e-rekap.

”KPU bisa saja berpendapat mengenai sistem atau desain penyelenggaraan pemilu. Akan tetapi, KPU tidak berada dalam posisi itu karena kami adalah pelaksana UU,” ujarnya.

Khusus untuk penerapan e-rekap, KPU akan menggunakan sistem OCR. Sistem ini sebelumnya juga pernah digunakan dalam gerakan Kawal Pemilu, 2014, serta Kawal Pemilu Jaga Suara 2019. Pada praktiknya, e-rekap dilakukan dengan memfoto formulir C1 Plano dari TPS dan mengunggahnya ke dalam sistem. Rekapitulasi secara elektronik kemudian berlangsung di dalam sistem tersebut.

E-voting

Di sisi lain, wacana penggunaan aplikasi elektronik berbasis teknologi informasi juga terus berkembang, termasuk usulan e-voting. Negara-negara lain telah banyak menerapkan e-voting. Namun, Indonesia sejak pemilu pertama digelar, 1955, masih mempertahankan proses pemungutan dan penghitungan secara manual. Tahapan pungut hitung itu pun terkonsentrasi di bilik suara pada tempat pemungutan suara (TPS), dan masyarakat bisa secara terbuka menyaksikan pungut-hitung, terutama saat penghitungan suara.

Guru Besar Ilmu Perbandingan Politik Universitas Airlangga (Unair) Ramlan Surbakti mengatakan, proses pungut-hitung manual yang dilakukan di Indonesia selama ini menjadi contoh baik, dan bahkan diikuti oleh negara-negara lain, seperti Myanmar dan Tunisia. Kedua negara itu jelas-jelas mengikuti jejak Indonesia yang menerapkan pungut-hitung manual di TPS.

”Saya pribadi tidak setuju dengan penerapan e-voting karena saya merasa seolah menyerahkan kedaulatan saya pada mesin. Dengan memilih dan menghitung langsung di TPS ada nilai-nilai transparansi di sana yang unik dan melibatkan masyarakat secara langsung dalam prosesnya,” kata Ramlan.

Penerapan pungut-hitung manual pun dipandang praktik baik dan selama ini tidak banyak persoalan dihadapi dengan mekanisme manual tersebut. Dengan mekanisme e-voting, pengawasan dan pelibatan masyarakat akan kurang terasa, serta dalam kondisi semacam itu bukan tidak mungkin ada celah manipulasi dalam praktiknya.

Ferry menambahkan, dalam kondisi kepercayaan masyarakan terhadap proses pemilu telah tinggi atau mapan, aplikasi e-voting mungkin saja dilakukan di Indonesia. Namun, sebelum itu tercapai, kepercayaan publik, kedewasaan dalam politik dan demokrasi, penguatan suprastruktur dan infrastruktur demokrasi harus terlebih dulu dilakukan.

”Ke depannya kalau segalanya siap termasuk soal trust building masyarakat, maka bisa jadi e-voting dilakukan. Saat ini, secara sosiologis masyarakat kita masih enjoy dengan suasana TPS dengan segala keterbukaannnya,” kata Ferry. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di Harian Kompas. https://kompas.id/baca/polhuk/2020/01/24/e-rekap-potong-manipulasi-suara/